Al-Fatihah
Tengku Muhammad Saleh adalah salah satu ulama asli Daik Lingga yang masih terus dikenang sebagian orang. Walaupun masa telah lama berlalu namun warisan karya tulisnya di bidang agama masih terus menjadi sumber ilmu bagi sebagian orang Lingga.
Tengku Muhammad Saleh ialah keturunan Sultan Lingga-Riau dari Dinasti Bendahara. Lahir di kampung Damnah Daik tanggal 25 Januari 1909 pada subuh Jumat pukul 03.15 WIB. Ibundanya bernama Tengku Aluwiah binti Tengku Umar. Garis keturunannya dari Sultan Muhammad Syah marhum Kedaton.
Ayahnya ialah Tengku Abu Bakar bin Tengku Husin bin Tengku Ustman (Tengku Embong) bin Sultan Muhammad Syah marhum Kedaton. Silsilah Tengku Muhammad Saleh berpunca dari Sultan Muhammad Syah Sultan Lingga-Riau ke – II.
Sultan Muhammad Syah mempunyai beberapa orang isteri. Perkawinan Baginda dengan Encik Maimunah Sembawa, melahirkan Tengku Ustman atau Tengku Embong. Tengku Embong ini adik Sultan Mahmud Muzzafar Syah namun lain ibu. Sedangkan ibu Sultan Mahmud Muzzafar Syah ialah Tengku Lebar atau Tengku Teh binti Sultan Ahmad Sultan Terengganu.
Peran Tengku Ustman bukan saja sebagai adik Sultan, namun menjadi salah satu orang yang sangat berpengaruh, orang kepercayaan dan punya kekuasaan disamping Sultan. Hubungan dekat Tengku Embung dengan Kakandanya Sultan Mahmud IV dapat diketahui dari Syair Sultan Mahmud. (baca syair Sultan Mahmud Arsip Nasional)
Tengku Ustman memiliki tiga orang isteri. Yakni Encik Nurijah dan anaknya bernama Tengku Husin dan isterinya Encik Azizah melahirkan Tengku Ampuan Jahara yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (sultan terakhir Lingga-Riau).
Pada Tahun 1857, Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Muzzafar Syah atau Mahmud IV di pecat oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, Balanda tidak menunjuk Tengku Ustman sebagai calon Sultan yang baru kala itu. Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah malah memilih Tengku Sulaiman saudara laki-laki Sultan Muhammad sekaligus bapak saudara Tengku Ustman sebagai Sultan yang baru.
Sedangkan yang menjabat Putera Mahkota atau Tengku Besar kala itu ialah Tengku Daud saudara seibu Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Untuk diketahui, Sultan Sulaiman dan Sultan Muhammad berbeda ibu. Ibu Sultan Muhammad seorang bangsawan yakni Raja Fatimah sedangkan ibu Sultan Sulaiman ialah Encik Buruk.
Sekitar 11 Tahun setelah itu, tepatnya Tahun 1869, Tengku Ustman meninggal di Daik. Ia dimakamkan di bukit Cengkih. Malangnya selepas itu Tengku Besar Daud meninggal tahun 1882 dan dimakamkan dibukit Cengkih. Jabatan Tengku Besar kosong. Tidak seorangpun menjadi putera Mahkota. Walaupun waris-waris kuat masih ada, namun nampaknya orang-orang berkuasa dan Belanda waktu itu memang tidak ada niat untuk menunjuk salah satu pun keturunan orang Melayu dari Dinasti Bendahara sebagai Tengku Besar.
Sementara keturunannya, Tengku Husin bin Tengku Utsman menduduki jabatan diluar Lingga. Ia didaulat Amir Retih. Pada 18 September 1922, Tengku Husin meninggal di Daik dan dimakamkan di belakang masjid dekat makam Sultan Mahmud Syah III.
Tengku Husin beristerikan Encik Maimunah. Keturunannya, Tengku Abu Bakar. Beberapa jabatan dipegang oleh Tengku Abu Bakar di Kerajaan. Semasa Kerajaan dihapus Belanda Tengku Abu Bakar menjabat sebagai Amir Lingga. Tengku Abu Bakar meninggal di Daik pada 2 Oktober 1929 dimakamkan didekat Masjid Sultan berdekatan dengan makam ayahandanya. Tengku Abu Bakar ini menikah dengan Tengku Aluwiah melahirkan Tengku Kalsum, Tengku Hapsah, Tengku Puteri, Tengku Ainun, Tengku Ahmad ( Tengku Bun ) dan Tengku Muhammad Saleh .
