Oleh : Irwanto Rawi Al Mudin
“Bile nak berambik ke pihak lelaki?”

Berambik adalah salah satu tradisi dalam tertib acara pelaksanaan perkahwinan adat Melayu Kepulauan Riau khususnya di Karimun, memiliki persamaan yang tak jauh berbeza dengan daerah Kabupaten Kota lainnya dengan istilah terminologi budaya jawa dengan istilah “Mengunduh Mantu”. Bagi orang Melayu membawa menantu perempuan kepihak keluarga laki-laki merupakan sesuatu yang dianggap penting. Seorang jejaka dalam melangsungkan perkawinan atau mendirikan rumah tangga jodoh nya dalam melaksanakan perkawinan ini melalui proses yang panjang, lazimnya beberapa tatacara adat perkahwinan dapat dimulai dengan merisik, merintis jalan, meminang, mengantar belanja, naik nikah, temu pengantin ( bersanding ), mandi-mandi, menyembah, makan beridang dan berambik adalah proses terakhir dari serangkaian acara perkahwinan.
Umumnya prihal pakaian menjadi catatan penting yang diperhatiakan sewaktu melakukan prosesi menyembah dan berambik. Khusus pengantin laki-laki memakai baju kurung tulang belut atau cekak musang lengkap, berkain songket (berkain dua dagang luar dan dalam), berkopiah bertatah (memakai mainan), sedangkan pengantin perempuan umumnya berbaju kurung, berkain songket dan mengenakan Tudung manto (selendang bertekat).
Sejatinya tidak semua pihak laki-laki melakukan acara “Berambik” secara besar-besaran ada yang sederhana, dari sisi adat bagi Orang Melayu Karimun adalah dimana istilah “Berambik” itu kedua pengantin diharuskan bermalam dirumah orang tua pengantin laki-laki. Dirumah pengantin laki-laki dihias juga sekedarnya. Dibuat juga pelamin untuk kedua pengantin, diundang sanak saudara yang dekat dan dibacalah do’a tolak bala dan do’a selamat. Setelah malam berambik ini maka selesailah seluruh rentetan acara perkawinan menurut adat Melayu Karimun di Kepulauan Riau.
Di tempat yang lain kedua pengantin bermalam di rumah orang tua pihak mempelai laki laki juga dikenal dalam Upacara Tradisional Melayu Siak dengan istilah “Berkunjung”. Prosesi berkunjung yang sebagaimana dimaksud dalam paparan Sita Rohana dibukunya berjudul Upacara Tradisional Melayu Siak: Nilai-niai dan Perubahannya tahun 2008 halaman 100, tidak dijelaskan rangkaian prosesi “Berkunjung” tersebut secara terperinci seperti serangkaian acara “Berambik”.
Kini kata “Berambik” terasa asing dan di masyarakat sudah tidak dipergunakan secara luas, dari sisi adat pula dalam pelaksanakan upacara perkahwinan lebih dikenal dengan istilah “Unduh Mantu” dibandingkan istilah “Berambik”. Jauh-jauh hari Raja Ali Haji pengarang Kitab Pengetahuan Bahasa Kamus Logat Melayu Johor, Pahang, Riau dan Lingga yang dicetak dan diterbitkan ulang tahun 1928 dari naskah aslinya oleh Matba’ah Al Ahmadiah di Singapura, dan dicetak ulang kembali oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Melayu tahun 1986/1987, di halaman 35 dijelaskan “Ambik, “ Bermula ini satu kalimah yang ditukarkan kalimahnya yang akhir dengan lam ( ), yaitu seperti kalimah ambil. Maka yaitu fiil seseorang yang menjadikannya sesuatu dengan tangannya atau perintahnya. Maka jadilah sesuatu itu berpindah kepada pihak yang bersama-sama dengan dia……”.
Penjelasan Raja Ali Haji dengan bertukarnya huruf (k) dan (l) pun dijelaskan lebih lanjut di bait selanjutnya. “……., Syahdan adalah bicara ini patut pada pasal alif akhirnya lam, akan tetapi dari pada galib kebanyakn orang –orang melayu memutarkan dengan lidah, membuang lam diganti dengan ya serta hamzah, maka dimasukanlah pada pasal alif akhirnya hamzah ini adanya”. Sejatinya lema “Ambik” telah terjadi penyempurnaan klasik dalam Bahasa Indonesia menjadi lema “Ambil”. Sedangkan di halaman 122, Raja Ali Haji juga menyinggung dan memberikan contoh kata “Ambil” dalam kontek kalimat menjadi kata ulang “Berambil-ambilan” yang dijelaskan ; Si Umar mengambil anak si Zaid diperbuatnya menantu dan di Zaid mengambil anak si Umar di perbuat menantu pula…,.”.
Pun demikian penjelasan Drs. Zubeirsyah dalam bukunya Bahasa Melayu Dialek Deli Medan tahun 1984 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di Kemendikbud Jakarta d halaman 73, mencatat lema; Ambik [ambik] yang bermaksud ‘’ ambil, kutip, bawa’. Hal ini juga didukung oleh W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia tahun 1966 dengan dicantumkannya lema “Ambik” di halaman 36, sebagai salah satu bahasa percakapan yang bermaksud “Ambil”. Seakan lema “Ambik” sudah jarang dipakai dan hanya hidup dalam bahasa lingkungan atau daerah tertentu.
Penjelasan Raja Ali Haji, Zubeirsyah dan Poerwadarminta dalam kurun waktu yang berbeda memiliki sudut pandang yang sama dalam memaparkan makna kata “Ambik” dalam masyarakat Melayu Karimun sebagian kecil pelaksanaan upacara perkahwinan lebih sering menggunakan kata “Berambik” di bandingkan kata “Unduh Mantu” bagi orang Jawa khususnya. Meskipun istilah “Berambik” bagi orang melayu sendiri kini sudah berangsur-angsur tidak dikenal di komunitas masyarakatnya sendiri atau mungkin saja, di ceruk rantau Kepulauan Riau ada penyebutan yang lain. Untuk menjaga nilai-nilai budaya yang patut, penyebutan dan pelaksanaan “Berambik” kiranya lebih lanjut perlu dilakukan penelitian oleh berbagai pihak dan tentunya terus menerus dibual di kedai-kedai, dan dicakap dari majelis ke majelis untuk dilestarikan. *****