Oleh: Fatih Muftih
Kini, Istana Kota Piring ‘terbelah’; sekeping di Tanjungpinang Timur; sekeping di Pulau Dompak. Karena sejarah tidak mencatat, masyarakat harus cermat agar tidak salah alamat.
Sekali lagi, sejarah tidak mencatat Istana Kota Piring. Merujuk pada kitab sejarah Tuhfat al-Nafis yang disempurnakan Raja Ali Haji tahun 1860-an, tak sekali pun termaktub frasa atau istilah Istana Kota Piring.
Pada edisi Tuhfat al-Nafis yang dialihaksarakan Virginia Mathewson terbitan tahun 1998 pada halaman 233, disebutkan, “maka, apabila sampai ke Riau, maka Yang Dipertuan Muda pun berbuatlah istana di pulau Biram Dewa, serta dengan kota yang indah-indah, yaitu kota batu yang bertatah dengan pinggan dan piring, sangatlah indah-indah, dan saat ini masih ada bekas kota itu di hulu Riau adanya.”
Jelas tidak diterakan frasa utuh ‘Istana Kota Piring’ yang ditulis Raja Ali Haji mengenai istana pesanggrahan kakeknya itu. Sementara penggunaan lema ‘kota’ pada kutipan halaman 233 tersebut, dalam bahasa Melayu kuna berarti pagar.
“Jadi pagar istana itu yang bertatahkan pinggan dan piring indah. Bukan istananya,” jelas Sejarawan Kepri Aswandi Syahri, pada sebuah sesi wawancara dengan Batam Pos.
Lalu mengapa kemudian pesanggrahan Raja Haji itu masyhur dengan Istana Kota Piring? Sejarawan berkacamata ini berasumsi, penamaan Istana Kota Piring itu didasarkan penamaan yang acap disebutkan oleh masyarakat sekitar kala itu. “Seperti penyebutan Istana Kota Rebah yang tidak tertulis tapi kemudian kita ingat hari ini. Sifatnya turun-temurun,” ujarnya.
Dulunya, Istana Kota Piring berdiri di Pulau Biram Dewa. Selain berpagarkan piring-piring indah, beberapa bagian luar lain istana juga bertatahkan cermin. Sementara tiang istananya konon juga dilapisi tembaga. Sehingga ketika terpapar sinar matahari atau bulan akan memantulkan cahaya dan menerangi daerah sekitarnya. Yang oleh Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis dilukiskan dengan, “adapun kota itu kala kena sinar mata hari mancar-mancar lah cahayanya.”
Namun kini, tidak ada lagi pulau itu, yang tak kuasa melawan nafsu reklamasi. Penimbunan dari waktu ke waktu menyumbat selat kecil yang pernah memisahkan kedua daratan di penjuru timur Tanjungpinang itu. Begitu pula sisa berupa puing-puing Istana Kota Piring yang kini nyaris tidak terlihat lagi.
Secara administratif tapak Istana Kota Piring berada di Kelurahan Melayu Kota Piring RT. 02 RW. 03, Kecamatan Tanjungpinang Timur. Tepat di tengah-tengah pemukiman warga. Di situ hanya terpasang papan informasi sepintas tentang situs Istana Kota Piring Pulau Biram Dewa yang didirikan Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang.
Dari masa ke masa semua sepakat di situlah lokasi Istana Kota Piring sebenarnya. Namun, agak berbeda dalam konteks kekinian. Sejak September 2014 silam, ‘Istana Kota Piring lain’ berdiri. Bukan berupa bangunan baru. Melainkan, keputusan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk menamakan kompleks perkantoran di Pulau Dompak sebagai Istana Kota Piring.
Pada kali pertama pengesahannya sempat menimbulkan polemik. Karena dikhawatirkan bakal menimbulkan kerancuan tentang lokasi sebenar-benarnya Istana Kota Piring. Tapi nasi sudah jadi bubur. Polemik itu tidak lantas mengubah apa-apa hingga hari ini. Dua tahun kemudian Istana Kota Piring sebagai nama kompleks perkantoran Pemprov Kepri tidak jua berganti.
Saat itu, diputuskan sedemikian lantaran tidak ditemukan data-data sejarah mengenai pulau Dompak. “Terlalu sederhana bila mengatakan Pulau Dompak tak punya sejarah, tak punya masa lalu yang tercatat dalam sejarah, dan tak tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah,” kata Aswandi.
Historisitas sebuah negeri dan tempat, kata Aswandi, tak mutlak harus ditandai dengan bangunan-bangunan dan peninggalan monumental seperti yang ada di Pulau Penyengat dan Sungai Carang, Hulu Riau. Hal-hal yang sepele, dan kecil tentang masa lalu sebuah negeri, katanya, juga penting bagi jatidirinya di masa kini.
Sejauh yang diketahui Aswandi, dokumen paling tua berkenaan dengan Pulau Dompak adalah sebuah laporan berbahasa Belanda berjudul Beknopte Aantekening Over Jet Eiland Bintang yang ditulis dokter bernama H.C. Steenhard pada tahun 1833, yang kini tersimpan di Belanda, dan satu salinannya ada di sebuah perpustakaan di Jakarta.
Selaian menjelaskan perihal kota Tanjungpinang dan biografi singkat anggota keluarga yang penting dari istana Riau-Lingga, kata Aswandi, di dalamnya juga dipaparkan tentang pulau-pulau kecil yang terletak di lepas pantai Tanjungpinang. “Satu di antaranya adalah Pulau Dompak,” ujarnya.
Pilihan tim kajian Pemprov Kepri untuk menamakan komplek perkantoran dengan Istana Kota Piring ibarat mata pisau. Mengenang dan menggaungkan kembali sejarah sebenarnya Istana Kota Piring yang sempat terabaikan, dan sekaligus tidak menutup kemungkinan menimbulkan kerancuan pemahaman generasi-generasi mendatang. Sebab itu, mata pisau yang terbuka menganga itu perlu dibuatkan sarung agar tidak melukai sejarah yang sudah ada. *** (jm)