Silsilah sebelah ibunda Tengku Muhammad Saleh ialah Tengku Auwiyah binti Tengku Umar bin Tengku Mahmud bin Tengku Muhitam bin Sultan Husin Syah Singapura.
Semasa hidupnya, pewaris sebenar kesultanan Lingga ini Tengku Muhammad Saleh dikenal sebagai seorang ulama, penyair dan seorang yang faham sejarah Lingga-Riau. Ia mengajar pelajaran agama Islam dan juga menulis sejumlah kitab agama Islam. Saat kependudukan Jepang, Tengku Muhammad Saleh atau biasa dikenal dengan Tengku Saleh pernah menjadi hakim Mahkamah Syariat di Daik. Ia menjabat selama dua tahun.
Saat Belanda kembali lagi ke Lingga, Tengku Saleh pernah ditangkap oleh pihak Belanda dengan tuduhan keberpihakan terhadap kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat dibawa menggunakan kapal Nelanda, Tengku Saleh berhasil melepaskan diri dan bersembunyi di sebuah tempat di Lingga.
Dirumahnya, Tengku menghabiskan waktunya dengan mengajar pelajaran agama dan beliau pernah membuka kebun getah (karet red). Kini dirumahnya masih ada beberapa kitab dan manuskrip miliknya yang masih tersimpan rapi di dalam lemari kaca. Salah satunya adalah Kitab Nurrussalah yang membahas shalat dan Tajwid Al Fatihah. Karyanya ini juga telah diperbanyak dan dicetak melalui Percetakan Ahmadiah Press Singapura.

Pada Hari Senin siang, Tanggal 10 Oktober 1966, sekitar Pukul 14.50 WIB Tengku Muhammad Saleh wafat karena sakit. Ia meninggal dirumahnya jalan Masjid Sultan. Keturunan Bangsawan dari Dinasti Bendahara dan zuriat Sultan Muhammad Syah marhum Kedarton dan juga salah satu pewaris dari Sultan Abdurrahman Syah Marhum bukit Cengkih itu pergi buat selama-lamanya dengan meninggalkan nama baik dan karya yang berguna pada generasi hari ini.
Hingga kini, Kitab Nurrussalah masih di ajarkan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten Lingga, Badiul Hasani. Kegiatan belajar agama di Masjid Jamik Sultan Lingga diikuti anak-anak di Daik. Al Fatihah buat Tengku Muhammad Saleh. (Idalf)

# Hamka Temui Tengku Muhammad Saleh di Daik Lingga
“Sekalipun hanya sehari semalam, samalah dengan belajar setahun. Banjak ilmupengetahuan bertambah,” tulis Hamka.
Semasa hidupnya, Tengku Muhammad Saleh tidak hanya dikenal oleh orang-orang Daik dan Lingga. perjalanan ilmu agamanya yang cukup luas juga membuat tokoh besar dan ulama sekaliber Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Hamka datang ke Lingga.
Sejarawan Kepri, Aswandi Syahri juga sempat mengulas pertemuan dua tokoh ini dalam dalam sebuah catatan yang diberi judul ‘Ziarah Buya HAMKA ke Penyengat dan Daik (1954 dan 1957).
Meski hanya sehari semalam di Lingga, Hamka dalam sepucuk kartu pos yang ditulis dengan mesin tik yang salinan alih medianya dalam bentuk microfilm koleksi Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia yang dibuat oleh Virginia Matheson dan Vivian Wee pada tahun 1984 itu, Buya Hamka menuliskan…
“Assalamu ‘alaikum w.w. Sjukur Alhamdulillah, hari Sabtu 20 Juli saya selamat sampai di Djakarta, Maka kedatangan saja ke Daik ini, sekalipun hanya sehari semalam, samalah dengan belajar setahun. Banjak ilmupengetahuan bertambah.
Terutama karena tjinta-mahabbah yang tertumpah daripada Tengku dan Al-Ichwan semua, jang telah bersusah pajah, bermandi keringat menemani saja berjalan sampai 10 Km, masuk hutan belukar, mentjari hikmat sedjarah. Kepada bapa2 dan saudara2 saja semua sampaikanlah salam dan terimakasih saja. Kepada E.(Encik) Muhammad, E,(Encik) Muhammad Saleh, S, Mahmud, S. Ralib dan lain-lain. – Darihal kitab “Silalamul Ushul” pena pusaka Al-Jauhar Guru dan Ayah Sjech (Dr.) H. A. Karim Amrullah akan segara disalin kehuruf latin dan didalam beberapa bulan ini akan ditjetak. Selesai tjetakan Insya Allah saja kirim kepada Tengku”. (hasbi/pulaulingga.com utk jantungmelayu.com)