
Di Keepulauan Riau upaya-upaya pengekalan tradisi berpantun memang mulai bersemarak lagi beberapa tahun belakangan ini. Telah disebutkan di antara ikhtiar mulia yang mulai nampak itu pada adat-istiadat pernikahan orang Melayu, ucapan selamat atau tahniah pada penyambutan hari-hari besar nasional, daerah, agama, dan ulang tahun, sosialisasi program pemerintah, serta penelitian dan penerbitan buku pantun. Dengan memperhatikan catatan perbaikan pengembangan yang patut digesa, upaya-upaya itu memang harus diapresiasi, sama ada yang dilakukan oleh masyarakat ataupun pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota se-Kepulauan Riau).
Sebagai kawasan (bertamadun) Melayu, Kepulauan Riau menjadi tumpuan harapan bagi Indonesia dan Dunia Melayu umumnya dalam pengembangan tradisi berpantun. Daerah ini bertanggung jawab secara kultural dan struktural dalam pengekalan dan pengembangan pantun setelah ditetapkan oleh pemerintah pusat, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai satu di antara tiga daerah rujukan pantun yang pada 31 Maret 2017 ini akan didaftarkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia. Dua daerah lainnya adalah Provinsi Riau dan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Kenyataan itu juga bermakna bahwa keberadaan Kepulauan Riau sebagai salah satu pusat tradisi berpantun di nusantara ini telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia bersama tiga negara pengusul lainnya, yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand.
Bukankah Kepulauan Riau memang dikenal oleh bangsa Melayu Nusantara sebagai Bunda Tanah Melayu dan Pusat Peradaban Melayu? Dengan demikian, sangat patutlah daerah ini (pemerintah daerah dan masyarakatnya sebagai pemangku kepentingan) mengambil berat akan perkara ini dengan tak menganggapnya sebagai beban-lebih, tetapi sebaliknya memaknainya sebagai penghargaan di peringkat nasional dan regional, bahkan dunia jika kelak pantun telah ditetapkan sebagai Warisan Takbenda Dunia oleh UNESCO.
Sama halnya dengan Provinsi Aceh ketika Tari Saman diangkat menjadi Warisan Budaya Takbenda Dunia dari Republik Indonesia dan beberapa daerah lainnya yang warisan budayanya telah lebih dahulu dipromosikan. Nah, batu ujinya ada di sini. Ianya memerlukan komitmen semua pemangku kepentingan, utamanya pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang dari situlah sumber mata-air peradaban seyogianya memancarkan harapan kegemilangan. Wacana dan seremonial memang perlu, tetapi tindakan nyatalah yang menjadi tolok ukur jelas dan kelasnya segala sesuatu.
Selain upaya yang disebutkan terdahulu, masih ada aktivitas yang boleh dimasukkan sebagai bagian dari senarai ikhtiar mulia daerah ini untuk pengekalan dan pengembangan tradisi berpantun. Hebatnya lagi, kesemua upaya itu mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat. Pasalnya, tiada lain, pantun dan tradisi berpantun memang identik dengan masyarakat Negeri Segantang Lada ini.
Lomba cipta pantun, berbalas pantun, dan cerdas-cermat pantun senantiasa menarik perhatian khalayak. Sisi lebih upaya seperti ini adalah ianya melibatkan generasi muda (siswa pelbagai peringkat dan jenis pendidikan sampai ke mahasiswa perguruan tinggi). Dengan demikian, kegiatan serupa sangat baik untuk pewarisan budaya berpantun kepada para pewaris budaya (kalangan belia) sehingga apresiasi mereka terhadap warisan terala itu terus merecup membentuk kepribadian dan jati diri. Selain itu, sejak dini generasi emas masa depan bangsa ini telah didedahkan dengan nilai-nilai terala yang tersurat dan tersirat di dalam pantun, yang sememangnya misi kehidupannya tak pernah berganjak dari menjadi penuntun.
Oleh sebab itu, alangkah aib dan hibanya kita jika suatu ketika kelak generasi muda kita, justeru, hanya sekadar menjadi “penonton” kegiatan kebudayaan yang padahal mereka adalah ahli waris sahnya. Karena apa? Karena, orang lain lebih mahir daripada mereka, sedangkan mereka tak diberi laluan, atau bahkan selamba, untuk melayari bahtera harapan di samudera peradaban yang menjanjikan kebanggaan.
