PADA masa pemerintahan Sultan Abdurahman Mu’azamsyah (1885-1911), musik Eropa atau musik cara Holanda, benar-benar mendapatkan jalannya di istana Riau-Lingga. Embrio kehadiran seni muzik cara Holanda yang telah dimulai oleh Yamtuan Muda Raja Jakfar pada tahun 1806 ini, telah tampil memperlihatkan sosoknya yang sempurna, dan telah menjadi bagian dari institusi istana.
Periode ini antara lain ditandai dengan hadirnya sebuah Brass Band ala Eropa milik Sultan dan istana Riau-Lingga dalam arti yang sesungguhnya. Seperti lazimnya sebuah Brass Band dalam tradisi musik di Eropa pada ketika itu, Brass Band Sultan Of Lingga adalah sebuah grup musik pancaragam yang didominasi berbagai alat musik tiup seperti, trompet, trombone, saksofon, clarinet, dan drum buatan Eropa. Brass Band Sultan of Lingga, adalah nama yang “dipopulerkan” oleh sejumlah surat kabar Inggris di Singapura ketika memberitakan kelompok musik dari Pulau Penyengat ini. Para pemainnya seratus persen anak-anak lokal Melayu atau, menurut istilah pada zamannya, adalah “budak-budak di dalam Riau”. Boleh dibilang, inilah band pertama yang ada di Kepulauan Riau.
Mereka dipimpin oleh Raja Abdulrahman Kecik alias Raja Abdulrahman Pak Cik yang juga menjabat sebagai Bentara Kanan Kerajaan Riau-Lingga.
Brass Band (Korps Musik) istana Riau Lingga ini tampaknya telah mulai dibentuk ketika Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah masih bermastautin di Daik-Lingga, sekitar awal tahun 1880-an, atau tak lama setelah beliau ditabalkan sebagai Sultan Riau-Lingga. Jadi, kenyataan ini agak berbeda dengan catatan Hasan Junus yang menyebutkan ianya telah bermula pada tahun 1906. Mengapa?
Jawaban atas persoalan ini dapat ditemukan dalam salah satu naskah Tuhfat al-Nafis yang kini berada dalam simpanan Pusat Manuskrip Melayu (PMM) Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) di Kuala Lumpur. Naskah Tuhfat al-Nafis versi panjang yang mengandungi banyak informasi tambahan tentang sejarah Kerajaan Riau-Lingga dan belum banyak disimak oleh para pengkaji sejarah maupun filolog itu disalin oleh Syamsudin bin Imam Musa Larut di Pulau Penyengat pada 1888.
Pada bagian akhir salinan naskah Tuhfat al-Nafis itu, Syamsudin bin Imam Musa Larut antara lain menambahkan beberapa catatan penting. Salah satu diantaranya adalah tentang pembentukan sebuah sebuah korps musik yang melibatkan anak-anak muda. Adapun pelatihnya adalah satu orang putih (orang Eropa) yang menurut bahan sumber lainnya adalah seorang bangsa Austria bernama Heer Gunter yang bersaral dari kota Vienna.
Dalam catatan itu, Syamsudin bin Imam Musa Larut menjelaskan sebagai berikut: “…Maka menggantikan kerajaannya…Raja Abdulrahman putera Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf, putera dengan istrinya Tengku Embung putera almarhum Sultan Mahmud…dan bergelar Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah. Maka ialah yang memperbuat musik serta digajinya seorang orang putih akan mengajar budak-budak yang muda-muda daripada budak-budak di dalam Riau itu meniup [alat] musik-musik itu…”
Brass Band milik Sultan Riau-Lingga ini tampaknya berfungsi ganda. Beberapa bahan sumber tertulis, serta beberapa buah rekaman visual dalam bentuk foto dari tahun 1880-an, mendukung asumsi ini.
Alunan instrumentalia yang dibawakan oleh kelompok Brass Band tersebut antara lain berfungsi sebagai musik seremonial dan sebagai pendamping barisan korps volunteer bersenjata dalam setiap parade atau perbarisan di halaman istana Keraton Riau-Lingga di Pulau Penyengat.
Selain itu, kelompok Brass Band ini juga memainkan fungsinya sebagai sebuah seni pertunjukan yang sering ditampilkan di hadapan pembesar Belanda di Tanjungpinang dan di hadapan orang-orang Eropa lainnya yang biasa diundang khusus dari Singapura sempena sebuah jamuan atau upacara di Istana Keraton di Pulau Penyengat. Fungsi seperti ini, jelas terlihat dalam acara seperti perjamuan sempena seremonial penyerahan bintang kebesaran Ridder der Orde van den Nederlandschen Leeuw (Bintang Singa Belanda) dari pemerintah Hindia Belanda kepada Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf, pada tahun 1889, umpamanya.
Jika disimak jejak sejarah musik cara Holanda yang terekam dalam manuskrip-manuskrip, arsip, dan dokumentasi foto-foto sejarahnya, maka, tak dapat dipungkiri betapa besar dan dalamnya pengaruh muzik cara Holanda di istana Riau-Lingga.
Namun jika sebuah pertanyan komtemplatif diajukan sembari bercermin pada realitas kekinian yang terserlah hari ini, maka akan terlihat bahwa pengaruh musik cara Holanda seperti Brass Band, tak meninggalkan bekas sama sekali. Kenyataan ini bertolak belakang dengan kenyataan historis yang menunjukkan betapa lama dan dalam musik Eropa itu memainkan perannya di istana Riau-Lingga.
Mengapa tak ada berbekas kesan-kesan Brass Band Sultan of Lingga itu di di Pulau Penyengat? Dibutuhkan sebuah kajian mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun yang pasti, kehadiran musik cara Holanda dalam bentuk yang sesungguhnya pada masa-masa pemerintahan Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah sangat eksklusif. Ia dimainkan dan diperuntukkan bagi lingkungan istana dan disuguhkan sebagai konsumsi kalangan elit; seperti dalam kasus majelis tari-menari (ball) sempena memeriahkan penganugerahan bintang Ridder der Orde van den Nederlandschen Leeuw (Bintang Kesatria Singa Belanda) kepada yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf pada bulan Mei 1889 (Nederlansche Staatcourant, 13 Mei 1889).
Tak berbekasnya jejak musik cara Holanda itu di Pulau Penyengat samalah kasusnya dengan punahnya tradisi musik nobat yang dulu pernah menjadi kemuncak kebesaran musik tradisi Melayu di istana Riau-Lingga di pulau bersejarah itu. Meskipun berbeda warna dan fungsinya, dan sejarahnya, keduanya adalah bagian dari seni musik ekslusif istana yang berakhir seiring dengan berakhirnya sejarah istana Riau-Lingga pada bulan Februari 1911.
Khusus untuk musik nobat, kepunahannya itu tak terlepas dari pola pewarisan seni memainkannya yang bersifat sangat ekslusif. Peralatan musik nobat hanya boleh dimainkan oleh sekelompok kecil pemain nobat turun-temurun dalam sejarah Riau-Lingga yang dikenal sebagai orang kalur. Tambahan pula, seluruh orang kalur pemain musik nobat istana Riau-Lingga yang ekslusif itu telah “hijrah” ke istana Terengganu bersama ilmu memainkan musik nobat yang mereka kuasai. Hal ini paling tidak telah dimulai ketika peralatan musik ‘nobat baru’ Riau Lingga dipinjamkan ke Terengganu sempena pernikahan seorang putri Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah dengan Putra Mahkota Kesultanan Terengganu pada tahun 1904.***
ASWANDI SYAHRI, SEJARAWAN