Ruangan rumah yang sejatinya rapi menjadi riuh dengan tumpukan aset sejarah, bahkan diantara arsip itu, ada yang sangat langka. Bagaimana tidak, arsip yang menjadi saksi bisu perjalanan ”Naga” dalam dunia sastra Melayu itu hanya ada 2 unit di dunia, yakni Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Leiden Belanda.

Tanjungpinang – Dahinya berkerut. Sesekali jarinya membenarkan letak kacamata yang longsor dari hidung mangirnya. Bola matanya liar memirih lembar demi lembar lautan sejarah sastra melayu yang tumpah dalam bentuk ratusan manuskrip kuno.

Usaha yang keras itu bukan tanpa muara. Sang sejarawan Kepulauan Riau (Kepri) Aswandi Syahri sedang bersiap melangsungkan pameran tunggal terkait karya sastra Melayu dari zaman ke zaman, dengan mengusung tema ”Memperkuat Akar Puisi Melayu.”

”Aku lagi prepare pameran tunggal, konteksnya itu sebenarnya aku ingin memberi gambaran tentang perjalanan sastra sejak zaman keagungan kerajaan Riau-Lingga,”ucapnya yang tetap enggan mengalihkan pandangan dari harta karun sejarah sastra Melayu.

Keagungan terbesar dalam sejarah sastra tentu tak lain dan tak bukan adalah Raja Ali Haji yang di masanya tidak hanya berperang dengan kalam, melainkan juga mampu mengukir budi di bumi NKRI.

”Kalau diibaratkan naga, Raja Ali Haji (RAH, red) itu umpama kepalanya, tentu ada badan dan ekor yang membuatnya meliuk panjang meniti arloji perjalanan sejarah,” kata Aswandi berkisah.

Alasannya sederhana, sejauh ini masyarakat mengenal RAH hanya dari sebuah maha karya fenomenal Gurindam XII belaka. Padahal tidak hanya itu saja, dan tentunya bukan hanya RAH saja yang handal di bidang sastra Melayu ini.

”Kan nanti ada Pertemuan Penyair Nusantara, inilah saatnya kita pukau para sastrawan dunia dengan amunisi terbaik yang kita miliki, sekaligus menjadi telaga edukasi bagi pelajar yang tidak hanya mengenal RAH saja,” bebernya, kali ini, di balik kacamata berbingkai tebal Aswandi mulai terpapar bara semangat yang berkobar.

”Nih buktinya, RAH juga punya puisi, bahkan di zamannya itu dia (RAH, red) berhasil juga menciptakan karya jenis baru. Ikat-ikatan namanya, yaitu sejenis puisi seperti pantun tapi saling berkait. Ha… mirip seloka, tapi bukan,” jelasnya dengan menyodorkan lembar-lembar arsip pusaka sejarah.

Bahkan di periode itu, RAH secara brilient mampu menciptakan juga sebuah utorial dan atau panduan tentang cara menulis puisi, syair dan gurindam berikut contoh-contohnya.

”Nama karya itu Surat Timbangan Syair jadi seperti SOP dalam proses membuat karya. Bayangkan RAH saja sudah mampu secerdas itu di tahun yang cukup tua.”

Surat Timbangan Syair itu tercipta atas kerisauan RAH terhadap karya-karya yang datang dari negeri selat (singapura, red).

”Sebab kan di negeri selat atau Tumasik itu banyak orang keling, cina, jadi kalau buat syair dan pantun banyak yang tidak sesuai timbangan kesempurnaannya, alias sumbang. Sama seperti pejabat-pejabat sekarang inilah kalau berpantun, sumbang menyumbang, anehnya kita tetap saja tepuk tangan,” kesalnya dengan kondisi sastra Melayu yang sudah dipreteli kaidah-kaidah sucinya.

Selain sosok yang dikenal, masyarakat disuguhkan dengan sederet nama-nama yang lumayan asing, seperti cucunya RAH yakni Raja Haji Abdullah, yang menciptakan syair syahinsya yang terkenal.

Tidak hanya kaum adam, Aswandi menyodorkan sebundel daftar nama penambah panjang tubuh naga dari kalangan perempuan.

”Ada Raja Sapiah yaitu anak Raja Ali Haji yang menulis syair kumbang mengindera, uniknya karya itu bukan dalam bentuk buku, tapi dalam versi gulungan dengan panjang 2 meter,” tuturnya.

Selain itu, di zaman mendekati kekinian yakni gerbang abad 20 dan akhir dari abad 19 muncul juga sosok Aisyah Sulaiman, sekitar tahun 1920-an dengan karya hebat berjudul Kahadam Mudin serta Seligi Tajam Bertimbal.

Banyaknya arsip-arsip kuno dan langka, membuat Aswandi harus menguras peluh lebih banyak dengan menyiapkan 16 both untuk menyajikan ratusan karya sastra yang meliputi manuskrip-manuskrip kono.

Naga itu semakin meliuk gemulai, semakin tahun semakin panjang dan perkasa sebab dunia kepenyairan Indonesia, sedikit atau banyak pasti tetap terpengaruh oleh aura RAH.
Sutardji Calzoum Bachri misalnya, yang mulai ramai menjadi buah bibir Indonesia sejak 1963 silam lewat kredo puisinya.

”Makanya aku tak yakin ada interval waktu kekosongan dalam perjalanan sastra Melayu, tubuh naga itu tetap tersambung dari tahun ke tahun, dari karya ke karya, sebab, kalau sempat kosong maka aku juga yakin budaya pasti runtuh.

Dari binar cahaya mata sang ahli sejarah ini seperti melampaui takdir Tuhan dengan meyakini sepenuh hati bahwa generasi berikutnya bisa lebih hebat.

Alasan Aswandi cukup sederhana yakni karena dunia semakin kecil dengan teknologi. Selain zaman yang semakin canggih. Juga karena bahasa Melayu ini khas kosakatanya dibandingkan seluruh bahasa yang ada di planet bumi ini. bahkan ada yang menjuluki bahwa bahasa Melayu itu a-dalah bahasa Italia dari timur.

Untuk saat ini, di penghujung tahun 2016, ekor Naga sejarah sastra Melayu bermuara kepada seorang perempuan yang jauh lebih muda dari penyair muda lainnya. Gadis mungil itu bernama Nabila Putri Akhyar yang masih belum genap berusia 10 tahun, namun sudah piawai memainkan liukan ekor naga sehingga tampak lebih anggun.

Mungkinkah berakhir di Nabila? Atau ekor naga itu terus tumbuh di tahun 2017 dan tahun-tahun berikutnya? Yang jelas, persiapkan diri untuk menikmati sajian Naga Kesusatraan Melayu pada tanggal 15-18 Desember mendatang, tepat di dasar gedung gonggong yang ikonik milik Negeri Pantun.(Yoan S Nugraha)

Artikel BerikutMemperkuat Akar Puisi Melayu

Tinggalkan Balasan