SELAIN menjadi wilayah seni dalam arti yang sesungguhnya, musik juga menjadi bagian yang penting dalam hubungan politik antara istana Riau-Lingga dengan Gubernur Jenderal di Batavia, dan Resident Riouw sebagai wakilnya di Tanjungpinang.
Dalam wilayah ini, dua kutub tradisi penggunaan musik sebagai bagian dari kebesaran protokoler masing-masing pemerintahan Hindia Belanda dan Riau-Lingga berada pada taraf kebesaran dan kesejajaran yang sama.
Pukulan gendang nobat dan tiupan Nafiri tetap menjadi bagian yang penting yang disandingkan dengan pukulan genderang oleh prajurit tambur Eropa, tatkala Sultan melakukan kunjungan kehormatan ke istana Resident Riouw di Tanjungpinang atau sebaliknya ketika Resident Riouw melakukan kunjungan kehormatan ke istana Sultan di Lingga dan di Pulau Pulau Penyengat.
Aturan Protokoler Sambut-Menyambut antara kedua belah pihak yang melibatkan peranan (alat) musik sebagai simbol kebesaran ini, dituangkan kedalam sebuah besluit (surat keputusan) No. 8 tanggal 16 Januari 1897 yang kini tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta dan pernah disimpan oleh Khalid Hitam sebegai pemegang arsip kerajaan di Pulau Penyengat.
Pada pasal 2 aturan itu, antara lain dijelaskan sebagai berikut: “Dengan kedatangan surat-surat dari Paduka Gubernur Jenderal, yang ditujukan kepada Sultan atau Yang Dipertuan Riau, yang oleh komisi atas nama Sultan atau Yang Dipertuan Riau dijemput di rumah residen, surat-surat ini disiapkan di atas nampan perak dengan ditutup kain kuning. Jika surat-surat itu diterima oleh komisi, maka untuk menghormatinya sebuah tembakan dari 11 atau 13 meriam dilepaskan dari benteng Kroonprins. Komisi disertai oleh tanda-tanda jabatan umum dari raja-raja dan bersama musik nafiri dan nobat dari Sultan atau nobat dari Yang Dipertuan Riau.”
Selain itu, jika Sultan atau Yang Dipertuan Riau atau keduanya melakukan perjalanan lewat laut, maka di tempat pendaratan (dermaga) rombongan Sultan Atau Yang Dipertuan Muda Riau dijemput oleh sebuah komisi (panitia) yang dibentuk oleh Resident Riouw. Pada jalan masuk menuju rumah residen di Tanjungpinang. Di depan rumah jaga kediaman Residnrt Riouw yang menghadap ke tepi laut sebuah gerbang kehormatan didirikan. Dijaga oleh seorang sersan Eropa, seorang kopral Eropa, seorang prajurit tambur Eropa dan delapan orang serdadu Eropa: semuanya dalam busana kebesaran. Pada saat Sultan dan rombongan lewat, prajurit ini mengangkat senapannya dan pemain tambur memukul dua genderang. Pada saat berangkat, upacara serupa juga wajib dilaksanakan.
Sebalik, jika Resident Riouw melakukan kunjungan resmi kepada Sultan atau Yang Dipertuan Riau, maka sebuah upacara penyembutan dilakukan pula di Pulau Penyengat. Residen disambut di Penyengat dengan tembakan 15 meriam. Di tempat pendaratan, rombongan Resident disambut oleh suatu komisi (panitia) yang terdiri dari dua orang bangsawan. Di depan istana tempat tinggal Sultan atau Yang Dipertuan Riau di Pulau Penyengat. Di tempat ini pemain alat musik nafiri dan nobat Sultan atau nobat Yang Dipertuan Riau disiapkan. Para pemain alat musik diraja itu berdiri di samping sebuah tombak kerajaan yang dibawa oleh seorang petugas. Sementara itu delapan pemegang tombak yang memakai wali, (sejenis kain selempang) yang digantung dibahu kanannya. Mereka berdiri berjajar di sisi jalan masuk menuju istana.
Dengan mendekatnya rombongan Residen Riouw, maka tiupan nafiri dan pukulan gendang nobat mulai melantunkan lagu Iskandaryah atau lagu Ganjara untuk menghormatinya. Dalam protokoler prosesi sambut-menyambut antara istana Riau-Lingga dan pihak Resident Riouw ini, musik menjadi salah satu penanda kebesaran dan kehormatan dalam hubungan politik dua pemerintahan berbeda yang sejajar kedudukannya.***
ASWANDI SYAHRI, SEJARAWAN