Salam adalah cara bagi seseorang (juga binatang) untuk secara sengaja mengkomunikasikan kesadaran akan kehadiran orang lain, untuk menunjukkan perhatian, dan/atau untuk menegaskan atau menyarankan jenis hubungan atau status sosial antar individu atau kelompok orang yang berhubungan satu sama lain. Seperti juga cara komunikasi lain, salam juga sangat dipengaruhi budaya dan situasi dan dapat berubah akibat status dan hubungan sosial. Salam dapat diekspresikan melalui ucapan dan gerakan, atau gabungan dari keduanya. Salam sering, tetapi tidak selalu, diikuti oleh percakapan (Wikipedia)

Membaca pengertian “salam” dari sumber jejaring internet di atas, muncul pertanyaan; bagaimana Salam Melayu?

Melayu sebagai suatu bangsa tentulah memiliki peradaban dengan sistem kebudayaan yang khas, dan pasti, memiliki ciri tersendiri untuk salam. Adakah perubahan? (Terutama pada nilai dan rasa)

Dalam kehidupan Bangsa Melayu, salam, lazimnya memandang tiga hal, yaitu umur, status sosial, dan tempat.

Berkenaan dengan umur, secara jelas norma kesopanan bermain di dalamnya. Terdapat pantangan yang luar biasa dahsyat, ketika yang muda tak hormat ke yang tua, yang sebaya tak sopan ke yang se-umur, dan yang tua pula tak santun ke yang muda. Begitu juga rakyat biasa ke bangsawan dan juga sebaliknya. Namun, tak jarang Melayu mendudukan strata kebangsawanan di bawah umur. Makanya, tak heran, pernah saya lihat, Sultan yang berumur muda, mencium tangan orang biasa yang umurnya lebih Tua. Walau mungkin orang yang saya anggap biasa itu mungkin bukan orang biasa. Ini pula dapat terjadi jika bangsawannya tergolong bangsawan “spesial”.

Jika dipandang, tatacara salam, dari aspek umur dan strata sosial memiliki kesamaan. Semisal, yang muda mencium tangan yang tua, begitu juga orang biasa mencium tangan bangsawan. Dan cara mencium tangan sewaktu bersalam-an, dalam Melayu, mengandung makna dan filosofi tersendiri. Setidaknya ada tiga tempat meletakkan tangan orang yang disalam, yaitu kening, hidung, dan mulut. Setelah itu, akhir dari bersalam-an, tangan si penyalam dan yang si salam, diletakkan ke dada. Dan ternyata, itu semua ada arti dan maknanya.

Jika si penyalam meletakkan tangan yang disalam ke kening, maka itu berarti, nama yang di salam selalu ada di dalam fikiran penyalam. Jika diletakkan di hidung, itu artinya nama yang disalam selalu ada di setiap hirupan nafas. Dan jika tangan yang disalam diletakkan di mulut, itu artinya nama yang disalam selalu ada dalam sebutan penyalam. Tentu ingatan tentang diri orang yang disalam adalah hal yang baik-baik,  bukan hal-hal yang tak senonoh. Selesai ber-salam, lazimnya orang yang disalam mahupun penyalam, meletakkan tangan ke dada. Itu artinya, nama atau diri (penyalam dan yang disalam) selalu ada di hati. Sebahagian orang, setelah ber-salam, ada juga yang meletakkan tangan ke kening dan atau ke mulut, yang makna artinya sama seperti sebelumnya. Ketika ber-salam, orang Melayu biasanya juga menyertakan kalimat salawat nabi (Allahuma salli ala Muhammad), sebagai tanda Se-Umat.

Salam dalam bentuk lisan atau ucapan, dalam kemelayuan, secara umum, dilakukan dengan mengucap salam keagamaan. Kalimat “Assalamualaikum warahmatullahi wabakatuh” (terkadang lebih pendek “Assalamu alaikum”) menjadi kalimat salam yang sakral digunakan semua umur dan dalam keadaan apapun. Salam yang disesuaikan dengan waktu juga sering dipakai, semisal selamat pagi, siang, petang, dan atau malam. Namun memang, taklah dipungkiri, orang Melayu, yang terkenal celupas, juga sering menggunakan kata “woi” dan atau langsung memanggil nama orang yang dituju.

Bagaimana dengan salam Melayu sekarang?

Tak dinafikan, salam Melayu, berubah mengikut zaman. Ada yang berubah positif ada pula yang negatif. Perubahan positif terjadi ketika Orang Melayu sekarang ber-salam (gerak) tak lagi mencium tangan, tapi berpelukan (dengan tangan tetap berjabat), dan di saat yang bersamaan menempelkan pipi kiri dan pipi kanan bergantian. Cara ber-salam ini menurut ceritanya mengikut sunnah nabi ber-salam-an (atau mungkin cara orang Arab ber-salam). Ber-salam ini mengandung makna pelepasan jarak atau penyatuan yang ikhlas.

Perubahan negatif banyak terjadi di kalangan anak muda atau lebih tepat remaja dan anak-anak. Entah siapa yang memulai, dan entah siapa pula yang mengajarkan. Anak remaja, ketika ber-salam dengan orang yg lebih tua dan atau orang yg dihormati dan diseganinya, menempelkan tangan yang disalam ke pipi. Dalam situasi ini, jelas kita kehilangan makna dari tempelan ke pipi itu. Jika bersalam dengan yg seumur, mereka, tak lagi menjabat tangan, tapi dengan menepuk tapak tangan orang yg disalam (ocah), atau beradu tumbukan (tos), atau beradu ujung jari (cus), dan atau variasi ketiganya dengan menambah aduan kepala sampai ke kaki. Jika, yang lebih tua, ketika ber-salam mulut mengucap salawat, sedang anak-anak mengucap “yoi bro”.

Perubaban terjadi tentulah banyak penyebabnya. Jika Melayu ingin mempertahankan identitas salam khas kemelayuannya, maka menjadi tugas kita semua untuk mengingatkan, menegur, dan bahkan mengajarkan generasi muda kita untuk ber-salam dengan cara yang patut tanpa perlu mencontoh budak-budak barat. Namun jika menurut kita semua, “cara” ber-salam itu taklah menjadi masalah yang berarti, kerana mengikut pada zamannya, maka ya sudah, biarkanlah.

Inti dari ber-salam, secara spiritual, sebenarnya adalah pelunturan salah dan silap. Kesalahan dan kesilapan yang pernah terjadi sebelumnya, luntur dan luruh secara otomatis ketika tangan berjabat. Maka itu, setelah bersalam, ikatan silaturahmi, akan lebih kuat. Dan kemudian, setelah ber-salam, komunikasi yg terjalin di antara keduanya, akan lebih hangat dan mesra. (jm)

Artikel SebelumTeknik Dasar Bermain Biola Melayu
Artikel BerikutPembacaan Gurindam XII oleh Irma Sari

Tinggalkan Balasan