Potret Hasan Junus. F/Aswandi Syahri

Oleh: Abdul Malik, PhD.*

TAK kurang dari 40 tahun sejak Hikayat Syarif al-Akhtar karya Aisyah Sulaiman diterbitkan pada 1929, tak ada lagi karya sastra ditulis dan diterbitkan di  Kepulauan Riau yang, ironisnya, sastra sebelumnya menjadi roh kehidupan masyarakatnya berbilang abad. Aisyah Sulaiman  telah berpulang ke rahmatullah pada 1924/5 dan karyanya itu diterbitkan setelah beliau wafat. Bukan kebetulan pula istri Khalid Hitam itu disebut dalam kaitannya dengan tokoh yang akan datang ini diperikan ihwal dedikasinya yang luar biasa.

Kebekuan kreativitas itu mencair juga pada 1969 dengan terbitnya antologi Jelaga karya bersama tiga penulis Hasan Junus, Iskandar Leo (Rida K. Liamsi), dan Eddy Mawuntu. Setelah mengalami masa jeda yang cukup panjang, karya itu tak berlebihan jika disebut sebagai penyelamat tradisi kepengarangan di  Negeri Bunda Tanah Melayu ini, yang suatu masa dahulu pernah menjadi pusat Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan Kerajaan Riau-Lingga, sebuah negara yang sangat berjaya membina dan mengekalkan tradisi literasi Dunia Melayu. Apatah lagi,  setelah masa beku itu mencair, teruslah mengalir karya pelbagai genre meliputi puisi, cerpen, naskah sandiwara, novelet, esai, kritik, dan karya ilmiah terutama yang lahir dari kecendekiaan, kecerdasan, kepedulian, dan lebih-lebih kesetiaan seorang Hasan Junus. Walaupun, dalam perjuangan itu beliau tak seorang diri.

Hasan Junus, itulah nama yang banyak dikenal orang. Bahkan, di kalangan para penulis beliau sering disapa HJ sahaja. Akan tetapi, di tanah kelahirannya dan di dalam masyarakatnya beliau sangat diketahui bernama sebenar Raja Haji Hasan ibni Raja Haji Muhammad Junus ibni Raja Haji Ahmad ibni Raja Haji Umar alias Raja Endut ibni Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua ibni Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Jelaslah bahwa Hasan Junus adalah keturunan Diraja Melayu Riau-Lingga-Johor-Pahang dan keturunan langsung Raja Haji Fisabilillah yang pahlawan nasional itu. Di dalam diri Hasan Junus juga mengalir darah kepengarangan Raja Ali Haji, pujangga terkenal Melayu, pahlawan nasional, dan Bapak Bahasa Indonesia. Kakek ayahanda beliau Raja Haji Muhammad Junus adalah Raja Haji Umar tak lain tak bukan adalah saudara kandung Raja Ali Haji karena kedua orang itu adalah putra Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua. Bukankah Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua adalah pengarang pelopor di Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang? Dan, Aisyah Sulaiman yang pengarang pejuang marwah perempuan dan disebut di awal tulisan ini adalah ibu saudara dua pupu (bibi) Hasan Junus. Begitu jugalah pengarang-pengarang dan intelektual Melayu keturunan Diraja Kesultanan Riau-Lingga kesemuanya  berhubungan darah dengan Hasan Junus.

Mengarang nampaknya bagai seligi tajam bertimbal dalam diri Hasan Junus. Di satu ujungnya ia menjadi warisan intelektual Melayu yang memang wajib dipertahankan dan diteruskan oleh generasi Melayu sampai bila masa pun. Di ujung yang lain ia menjadi pusaka keturunan yang memang mesti ada penjaga dan penerusnya sehingga tugas mulia itu tak terputus di tengah jalan. Dan, untuk kedua tugas itu, Hasan Junus telah mengabdikan diri dengan sangat baik, bahkan luar biasa, jika dilihat dari mutu kerja dan kualitas karya yang telah dihasilkannya.

