Awang Muhammad dan replika “padi emas Bukit Siguntang” pusaka keluarganya di  Kampung Bintan Bekapur, Kabupaten Bintan. Foto ini diambil tahun 2007. Dimuat dalam Aswandi Syahri, Kota Kara Dan Situs-Situs Sejarah Bintan Lama (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau, 2007).

Sejak akhir abad ke-19, situs peninggalan sejarah dan arkeologis yang tersebar di kawasan ‘Bintan Lama’ @ ‘Oud Bintan’  dan legenda yang melingkupinya,  telah mencuri perhatian sejumlah pengamat dan peneliti. Laporan-laporan tentang situs-situs itu telah dimulai oleh J.G. Schot dengan artikelnya yang bertajuk  “Bijdrage tot de Kennis van Oud Bintan (1888)  sehinggalah kepada Vivienne Wee melalui dua jilid disertasinya yang bertajuk Melayu Hierarchies of Being In Riau (1985) serta Gilles Massot dan Ludvik Kulkus dalam “Between Legend and Reality: The Bukit Batu Cemetery of the Island of Bintan, Riau Archipelago”(Archipel 83, Paris, 2012: 25-51).

Masih dalam semangat yang sama, tulisan ini akan menyibak sebar sedikit kait kelindan antara sejarah replika sebatang “padi emas Bukit Siguntang”  yang kini menjadi pusaka sebuah keluarga di Bintan Bekapur, Kabupaten Bintan dan hubungannya dengan mitos asal-usul (founding myth) raja-raja Melayu dalam Sejarah Melayu.

Padi Emas Bukit Siguntang Dalam Sejarah Melayu

            Penjelasan antropolog Vivienne Wee tentang kelompok masyarakat Bintan, sedikit banyak telah menjelaskan makna simbolis-historis dibalik kisah padi emas Wan Empuk dan Wan Malini di Bukit Siguntang, Palembang, dan hubungannya dengan  replika sebatang padi buah emas pusaka Orang Bintan  di Desa Bintan Berkapur, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Vivienne Wee. volume I, 1985, hal: 286-302).

Menurut Wee, jumlah emas kawin (mahar) bagi orang keturunan Bintan sebesar 44 ringgit dan ditambah 1 paha emas adalah sebuah penanda tingginya status sosial orang keturunan Bintan dan erat kaitannya dengan kisah padi Wan Empuk dan Wan Malini serta kedatangan sang Sang Nila Utama dari Palembang ke Pulau Bintan.

Dalam Sejarah Melayu, kisah padi emas Bukit Siguntang  adalah bagian dari rangkaian kisah mitos asal-usul (founding myth) dinasti raja-raja Melayu-Melaka dan kerajaan pewarisnya yang bermula di Palembang, lalu ke Pulau Bintan, Singapura, Melaka, hinggalah menjadi sumber legitimasi yang dinukilan oleh kerajaan Johor-Riau-dan Pahang pada cogan regalia kebesarannya.

Salinan naskah Sejarah Melayu yang paling tua milik Adam Johan Ritter von Krusentern yang ditemukan kembali dalam simpanan Institut Manuskrip Oriental di St. Petersburg, Rusia [dikenal sebagai Sejarah Melayu naskah Krusentern]. Tahun lalu, faksimili dan transliterasi naskah ini diterbitkan di Malaysia. Lihat Ahmat Adam, Sulalat  u’s- Salatin, Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan, 2016]. Tentang kisah padi emas Bukit Siguntang, Sejarah Melayu naskah Krusentern tersebut menjelaskannya sebagai berikut:

Maka tersebutlah perkataan ada sebuah negeri di tanah Andalas, Pelembang namanya, Demang Lebar Daun nama rajanya; asalnya daripada anak cucu Raja Sulan.  Muara Tatang nama sungainya. Adapun negeri Palelmbang itu Palembang yang ada sekarang inilah. Maka di hulu Muara Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu namanya. Dalam sungai itu  ada sebuah bukit, Siguntang Mahameru namamanya. Maka ada dua orang perempuan berladang, Wan Empuk seorang namanya dan Wan Malini seorang namanya; keduanya berhuma di Bukit Si Guntang itu-terlalulah luas humanya itu. Syahadan terlalulah jadi padinya; tiada dapat dikatakan. Setelah hampirlah masak padinya itu maka pada satu malam, maka dilihatnya oleh Wan Empuk dan Wan Malini dari  rumahnya diatas Bukit Si Guntang itu bernyala-nyala seperti api. Maka kata Wan Empuk dan Wan Malini, “Cahaya apa gerangan itu bernyala? Takut pula serasa melihat dia”. Maka kata Wan Malini, “Jangan kita ingar, kalau gemala naga besar gerangan itu”. Maka Wan Empuk dan Wan Malini pun diamlah dengan takutnya; lalu keduanya tidur; lalu hari siang.