Acara yang biasanya ditaja oleh pemerintah daerah, sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan atau masyarakat itu sebaiknya terprogram dengan baik dan frekuensinya memadai setiap tahun. Di peringkat sekolah, sebaiknya dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, sedangkan untuk umum, dari peringkat desa sampai ke provinsi.
Pemenang di tingkat provinsilah yang dikirim untuk peringkat antardaerah dan negara-negara serumpun seperti yang ditaja oleh Dunia Melayu Dunia Islam di Melaka, Malaysia, saban tahun. Dengan demikian, kegiatan seperti ini tak akan terlalu berarti kalau programnya timbul-tenggelam alias kekadang ada kekadang tidak. Konsistensi dan konsekuensi penyelenggaraan memang sangat diperlukan.
Ini juga merupakan gejala yang patut diapresiasi karena tergolong ikhtiar mulia yang sangat disukai. Telah menjadi tradisi di Kepulauan Riau dan beberapa kawasan Melayu lainnya di Indonesia pidato resmi petinggi dan pejabat negeri dilengkapi dengan pantun. Penempatan petikan pantun dalam pidato dijumpai di awal, tengah, dan atau yang paling sering di akhir pidato. Sekarang pidato pejabat dan petinggi tanpa pantun terasa ibarat gulai kurang garam, yang sering juga menimbulkan geram, bahkan gerun, oleh hadirin untuk mendengarkannya
Kebiasaan baik itu patutlah dipertahankan dan dikembangkan. Apatah lagi, perilaku pejabat atau petinggi-negeri di negeri ini cenderung ditauladani oleh masyarakat. Petinggi suka berswafoto (selfie), masyarakat ikut-ikutan juga; petinggi gemar melakukan vlog untuk menggaet simpati pendukungnya, rakyat pun ketularan pula; dan seterusnya.
Yang lebih menarik, kebiasaan pejabat dan atau petinggi negeri di kawasan Melayu berpantun dalam berpidato, mau tak mau, diikuti juga oleh pejabat lain yang berkunjung ke daerah Melayu. Alhasil, kebiasaan berpantun dalam berpidato menjadi tradisi yang diikuti juga oleh daerah lain, sekurang-kurangnya oleh pejabat atau petingginya ketika berkunjung ke Negeri Melayu.
Bahkan, tradisi itu kembali berjangkit kepada pejabat dan petinggi Malaysia akhir-akhir ini karena mereka melihat kebiasaan di Negeri-Negeri Melayu di Indonesia. Saya gunakan istilah ”berjangkit” karena para petinggi Malaysia telah sangat lama tak lagi mahir menggunakan pantun dalam berpidato. Mereka umumnya berpendidikan Barat dan sangat setia mengikuti kelaziman dan ketakziman Barat dalam membuat ucapan (berpidato). Baru sekaranglah mereka membangkitkan kembali gairah berpantun dalam berpidato karena terkesan akan kebiasaan di Indonesia. Luar biasa, bukan?
Tetap ada catatan untuk gejala positif itu karena ianya memang perlu dicatat untuk perbaikan dan pengembangan ke depan. Dalam hal ini, dalam aktivitas berpidato resmi itu pantun yang disisipkan cenderung sekadar tempelan belaka, tak koheren dengan isi pidato secara keseluruhan, kecuali sebagai ungkapan pembuka dan penutup pidato.
Ikan kerapu bawa ke pekan
Ikan tuna dikerat-kerat
Dermaga baru saya resmikan
Semoga berguna bagi masyarakat
Tinggi sungguh pohon rambutan
Di bawahnya tumbuh pohon selasih
Atas perhatian Puan dan Tuan
Saya ucapkan terima kasih
Ilustrasi di atas merupakan contoh pantun penutup acara peresmian sebuah dermaga baru. Seperti yang tersurat, isi pantun hanya sekadar harapan dan ucapan terima kasih Sang Pejabat kepada hadirin. Selain itu, sebaiknya, amanat pantun yang digunakan menyatu dengan isi pidato atau menyinggung topik utama pidato sehingga keberadaannya di dalam teks pidato benar-benar bermakna, bukan sekadar ucapan terima kasih dan basa-basi. Maksudnya, pantun yang digunakan menjadi gagasan utama untuk mengembangkan materi pidato sehingga keberadaannya benar-benar bermakna. Dalam hal ini, kuantitas pantun dalam sebuah teks pidato dapat beragam sesuai dengan panjang-pendeknya teks pidato.
