Jadilah Melayu yang di sanjung, bukan Melayu yang di gantung!
Oleh: M. Febriyadi

Ilustrasi kehidupan orang Melayu-f-dok.Tundra Laksamana

Kebudayaan memiliki potensi besar membawa masyarakat menuju gerbang perubahan. Di Gerbang tersebut,  berdiri pendidik-pendidik yang siap meramu karakter-karakter anak bangsa menuju perubahan yang dikehendaki. Hal tersebut menjadi fundamental kehidupan yang tak terbantahkan—mutlak harus tertanam sejak dini pada masing-masing individu manusia. Begitu juga bagi masyarakat Melayu yang hidup berdasarkan adat resam dan pantang larang dalam bersosial masyarakat, tentu hal inilah yang menjadi pengawas dalam bertindak, bertutur sapa, dan berinteraksi antar sesama. Semua hal itu tidak lepas dari pendidikan yang lahir atas kepedulian mereka dalam membentuk karakter. Karakter pula yang membuat masyarakat disanjung, atau digantung . Maka diperlukanlah pendidikan. Cara penyampaian harus pula relevan dengan situasi sosial masyarakat pada waktu itu. Tujuannya agar apa yang diharapkan mudah diterima, dan terealisasi dengan baik. Bagi masyarakat Melayu mendidik berdasarkan warisan kepercayaan nenek moyang adalah mendidik dengan pantang larang.

Bagi Masyarakat Melayu, pantang larang merupakan kepercayaan yang bekaitan dengan adat dan budaya warisan nenek moyangnya. Pantang larang diperkenalkan kepada masyarakat Melayu secara lisan. Hal yang disampaikan bukan semata-mata untuk dipercayai, namun untuk dihayati pesan yang terkandung di dalamnya.

Menurut Effendy (2003:65) yang menafsirkan istilah pantang larang sebagai segala perbuatan yang ditabukan berdasarkan “kepercayaan tradisional” yang mereka warisi turun temurun. Biasanya bila seseorang melanggar pantangan budaya ini akan berakibat timbulnya sengketa, malah berakibat hukuman, ada sanksi dari masyarakat. Pada posisi inilah pantang larang bertindak sebagai kebudayaan primitif yang mampu mengendalikan tingkah laku individu. Tingkah laku tersebut pasti berhubungan dengan karakter. Karakter perlu dibangun, direnovasi, dan dirawat seintens mungkin. Alat untuk mengintegrasi ketiga hal tersebut adalah dengan pendidikan. Sehingga istilah pantang larang Melayu erat hubungannya dalam pelaksanaan pendidikan karakter saat ini. Hanya saja, dalam pelaksanaannya dewasa kini, lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat realistis, bisa diterima akal sehat manusia.

Menurut Mendiknas (2011:8) terdapat sembilan pilar karakter yaitu, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaannya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran/amanah dan diplomatis, hormat dan santun, dermawan dan suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama, percaya diri dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, serta karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Sementara pantang larang dalam konteks pendidikannya lebih mengedepankan hal-hal sederhana yang biasa dilakukan sehari hari. Biasanya berkaitan dengan waktu,tempat, keselamatan jiwa, kepercayaan gaib, pekerjaan dan aktivitas. Berikut secara rinci pantang larang dalam hubungannya merealisasikan pendidikan karakter orang Melayu:

  1. Berkaitan dengan waktu

Waktu dalam pantang larang masyarakat Melayu terbagi dua, yaitu pantang larang malam hari dan pantang larang menjelang malam. Salah satu contoh pantang larang malam hari sebagai berikut:

“jangan memotong kuku di waktu malam, nanti pendek umur”

Secara logika memotong kuku diwaktu malam kaitannya dengan panjang dan pendeknya umur seseorang sangat tidak masuk akal. Namun jika dihayati pesan yang terkandung di dalamnya sangat relevan dengan kondisi pada waktu itu, yakni memotong pada malam hari dikhawatirkan akan terpotong daging atau tangan. Karena pada waktu itu, penerangan sangat kurang, listrik belum dirasakan orang-orang terdahulu pada waktu itu, lagipula alat potong yang biasa digunakan adalah pisau silet, dan jenis pisau-pisau lainnya. Tentu alat-alat tersebut bisa mengundang petaka jika salah waktu menggunakannya.

Bagitu juga pantang larang ketika menjelang malam, seperti “jangan bermain di waktu senja, nanti disembunyikan hantu”. Padahal yang ingin ditekankan orang-orang Melayu pada waktu itu adalah senja adalah waktu untuk bersiap-siap untuk melaksanakan ibadah . shalat maghrib. Jika anak-anak dibiarkan bermain, dikhawatirkan mereka akan lalai melaksanakan shalatnya.

 

  1. Berkaitan dengan tempat

Contoh sederhana pantang larang yang berkaitan dengan tempat yakni “Jangan bersenda gurau di daerah perkuburan, nanti ditegur makhluk halus/hantu”. Kepercayaan ini tidak sepenuhnya benar. Seperti yang kita ketahui bahwa perkuburan adalah tempat orang berduka cita, memanjatkan doa  untuk orang-orang yang telah meninggal dunia. Jika kita bersenda gurau di sana, terkesan kita tidak berempati terhadap orang yang berduka. Di sini rasa untuk menghargai perasaan orang lain sangat dibutuhkan untuk menjalankan fungsi manusia sebagai makhluk sosial.

 

  1. Berkaitan dengan hal-hal gaib

“Jangan tidur setelah makan, nanti ditindih hantu!” Larangan itu tergolong efektif menahan orang dari sifat bermalas-malasan selepas makan. Secara logika, berbaring/tidur setelah makan dapat menggangu system pencernaan, dan hal ini tentunya sangan tidak baik untuk kesehatan system pencernaan kita.

 

  1. Berkaitan dengan aktivitas atau pekerjaan

Bagi anda yang lahir ditahun 1990-an ke bawah, masih ingat dengan pantang larang “Jangan makan berpindah tempat, nanti banyak bini/laki!”. Tentu saja larangan ini sangat popular dizamannya. Bagi pria yang hobi berbini banyak, pantang larang ini bisa dijadikan harapan yang suatu saat bisa menjadi kenyataan. Namun sebagian perempuan takut jika lakinya lebih dari satu, selain merupakan larangan agama, hal tersebut dirasa menakutkan. Secara logika pesan yang hendak disampaikan bukan seperti itu adanya, melainkan untuk mencegah remah-remah makanan berserakan lebih dari satu tempat. Maka akan banyak tempat menjadi kotor, maka dari itu pantang larang ini digunakan untuk mengajarkan anak agar menjaga kebersihan rumah dari sisa makanan di mana-mana tempat.

 

Dari empat penjabaran kategori pantang larang di atas, relevansinya dengan pendidikan karakter jelas sudah bahwa masyarakat Melayu sangat menginginkan karakter anak-anaknya menjadi karakter yang baik. Taat pada perintah agama, perintah orang tua, dan pandai menempatkan diri pada lingkungan yang penuh resam, adat dan budaya seperti halnya yang telah diwarisi nenek moyangnya. Melanggar pantang larang sama artinya dengan melanggar nasehat, tidak menghormati adat resam, dan yang paling menakutkan adalah hilangnya ke-Melayuan dalam dirinya.

Pendidikan karakter dimulai sejak dini, artinya orang pertama yang menanamkan pendidikan karakter adalah orang tua. Jauh sebelum ada lembaga pendidikan, masyarakat Melayu telah berhasil melahirkan kurikulum pendidikan di lingkungan keluarganya sendiri. Kurikulum tersebut bernama pantang larang. Gurunya adalah ibu dan ayah. Anak-anak Melayu masa lampau sangat fasih bersopan santun. Tingkat kepopulerannya bergantung pada karakter yang mereka hasilkan saban hari ketika berkecimpung di masyarakat. Sungguh mereka tunduk pada tradisi pantang larang, kemampuan berpikir orang Melayu tak kalah hebat dengan yang lainnya.

Walaupun dewasa kini, pantang larang sudah tidak sepopuler masa lampau, namun nilai-nilai yang terkandung di dalam pantang larang masyarakat Melayu haruslah mendarah daging, demi peradaban Melayu yang cemerlang, berdiri dengan akar budayanya, menjadi teladan bagi bangsa dan negaranya. Kamuflase globalisasi yang ranum, takkan mampu mengoyahkan akar kebudayaan. Jangan sampai tercabut dari tanahnya sendiri, tetaplah menjadi pancang-pancang kokoh peradaban.  Jadilah Melayu yang di sanjung, bukan Melayu yang di gantung!***

Artikel SebelumBERSANDING DAHULU BERAMBIK KEMUDIAN
Artikel BerikutAntara Mitologi Gerhana Dan Runtuhnya Istana Lingga

Tinggalkan Balasan