“Maka Wan Empuk dan Wan Malini pun bangun; keduanya lalu basuh muka. Maka kata Wan Malini, “Mari kita lihat yang bernyala semalam itu”. Maka keduanya naik ke atas Bukit Si Guntang itu. Maka dilihatnya padinya berbuahkan emas dan berdaunkan perak, dan berbatangkan tembaga suasa. Maka Wan Empuk dan Wan Malini pun hairan melihat hal padinya itu. Maka katanya, “inilah yang kita lihat semalam itu”. Maka ia pun berjalan ke pula Bukit Si Guntang itu; maka dilihatnya tanah nagara bukit itu pun menjadi emas. Pada suatu cerita, datang sekarang pun tanah negara bukit itu pun menjadi seperti warna emas … Maka dilihatnya oleh Wan Empuk dan Malini di atas tanah yang menjadi emas itu tiga orang manusia laki-laki, muda-muda,  baik parasnya. Yang seorang itu  memakai pakaian kerajaan di atas lembu putih seperti perak rupanya. Yang dua orang itu berdidri di sisinya; seorang memegang pedang;  seorang memegang lembing.  Maka Wan Empuk dan Wan Malini pun hairan tercengang. Syahdan dengan ta’jubnya melihat rupa orang muda itu. Terlalu amat baik parasnya dan sikapnya…”

“…Maka Wan Empuk dan Wan Malini bertanya pada orang muda tiga orang itu, “Siapa tuan hamba, dari mana tuan hamba datang ini? Anak jinkah atau anak perikah tuan hamba? Karana lamalah  sudah kami di sini, tiada kami melihat seorang pun manusia datang ke mari ini; baharulah pada hari ini kami melihat tuan hamba”.

Maka menyahut seorang dalam tiga antara itu, “Adapun  kami ini bukan daripada bangsa jin dan peri. Bahawa kami manusia; asal kami daripada anak cucu Raja Iskandar Dhulkarnain. Nasab kami darpada Raja Nas[y]iruwan [n-s-r-w-a-n], raja sarib [s-r-b scic, masyrik]-maghrib. Pancar kami daripada Raja Sulaiman ‘alaihissalam. Nam Raja ini Tijitram [sic, Bicitram] S[ya]ah; [yang ini]  namamnya  Nila Pahlawan. Yang Seorang ini Karna Pendeyan. Pedang kami ini Curik Sumandang [sm-n-d-ng] KIni namanya; dan lembing kami ini Lembuara namanya. Yag Satu ini Cap Kayu Gempita namanay. Apabila memberi surat kepada raja-raja cap itulah dicapkannya.

Selanjutnya, seluruh naskah sejarah Melayu yang telah dikenal pasti, menyebutkan bahwa salah seorang dari tiga anak cucu Iskandar Zulkarnain  yang muncul secara gaib di Bukit Siguntang, Pelembang tersebut hijrah menjadi Raja di Pulau Bintan meggantkan Wan Sri Beni, Raja Perempuan Bintan. Raja itulah yang terkenal namanya dalam sejerah sebagai Sang Nila Utama atau Sri Tri Buana dan menjadi asal mula raja-raja Melayu di kawasan Selat Melaka. Wan Empuk dan Wan Malini ikut serta pula dalam penghijrahan dari Palembang itu.

Kisah founding myth dalam Sejarah Melayu ini juga hidup sebagai cerita pusaka, tradisi tutur, dalam masyarakat Bintan. Bahkan  kedua perempuan di Bukit Siguntang diyakini berpusara di situs makam keramat Bukit Batu, Kabupaten Bintan. Sedangkan Sang Nila yang kemudian hijrah ke Singapura berpusara disana.

Namun yang menarik, lebih sekedar cerita pusaka tutur, kait-kelindan hubungan antara Bukit Siguntang di Pelembang dan Bintan ini juga ditantandai dengan bukti artefaktual. Terlepas dari benar tidaknya ‘mitologi’ padi Wan Empuk dan Wan Malini  yang berubah menjadi padi emas seperti disebutkan dalam Sejarah Melayu, dalam kenyataannya wujud fisik [sebatang] padi itu ada di Bintan, dan mejadi pusaka Orang Bintan.

 

Pusaka Orang Bintan

Secara antropologis, menurut Vivienne Wee, emas kawin seberat 1 paha yang dikhususkan bagi orang keturunan Bintan adalah representasi padi di huma Wan Empok dan Wan Malini di Bukit Siguntang Pelembang yang pada suatu malam berubah menjadi emas seperti dituturkan dalam sejarah Melayu.

Eratnya kaitan kisah padi emas di Bukit Siguntang ini dengan masyarakat Bintan juga terlihat pada nasi adab-adab dalam upacara penikahan seorang keturunan Bintan. Dalam tradisinya, puncak “nasi kebesaran adat” tersebut dihiasi pula dengan setangkai padi emas, sebagai simbolisasi padi emas Wan Empuk dan Wan Malini di Bukit Siguntang.

Menurut Wee, emas kawin @ mahar dan padi buah emas tersebut juga berfungsi untuk megingatkan mereka tentang “sejarah” Wan Empuk dan Wan Malini di Bukit Siguntang (Viviene Wee: ibid,. hal: 293). Lebih jauh ia memperkirakan bahwa  keturunan Bintan adalah keturunan dari Wan Empuk dan Wan Malini dari Palembang yang hijrah bersama Sang Nila Utama atau Sri Tri Buana.