Hasan Junus memang pernah menjadi guru sekolah menengah swasta di Tanjungbatu Kundur, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Beliau pun pernah menjadi dosen luar biasa di Universitas Islam Riau, Pekanbaru dan Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru. Walaupun begitu, guru dan dosen bukanlah profesi utamanya. Profesi itu hanyalah sampingan bagi beliau dan dijalankannya tak terlalu lama. Menulislah yang menjadi profesi utamanya.

Ketika banyak orang menjadikan menulis sebagai kerja sampingan, Hasan Junus justeru bercekal hati memilih menulis, terutama penulisan sastra dan budaya, untuk menjadi sandaran utama hidupnya. Pada zaman ini pemilihan profesi itu memerlukan keberanian yang luar biasa. Bukan karena pekerjaan itu tak mulia, malah sangat bergengsi, melainkan imbalan yang diperoleh sangat tak sebanding dengan tenaga, pikiran, dan perasaan yang dikorbankan. Itulah mungkin resiko profesi yang menjadi pilihan hidupnya dan beliau memang tak pernah memedulikannya. Semangatnya untuk membina dan mengembangkan kesusastraan dan kebudayaan membuatnya sangat tegar tanpa terlalu memikirkan hal-hal yang bertetek-bengek. Semangat seperti itulah pada zaman sekarang sangat langka. Untuk hal ini, sekali lagi Hasan Junus telah menunjukkan ketauladanan yang sukar dicari bandingannya.

Kesetiaannya menekuni profesinya menjadikan Hasan Junus bukan penulis sekadar. Namanya tak hanya dikenal di peringkat daerah Kepulauan Riau dan Riau, tetapi juga dikagumi di persada nusantara, bahkan sampai ke luar negara. Karya cerpennya Pengantin Boneka, misalnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jeanette Lingard dan diterbitkan dalam Diverse Lives-Contemporary Stories from Indonesia oleh Oxford University Press (1995), sebuah penerbit bergengsi di dunia. Bukunya Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau (Adicita, Yogyakarta, 2003) yang ditulis bersama Abdul Malik, Tenas Effendy, dan Auzar Thaher kini menjadi bacaan di Australia dan dikoleksi oleh National Library of Australia.

Karena ketunakannya menekuni bidang yang menjadi minat utamanya, oleh penulis buku Dermaga Sastra Indonesia (Jamal D. Rahman dkk., Jakarta, 2010), Hasan Junus disetarakan dengan H.B. Jassin. Disebutkan bahwa keduanya adalah pengamat yang setia dan penuh dedikasi atas pelbagai aspek sastra dan kesastrawanan yang menjadi pilihannya. Keduanya menulis kritik dan esai tentang karya-karya sastra dan fenomena kebudayaan serta kesastraan yang hidup di wilayahnya. Keduanya penerjemah yang piawai karya-karya sastra mancanegara. Dan, keduanya juga memiliki suara yang menentukan dan sangat didengar. Akan tetapi, kelebihan Hasan Junus adalah beliau menulis puisi, prosa, dan drama; sedangkan H.B. Jassin tidak.

Satu perkara yang juga tak boleh dilupakan tentang pengabdian Hasan Junus dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan adalah ini. Beliau selalu membuka diri untuk menjadi tempat bertanya dan belajar bagi sesiapa pun, terutama bagi penulis muda. Memang, di kalangan penulis Kepulauan Riau dan Riau beliau telah dianggap bagai ensiklopedia berjalan. Bacaannya yang luas tentang kesusastraan dunia, baik Timur maupun Barat, memungkinkan beliau memiliki khazanah pengetahuan dan pengalaman yang sangat banyak dan rencam, beraneka ragam.

