Nau-Bat

0
2.310 views
Gendang Nobat. sumber: smp2252marlin.blogspot.co.id

Oleh: Rendra Setyadiharja*

Di antara beberapa alat musik Melayu, terdapat seperangkat alat musik yang sangat agung dan sakral pada suatu masa dan juga masa kini, yaitu Alat Musik Nobat Diraja. Seperangkat alat musik Nobat tidak boleh dimainkan oleh sembarangan orang dan lalu-lagunya juga tidak boleh dimainkan disebarang tempat. Dipercayai Alat Musik Nobat sejak abad ke 13 sudah digunakan oleh Raja-Raja Pasai dan kemudian diikuti oleh Kerajaan Melayu lainnya, seperti Johor Riau, Siak, Pelalawan, Kerajaan Patani, Bilah, Asahan, Kualoh, dan Kota Pinang (Suseno, dkk, 2006).

Perkataan Nobat sendiri berasal dari bahasa Persia yaitu “Nau” dan “Bat”. “Nau” memiliki arti sembilan, sedangkan “Bat” memiliki arti alat musik atau instrumen. Sehingga alat musik Nobat adalah seperangkat alat musik yang berjumlah sembilan yang terdiri dari satu buah gendang besar yang disebut dengan “negara” atau “nekara, nahara, negara” yang berkulit di satu sisi sahaja. Dalam bahasa Arab disebut dengan “Naqarat”, dalam bahasa Turki disebut “Kudum” dan dalam bahasa India disebut dengan “Nakara”. Alat gendang ini dipukul dengan sebatang kayu. Alat musik lainnya yaitu satu buah alat tiup seperti terompet yang disebut dengan “Nafiri” yang panjangnya lebih kurang 33 inci, alat musik selanjutnya yait dua buah “Serunai” dengan panjang 17 inchi, dua buah gendang panjang yang disebut dengan “Gendang Nobat”, dua buah “Kopok-Kopok” atau semacam kesi, dan satu buah “Gong Maha Guru” yang digantungkan di sebatang buluh (Suseno, dkk, 2006, Raja Iskandar Bin Raja Khalid, 2015).

Nobat hanya diperbolehkan dibunyikan untuk Sultan sebanyak 32 kali, Yang Dipertuan Muda sebanyak 11 kali, Bendahara sebanyak 9 kali, dan Temenggung, sebanyak 7 kali, dan tiap-tiap banyak kali itu adalah berdasarkan tiupan Nafiri. Musik Nobat juga memiliki lagu yang sangat sakral dan hanya dimainkan dalam kondisi dan upacara tertentu. Lagu-lagu tersebut yaitu lagu “Iskandar Syah Zulkarnain”, sejenis lagu ria yang diiringi dengan lagu perang, dimainkan ketika Raja berarak ke Balairongseri untuk ditabalkan, kemudian lagu “Ibrahim Khalilullah”, lagu yang dimainkan ketika Raja ditabalkan dan istiadat Menjunjung Duli, kemudian lagu “Palu-Palu” ketika Raja bersiram tabal sesudah dipalu lagu “perang”, kemudian lagu “Sri Istana”, ketika Raja memakai pakaian kebesaran kerajaan (Suseno, dkk, 2006).

Salah satu Nobat yang masih memiliki legitimasi dalam praktik pemerintahan Melayu adalah pada Kesultanan Perak Darul Ridzuan. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harun (2011) dalam sebuah jurnal yang berjudul Asal-usul raja, negeri dan adat istiadat Kesultanan Perak: beberapa variasi dalam pengekalan dan penyimpangan sumber tradisi, dalam Jurnal Alam dan Tamadun Melayu menuliskan bahwa salah satu alat kebesaran kesultanan Perak yang sangat utama dalam upacara pertabalan ialah Nobat. Pertabalan seorang Sultan tidak akan sempurna sekiranya tanpa disertai dengan Nobat. Selain alatan royal regalia berupa mahkota, pedang, payung, tombak, keris, pending, emas permata dan lain-lainnya, seorang Sultan yang ingin menaiki takhta Perak harus mewarisi Nobat daripada waris yang terdahulunya. Balai Nobat bagi kesultanan Perak kini terletak di Istana Iskandariah, Kuala Kangsar. “Mengikut Adat Istiadat Negeri Perak tiada Sultan yang boleh dianggap berdaulat sehingga ianya ditabal dengan bunyian Nobat”. Selanjutnya Harun (2011) menuliskan bahwa Pemain Nobat dikenali sebagai “Orang Kalur” atau “Orang Kalau” yang diketuai oleh seorang yang bergelar Toh Setia Guna yang mahir dalam permainan semua alatan Nobat. Kebanyakan Orang Kalur bagi Negeri Perak tinggal di sekitar Bota dan Kampung Gajah. Walau bagaimanapun, hanya sebahagian daripada keturunan Orang Kalur yang dipilih untuk berkhidmat selaku pemain Nobat kesultanan Perak. Mereka terdiri daripada sekumpulan orang yang telah terlatih dalam mengendalikan alatan muzik masing-masing dan tahu adat-istiadatnya. Semua peralatan ini perlu dipelihara dengan rapi dan mempunyai pantang larang serta upacara penjagaannya yang tersendiri.  Selain upacara pertabalan raja, Nobat akan turut dimainkan ketika mengiringi Sultan berangkat dan sewaktu kemangkatan. Mengikut tradisi istana Perak, Nobat juga akan mengiringi Sultan sewaktu melakukan upacara meletak kerja, sambutan hari keputeraan, menyambut puasa bulan Ramadhan, menyambut Hari Raya dan beberapa acara resmi istana yang lain. Bunyi Nobat agak luar biasa dan berlainan daripada muzik yang lazim, penuh misteri dan mengandungi pelbagai rahsia yang tiada terungkapkan.