Kain sarung persalinan puteri
Raginya elok karena ditenun
Jembatan Tenggarong nama diberi
Konstruksinya tahan seratus tahun
Andaikan pantun di atas menjadi bagian dari teks pidato peresmian jembatan (ilustrasinya secara hipotetis dinamai Jembatan Tenggarong), isi pidato itu mengena pada topik pidato yang disampaikan. Sebelum atau sebaiknya setelah mengucapkan pantun tersebut, pejabat yang meresmikan jembatan dapat mengulas alasan Jembatan Tenggarong boleh tahan sampai seratus tahun. Dengan demikian, keberadaan pantun dalam teks pidato tak sekadar penghias belaka, bahkan dapat membantu penulis teks pidato atau oratornya langsung untuk mengembangkan materi pidatonya. Pantunnya pun menjadi penguat hujah dalam teks pidato. Kemahiran menggunakan pantun dalam berpidato seperti itulah yang kedepan ini sangat diperlukan.
Ratna mestika namanya tenun
Sudah masyhur sejak dahulu
Rencana manusia seratus tahun
Takdir Allah siapa ’kan tahu
Dalam lanjutan pidatonya, Sang Pejabat menampilkan sisi kerendahhatian dan keimanannya kepada Allah. Manusia boleh berencana, tetapi jangan mendahului Sang Khalik untuk sesuatu yang terjadi pada masa depan. Dengan begitu, simpati hadirin terhadap pejabat pengucap pidato pun akan bertambah-tambah. [Ilustrasi pantun ”Jembatan Tenggarong” sengaja saya dedikasikan di sini untuk mengenang musibah Jembatan Tenggarong yang baru dibangun dan diresmikan pemakaiannya beberapa tahun telah roboh, padahal prediksinya, konon, dapat tahan sampai seratus tahun].
Radio-radio siaran milik pemerintah dan swasta serta televisi (TV) lokal di Kepulauan Riau cukup menyemarakkan perkembangan tradisi berpantun di daerah ini. Para pendengar dan  penyiar atau sesama pendengar saling berbalas pantun. Yang paling sering ditampilkan adalah pantun yang diajukan oleh seseorang pendengar dijawab oleh pendengar yang lain. Pantun interaktif di radio-radio siaran dan TV itu sangat banyak peminatnya, bahkan boleh menjangkau pendengar di provinsi lain dan negara tetangga (Singapura dan Malaysia). Diharapkan acara ini terus berkembang dan kemasannya dibuat lebih menarik lagi ke depan ini dengan variasi jenis dan kualitas pantun yang lebih beragam. Kecenderungan sekarang lebih banyak pantun usik-mengusik dan gurau-senda yang muncul dalam acara itu sebagai pelepas waktu luang.
Hampir semua seni pertunjukan Melayu Kepulauan Riau menggunakan atau dapat memanfaatkan pantun sebagai mediumnya. Sebutlah Joget Dangkong, Makyong, Mendu, Dikir Barat, Boria, Gobang, Sandiwara Bangsawan, Gazal, dan lain-lain. Melalui pertunjukan kesenian tersebut, pantun dapat berkembang di samping kesenian itu sendiri. Sayangnya, frekuensi pertunjukan jenis kesenian itu pun sangat terbatas. Akibatnya, jadilah seni pertunjukan itu ditampilkan sekali-sekala, bahkan hanya sekali setahun pada acara seremonial peringatan Hari Kemerdekaan atau hari jadi provinsi dan atau kabupaten/kota.
Akhirulkalam, semoga dengan inayah Allah pantun yang diusulkan ke UNESCO pada akhir Maret ini mencapai matlamatnya. Doa, dukungan, kerja sama, dan tanggung jawab semua pemangku kepentingan di Negeri Melayu sangat menentukan kejayaan pantun agar benar-benar berperan sebagai Warisan Budaya Dunia ke depan ini.***(JM)