Menariknya, beliau senantiasa tekun melayani setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya dan memberikan penjelasan dengan bersemangat. Dalam setiap diskusi atau seminar sastra dan budaya, beliau selalu tampil sebagai pembicara yang memang dinanti-nantikan hujahnya dan selalu menginspirasi, memukau, dan mencerahkan. Dalam percakapan lisan dan tulisannya selalu saja ada dorongan bagi penulis lain untuk menggali khazanah budaya sendiri dengan tetap mempelajari budaya asing agar dapat memanfaatkan yang sesuai dan berguna bagi perkembangan sastra dan budaya Melayu, khasnya, dan Indonesia, umumnya. Itu kelebihan lain seorang Hasan Junus yang tak semua orang memilikinya. Oleh sebab itu, tak berlebihanlah apabila para penulis buku Dermaga Sastra Indonesia menggelari (menjuluki) Hasan Junus sebagai Kiai Sastra atau Ulama Sastra.

Sebagai penulis yang tekun lagi tunak, telah banyak karya yang dihasilkan oleh Hasan Junus. Dan, hal itu telah banyak pula diulas dan ditulis orang sehingga tak perlulah diulang di sini. Yang pasti, kesemua karya beliau sangat penting bagi perkembangan kesusastraan modern Melayu dan Indonesia, bahkan dunia. Di antara karya beliau itu yang perlu disebutkan di sini ada dua. Pertama, beliau menulis sejarah perjuangan Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV Kesultanan  Riau-Lingga-Johor-Pahang. Kedua, bersama beberapa penulis lain, beliau juga menulis sejarah perjuangan Raja Ali Haji dalam bidang bahasa dan kebudayaan untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional.

Infografis Hasan Junus.

Alhasil, Raja Haji Fisabilillah telah dinobatkan menjadi pahlawan nasional. Raja Ali Haji pun telah diangkat sebagai pahlawan nasional dan Bapak Bahasa Indonesia. Rakyat Kepulauan Riau sangat bangga memiliki dua orang pahlawan itu sambil menanti pahlawan-pahlawan lain yang pasti akan diusulkan sesuai dengan jasa-jasa mereka terhadap bangsa dan negara ini. Bersamaan dengan itu, masyarakat Tanjungpinang, khasnya, Kepulauan Riau dan Riau, amnya, tentulah juga sangat bangga memiliki seorang Hasan Junus yang dengan tulisannya telah memungkinkan perjuangan dan jasa-jasa para pendahulu itu diketahui, diapresiasi, dan diakui sehingga keduanya diangkat menjadi pahlawan nasional.

Apakah yang menarik ketika kita membaca tulisan Hasan Junus? Ada banyak hal sebetulnya yang dapat dipetik dari karya-karya beliau. Gaya bertuturnya yang khas memang menjadi daya tarik pertama ketika kita membaca karya Hasan Junus. Tuturan yang lincah, indah, dan mengalir lancar membuat kita tak hendak berhenti membacanya dan sering secara tak sadar telah sampai ke batas akhir bacaan. Itulah sebabnya, tulisan beliau selalu dinanti-nantikan. Karena apa? Karena penulisnya memang mahir menggunakan kata-kata dan menjalin kalimat demi kalimat sehingga menghasilkan wacana yang memesona.

Isi tulisan yang bernas memberikan kenikmatan intelektual bagi sesiapa pun yang membaca karangan beliau. Keluasan ilmunya begitu ketara dalam setiap tulisannya. Dari bacaan yang dibaca, tahulah kita bahwa penulisnya memang seorang yang berdedikasi dalam bidangnya dan tak terbiasa menghasilkan karya yang asal jadi. Sumber dalam (daerah) dan luar (nasional dan mancanegara) selalu disepadukan sedemikian rupa sehingga tulisannya sangat informatif tentang apa pun pokok persoalan yang dibahasnya.

Bahkan, di dalam noveletnya Burung Tiung Seri Gading terdapat banyak sekali fakta sejarah. Kelebihannya, kekuatan imajinasi pengarangnya menjadikan cerita begitu hidup sehingga sebagai pembaca kita senantiasa larut dalam kisah yang diceritakan dan peristiwa yang dialami oleh para tokohnya. Ditambah dengan gaya bahasa yang kaya dan teknik bercerita yang memukau, karya itu menjadi sesuatu yang sulit dilupakan setelah dibaca. Gaya berceritanya yang khas berkultur Melayu membuatnya begitu memikat. Begitulah memang penulis yang berpengalaman dapat berbagi suka-duka kehidupan dengan pembacanya melalui cara-cara yang sering tak terduga. Hasan Junus sangat mahir dalam hal ini.

Beliau memiliki pengetahuan yang luas tentang kesusastraan nasional dan mancanegara. Beliau pun banyak menulis tentang apa pun yang diketahuinya tentang kesusastraan nasional dan mancanegara. Beliau juga banyak menerjemahkan dan menyadur karya-karya besar dari mancanegara. Bahkan, beliau juga banyak dibicarakan orang dalam kaitannya dengan kesusastraan nasional dan mancanegara. Walaupun begitu, Hasan Junus tak pernah kehilangan jati dirinya, identitasnya sebagai seorang Melayu. Diksi yang digunakannya, pola-pola kalimat yang dipakainya, teks atau wacana yang dihasilkannya tetap menyerlahkan beliau sebagai seorang Melayu sejati. Akan tetapi, bukan Melayu sebarang Melayu, melainkan Melayu berkelas dunia karena kemauan, ketekunan, kecendekiaan, kecerdasan, dan kerja keras yang tak mengenal kata lelah, apatah lagi berhenti.

Kehadiran seorang Hasan Junus dalam perjuangan dan perkembangan kesusastraan modern Melayu dan Indonesia sungguh telah memberikan warna yang khas dan terwaris sekaligus. Disebut khas karena kita tak dapat membandingkannya dengan sesiapa pun. Beliau memiliki kelebihan sendiri yang tak pernah sama dengan orang lain walaupun dengan penulis terdahulu dan terkemudian yang berhubungan darah dan kultur dengannya. Di samping itu, dengan segala perjuangannya, beliau telah membuktikan bahwa pada setiap generasi pasti ada pelanjut tradisi intelektual Melayu asal kita menyadari betapa mustahaknya jati diri bagi suatu bangsa. Mewujudkan itu dengan karya yang bermutu menjadi tanggung jawab terwaris  setiap generasi Melayu. Beliau telah menunaikan tugas itu dengan sangat baik.

Suatu hari beliau berkirim pesat pendek melalui telepon genggam (SMS) kepada saya. “Di masa tua ini saya sangat berharap dapat menghasilkan karya sastra.” Saya kira, yang dimaksudkan beliau dengan karya sastra yang akan dikerjakannya itu adalah novel. Pasalnya, saya pernah bertanya kepada beliau, genre sastra apa yang paling beliau sukai untuk ditulis. Jawab beliau, “Novel.” Saya tak tahu persis apakah beliau dapat mengerjakan karya sastra yang dimaksudkannya itu karena hari-hari selanjutnya  kesehatan HJ agak  sering terganggu.

Kesehatan beliau terus menurun. Pada 30 Maret 2012, malam, HJ ditakdirkan oleh Allah untuk menyelesaikan baktinya di dunia yang fana ini. Beliau telah dipanggil pulang oleh Tuhan Yang Maha Pengasih setelah sekian lama memberikan sumbangsih.

Hasan Junus tak akan pernah tergantikan. Seluruh hidupnya telah didedikasikannya untuk memajukan manusia dan tamadunnya melalui sastra dan budaya sebagai tanggung jawab kepada Allah.

Sebagai penulis  hebat yang menghasilkan karya-karya bermutu, HJ akan terus hidup melalui karya-karyanya yang senantiasa dirujuk dan dikaji orang sepanjang masa. Ketunakan, ketekunan, kerja keras, konsistensi, budi baik, dan dedikasinya patutlah menjadi tauladan bagi sesiapa pun yang hendak menjadi penulis profesional.***

*Budayawan Melayu dan Dekan FKIP UMRAH Tanjungpinang.

Artikel SebelumNau-Bat
Artikel BerikutSetelah 165 Tahun Istana Kota Batu

Tinggalkan Balasan