Adat Peraturan Nobat lainnya adalah sebagaimana dijelaskan oleh Suseno, dkk (2006) yaitu pertama, barang siapa yang mendengarkan tiupan nafiri, meski berada jauh sekalipun maka wajiblah dia duduk dengan tertib adab seperti dan selayaknya berada dihadapan rajanya. Sehingga habis bunyi tiupan nafiri tersebut barulah ianya meneruskan perjalanannya. Jika terdapat seseorang yang membantahnya maka ia melanggar adat istidat kebesaran dan keagungan Sultan atau Raja. Namun jika ia berdepan secara langsung dengan peniup nafiri dan arakan Raja dan Sultan dan tanpa melakukan hal yang diadatkan maka ianya bersalah dan diperbolehkan dihukum. Kedua, jika seseorang itu sedang berjalan di pedalaman, tiba-tiba ianya mendengar tiupan nafiri maka hendaklah dengan serta merta itu dia duduk dan tunduk, selayaknya ia berada di depan Raja atau Sultannya. Apabila telah berbunyi tiga kali tiupan nafiri itu atau telah habis bunyinya maka barulah ianya dapat menegakkan kepala sahaja terlebih dahulu sampai berbunyi dan terdengar tiupan selanjutnya setelah tiga kali bunyi tadi.

Ketiga, waktu dalam membunyikan nobat adalah sebagai berikut, pertama, tiap-tiap petang nobat itu dipalu sehingga waktu magrib. Adapun aturannya ialah pada waktu hendak memalu nobat itu kepada lagu “Arak-Arak” karena mengiringkan Baginda berangkat ke istana dan apabila sampai baginda ke istana barulah nobat itu berhenti dari pada berbunyi, kedua, adapun peraturan memalu nobat masa raja hendak bersiram tabal atau pada pagi Raya Haji maka hendaklah dipalu lagu “Perang” dari waktu sebelum raja itu bersiram, yaitu daripada waktu mula dibawa naik segala alat jawatan persiraman itu pancapersada atau tempat bersiram dan nobat itu dibunyikan sehingga alat-alat itu habis kesemuanya diangkat dan diatur dengan sempurna maka barulah nobat itu berhenti dibunyikan, ketiga, manakala berangkat raja ke tempat persiraman atau pancapersada maka dibunyikanlah nobat itu denga lagu “Arak-Arak”. Setelah sampai raja itu ke atas persiramannya maka berhentilah paluan nobat itu seketika kemudian berbunyi pula nafiri tiga kali maka setelah itu nobat pun di palu dengan lagu “palu-palu” sahaja. Setelah raja selesai dari persiraman maka nobat dipalu kembali dengan lagu “arak-arakan” sampai raja sampai ke istana, setelah sampai ke istana maka nobat dipalu dengan lagu “Seri Istana” karena menghormati raja berpakaian.

Keempat, apabila raja selesai maka dan berangkat turun ke balairong karena adat menjunjung duli, maka pada masa itu nobat dipalukan pula dengan lagu “arak-arak” karena mengiringi raja menuju Balairong Seri dan bersemayam di singgasana kerajaan. Ketika adat menjunjung duli dimulai maka ketika itu barulah kerajaan dan tiada boleh dimainkan selain perintah raja. Setelah raja akan kembali usai adat menjunjung duli maka, maka ketika raja kembali ke istana, dipalu nobat dengan lagu “arak-arak” untuk mengiring kembali raja ke istana. Kelima, adapun adab memalu nobat secara sempurna, yaitu bila ahli-ahli nobat itu dikehendaki memalukannya sambil berdiri bershaf-shaf seperti yang terdahulu, adalah dikehendaki dijalankan dengan tertib aturannya hanya apakala dua lagu “Ibrahim Khalil”, dan “Iskandar Syah” itu saja yang dimainkan, keenam, tatkala memalukan lagu “Seri Istana” atau waktu memalukan lagu pada saat raja bersiram tabal adalah keadaan memukulnya sambil duduk tetapi dikehendaki dengan tertib aturan duduk bershaf-shaf seperti yang tersebut di atas juga, manakala pada lagu-lagu yang lain adalah terpulang adab aturan tertibnya kepada kesukaan Leila Perkasa, Penghulu Nobat dan Leila Sengguna, Penghulu Gendang dan orang-orang mereka sama ada hendak memalu sambil duduk atau berdiri.

Demikianlah adat dan sekilas khabar tentang kemuliaan dan kedaulatan Alat Musik Nobat. Dimana alat musik ini merupakan bagian dari legitimasi Kesultanan Melayu yang sampai saat ini disebagian daerah Melayu masih disimpan dan sebagian daerah Kerajaan Melayu masih menggunakannya dan menjadi bagian dari kedaulatan Sultan.***

*Sastrawan dan Dosen STISIPOL Raja Haji 

Artikel SebelumPantun Kupu-Kupu Terbang Melintang; Sumbangan Sastra Melayu kepada Sastra Perancis
Artikel BerikutHasan Junus; Kiai Sastra Indonesia

Tinggalkan Balasan