KEHADIRAN (alat-alat) musik cara Holanda (musik Eropa) di istana Riau-Lingga sejak awal abad ke-19, tak menggerus keberadaan (alat) musik tradisi yang mengiringi seni tarik suara dalam institusi istana itu. Musik nobat diraja @ royal orchestra masih dimainkan dan memainkan fungsi.
Menurut G.F. Brujn Kops dalam laporannya yang berjudul Schets van den Riouw-Lingga Archipel (1853), Lagu Goenong Sajang masih dinyanyikan dengan iringan instrumen musik sli Melayu seperti, gendang, rebab, gong, kromong, dan lain sebagainya. Selain itu, sejenis alat tiup tradisi Melayu, berupa suling, yang disebut bangsie (bangsi) masih menjadi alat musik favorit yang dimainkan oleh orang-orang Melayu di Daik-Lingga.
Seperti dicatat dalam laporan Christian van Angelbeek ketika mengunjungi Daik-Lingga pada masa Sultan Mahmud Ri’ayatsyah dalam Korte Schets van Het Eiland Lingga en Dezelfs Bewonners (Batavia, 1829), gamelan dan musik yang mengiringi tarian ronggeng (ronggings dansen), dan bahkan Wayang Cina (Chinesche Wajang) masih dimainkan di balairung istana.
Bukan tidak mungkin perjumpaan dua kutub tradisi seperti ini menghasilkan perbancuhan tradisi dalam permainan dan penggunaan alat-alat musik. Sebuah realitas historis yang perlu dikaji lebih jauh. Tulisan ini adalah kelanjutan (bagian kedua) dari tulisan sebelumnya.
Pengawasan Marhum Kantor
Walaupun awal perkembangannya didukung penuh oleh institusi istana melalui Yam Tuan Muda Riau Raja Jakfar (1806-1832), perjalanan sejarah musik cara Holanda di istana Riau-Lingga sejak awal abad 19 hingga dekade pertama abad 20, tak sepenuhnya berjalan mulus. Tetap ada ‘batu sandungan’. Sikap dan respons institusi istana Riau-Lingga beragam, dan sangat bergantung pada siapa yang memegang tampuk kekuasaan.
Sebuah ilustrasi menarik dikemukakan oleh Raja Ali melalui salah satu magnum-opus historiografi Alam Melayu yang paling penting, Tuhfat al-Nafis. Menurut Raja Ali Haji, pada masa pemerintah Yamtuan Muda Raja Ali Marhum Kantor (1832-1844), musik dan permainan musik yang mengiringi sebuah nyanyian diawasi dengan ketat.
Yamtuan Muda Raja Ali yang terkenal warak itu akan ‘marah besar’ bila mendapati ada rang yang “berhanyut-hanyut bermain musik”. Apalagi bila kedapatan “orang bermain-main [musik] yang membawa cabul laki-laki dengan perempuan serta orang bernyanyi-nyanyi beranyut [terbuai] dengan pantun sindir-menyindir pada pekerjaan zinah”.
Oleha kerena itu, ada kalanya ia menyuruh “rampas biola kecapinya orang yang beranyut itu dan berdondang sayang yang dekat-dekat rumah orang orang yang baik-baik supaya jangan jadi fitnah kepada anak muda orang, dan supaya jangan jadi cabul negeri.” Apakah Raja Ali anti seni musik, apalagi alat musik Eropa? Apakah sikap ‘keras’ itu menghentikan perjalanan musik cara Holanda di istana Riau-Lingga? Tidak juga!
Namun yang jelas, sikap ‘keras” pihak istana Riau-Lingga terhadap seni musik pada ketika itu, tidak menghentikan sama sekali perkembangan musik cara Holanda di antara permaian musik ala Melayu di istana Riau-Lingga, sebagaimana terlihat pada zaman pemerintahan Yamtuan Muda Raja Muhammad Yusuf dan Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah yang berlangsung hingga 1911.
ASWANDI SYAHRI, SEJARAWAN