Cerita pusaka yang diwarisi di Bukit Batu, Bintan Bekapur, dan kawasan sekitarnya, menyebutkan bahwa kisah padi buah emas dari huma Wan Empok dan Wan Malini di Bukit Siguntang itu sebagai sebuah “peristiwa” yang diyakini benar-benar terjadi.

Keyakinan ini ditandai pula dengan adanya wujud fisik sebatang padi emas dengan ciri-ciri seperti dikisahkan dalam kitab Sejarah Melayu, dan kini menjadi salah satu benda pusaka penting bagi Orang Bintan.

Menurut sebuah cerita pusaka, sebelumnya terdapat 7 batang padi emas pusaka Orang Bintan. Enam batang diantaranya pada suatu ketika dahulu berada dalam simpanan Orang Penaung. Sedangkan sebatang lagi menjadi pusaka Orang Bintan. Diyakini pula bahwa padi buah emas ini telah ada di Bintan sejak kedatangan Sang Nila Utama beserta pengiringnya dari Palembang ke Bintan sebagaimana dikisahkan dalam  Sejarah Melayu.

Gambaran bagian-bagian fisik  tujuh batang padi buah emas tersebut serupa dengan gambaran yang dinukilkan dalam Sejarah Melayu: Buahnya dari emas; Daun dari suasa; Batangnya dari perak; dan Akar atau Jangka-nya dari bahan tembaga atau kuningan.

Namun, kini yang tinggal hanya replikanya saja. Dari tetua kampung di Bintan Bekapur dan Bukit Batu diketahui bahwa 7 batang padi buah emas asal yang dibawa dari Palembang tersebut telah dilebur dan dibagi-bagikan diantara keluarga pewarisnya.

Setelah dilebur, enam batang padi buah emas yang turun-temurun menjadi pusaka Orang Penaung dibuat menjadi enam bentuk cicin berbilai delapan yang disebut cicin bilai delapan sebagai ganti pusaka enam puak kerabat mereka. Hingga kini  pusaka cicin berbilai delapan ini masih dipakai saat upacara cukur rambut bayi kerabat Orang Penaung secara turun temurun.

Setiap bagian dari sebatang padi buah emas yang menjadi pusaka Orang Bintan telah dibagi-bagikan pula. Orang Bintan, Bukit Batu dan sekitarnya mendapat buahnya yang terbuat dari emas; Orang Busung mewarisi daunnya yang terbuat dari perak; Orang Kete memperoleh batangnya yang terbuat dari suasa; dan orang Mande atau Mandah mendapatkan akarnya yang terbuat dari tembaga atau kuningan. Adapun buahnya yang terbuat dari emas, pada suatu ketika telah dilebur pula, karena diperlukan untuk memenuhi syarat adat pernikahan seorang anggota keluarga yang membutuhkan emas “setinggi orang berdiri.”

Dari tujuh batang padi buah emas yang asli, hanya padi emas pusaka Orang Bintan yang dibuatkan replika atau gantinya. Menurut dua orang tetua di Bintan Bekapur dan Bukit Batu, pembuatan replika ini diprakarsai oleh penghulu Bintan yang bernama Halimun. Untuk pembuatannya dipercayakan kepada Toko Emas Hong Seng di Jalan Teuku Umar, Tanjungpinang.

Kapan replika padi buah emas ini dibuat? Terdapat dua pendapat yang berbeda tentang hal ini. Pendapat pertama yang dikemukakan oleh Abdul Zaman @ Pak Atan, yang menyebutkan replika ini dibuat sekitar tahun 1950-an. Sebaliknya, Awang Muhammad sebagai pewaris, dan orang yang menyimpannya replika padi emas ini di Bintan Bekapur,  replika tersebut telah dibuat sebelum tahun 1950-an. Pusaka itu telah ada sebelum ia lahir pada tahun 1938.

Namun demikian, bagian-bagian replika padi buah emas yang kini diwarisi oleh keluarga Awang Muhammad, salah seorang anak penghulu Halimun, tidak lagi sperti “aslinya”. Hanya buah padinya yang masih terbuat emas [emas 22 atau emas keras yang dibentuk sedemikian rupa menjadi untaian bulir-bulir buah padi]. Sedangkan seluruh bagian daun dan batangnya terbuat dari bahan perak, Sebagai ganti akarnya, dibuatkan kedudukannya menyerupai kelopak bunga dengan alas datar dari bahan perak bertuliskan HF SILVER 90.

Pembuatan replika ini dilakukan bersempena mengambil berkat dan tuah padi emas yang asli. Agar kisah padi buah emas yang asli dan fungsinya sebagai simbol sejarah dan kebesaran orang Bintan berkekalan. Pada setiap awal Muharam bulan Asyura pangkal tahun hijriah,  replika padi emas ini dipergunakan dalam upacara tolak-bala bersih kampung.*** (jm)

 

Artikel SebelumTengku Muhammad Saleh (1909-1966)
Artikel BerikutSelamat Datang Paduka
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan