Oleh : Husnizar Hood
Kemarin anak-anak muda bagai tak bisa dibendung tetap saja memperingati hari Kasih Sayang, “Valentine Day”, bahasa orang putih sana sementara kita orang dengan kulit berwarna kalau tak mau disebut orang kulit coklat tua, kita tidak mengenal akan hari valentine itu, konon hari itu menjadi hari berkasih-kasih sayang yang pantang bagi orang Melayu karena tak sesuai dengan adat resamnya, orang Melayu yang menjunjung tinggi nilai agama.
Kata emak saya orang Melayu itu kasihnya tak bertepi terus menerus sepanjang hari apalagi kalau kita ingat akan kiasan kasih anak sepanjang galah kasih ibu sepanjang zaman, alangkah indahnya kasih sayang itu.
Sebenarnya saya tak mau membahas tentang hari kasih sayang ini hanya saya ingin mencatatnya saja kalau direnung-renung rasanya semakin hari nilai-nilai kasih saya itu semakin melayang-layang hampa padahal kalau kita dengar mungkin – meskipun belum saya hitung rinci – dalam lagu Melayulah saya rasa paling banyak menggunakan lirik kata “sayang”, nyanyikanlah, aduhai begitu mesranya lagu-lagu itu.
“Pulau Bintan, ala sayang lautnya biru…”, itu salah satu lirik yang saya hafal dan ada banyak lirik lagu lainnya meskipun kalau ditinjau-tinjau makna kata “sayang” itu sebenarnya mendua, ada sayang yang maknanya sangat suka, mengasihi dan sayang yang tak rela atau menyesali.
Pernah baca puisi judulnya “Pahlawan Tak Dikenal” karya Toto Sudarto Bahtiar, selalu diperlombakan,
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur
Sayang…
Sebuah lubang peluru bundar bersarang didadanya…
Menjadi harus dicermati kata “sayang” itu, ia mengasihi atau menyesali? Setahu saya karena saya pernah menang lomba membaca puisi itu, sayang di puisi itu maknanya menyesali.
Akankah hari ini setelah sejak kemarin sayang yang ada dalam hari-hari kita adalah hanya sayang yang menyesali saja, kita kehilangan rasa mengasihi yang indah itu, kita dengan mudah mengikut-ikut menyesali juga dan ujung dari penyesalan itu kita membencinya tanpa kita melakukan sesuatu, misalnya melahirkan karya-karya yang hebat dari akal budi orang Melayu yang kuat, baik kuat budi baiknya maupun kuat tegak kokoh ekonominya.
Kenapa saya ingin mencatatnya hari ini karena saya takut kata “sayang” itu akan keluar besok, lusa atau nanti dalam waktu yang tak lama lagi. Dan kita menepuk kening kita sendiri.
Di depan mata kita sudah ada contoh-contoh ungkapan itu keluar hari ini, negeri-negeri yang lepas simpai budayanya, kita menjadi asing bahkan menjadi tamu di rumah kita sendiri, kita merasa kehilangan dan tak tau dimana akan kita cari padahal kita tak tau bentuk dan rupa apa yang kita cari itu. Sayang…
Adalanya kita mampu mengubah wajah sebuah negeri tapi kita gagal mengubah sikap prilaku anak negeri itu. “Ini masalah kesadaran kita, jangan pernah merasa kalah meskipun menang dan kalah itu harus ada dan kita haris menghadapinya”, teringat kata emak saya, usianya 83 tahun tapi dia memang motivator sejati, seniman bahkan mungkin juga politisi, sambil berpesan kepada saya diakhir pembicaraannya, “jangan lupa mentransfer uang belanja”.
Mari kita memulai, berbuat, berkerja dan bertarung melahirkan karya, hidup harus memilih, jangan disesalkan apa yang kita jalani, semua perlu pengorbanan dan bagi seorang petarung tak ada cara untuk merasa terkorbankan atau dikorbankan bagi kita hanya satu, berada di gelanggang dan sayang, kenapa kalian hanya jadi penonton saja?