salah satu adegan dalam opera fun town-dok-ditjen kebudayaan

Masih ingat dibenak kita tentang perhelatan sebuah opera yang diberi judul Opera Fun Town yang disajikan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau pada tanggal 8 April 2017 yang menampilkan aksi teaterikal para aktor dan aktris muda berbakat di Kota Tanjungpinang dan sekitarnya, perhelatan opera ini juga kembali membuka ingatan kita terkait dengan perhelatan Opera Pantun yang disajikan oleh Yayasan Panggung Melayu pada tanggal 29 April 2008 di Taman Ismail Marzuki Jakarta sempena Festival Pantun Nusantara dimana penulis juga bermain dalam Opera Pantun tersebut.

Opera Pantun dan Opera Fun Town, memang sekilas tampak berbeda dari sisi judulnya dan konten tema opera yang dimainkan. Opera Pantun yang disutradarai oleh Asrizal Nur yang dipentaskan lebih kurang 9 tahun yang lalu, lebih mengangkat unsur kearifan lokal atau banyak yang bersifat tradisionalistik. Sementara Opera Fun Town-memang sekilas jika diterjemahkan menjadi Opera Kota Lucu-namun konsep opera dengan pantun sebagai salah satu bahan baku dialog dalam opera ini terkesan lebih pop dan lebih kontekstual dengan kondisi hari ini.

Hal pertama yang harus dikatakan adalah apresiasi yang tak terhingga kepada pihak yang menyajikan Opera Fun Town kepada masyarakat Tanjungpinang. Karena opera ini adalah salah satu bentuk kreatif dari pantun sebagai tradisi lisan masyarakat melayu yang kemudian dikembangkan menjadi Seni Pertunjukkan.

Kedua seni pertunjukkan ini mengunakan hal yang tak lazim dalam penyajian opera yaitu menggunakan pantun sebagai bahan baku dialog sehingga cerita menyajikan kesan tersendiri untuk dinikmati.

Opera adalah sebuah bentuk seni, dari pementasan panggung dramatis sampai pementasan musik. Dalam mementaskan sandiwara, opera memakai elemen khas teater seperti pemandangan, pakaian, dan akting. (www.wikipedia.com diakses, 4 November 2016).

Berdasarkan pendapat tersebut, unsur opera salah satunya adalah adanya sandiwara yang bisa dikaitkan dengan jenis teater, karena di dalam unsur lainnya yaitu adanya akting. Untuk menunjang sebuah akting maka dalam sebuah teater membutuhkan dialog, dan dalam teater dialog dan penghayatan adalah yang penting (Rambet, 2013).

Dialog adalah unsur terpenting dalam sebuah drama. Tanpa dialog ianya bukanlah sebuah drama (Raman, 2001). Raman (2001) menjelaskan bahwa dalam drama bercorak Bangsawan, pantun memberikan ruang dramatik. Sebagai contoh dialog dalam bentuk pantun dalam Megat Trawis yang diselenggarakan oleh Rahmah Bujang (Raman, 2001):

 

  Megat Sari:

      Cis..! Tan tikuk tan tilan

            Terbang sekawan di Selat Pelaju

            Siakap melintang boleh kutelan

            Inikan pula membujur lalu

 

Megat Terawis:

Tan tikuk tan tilan

            Terbang sekawan di Inderagiri

            Siakap melintang boleh kutelan  

            Ini dia pancang berduri

(Sumber Pantun: Rahmah Bujang dalam Raman, 2001: Makalah Pantun: “Nyawa Melayu” Dalam Seni Kepanggungan Melayu, Tumpuan Khusus Kepada Genre Drama Melayu Modern )

 

Transformasi pantun ini memang disengajakan dilakukan oleh penulis untuk memperlihatkan ciri-ciri perbedaan watak dalam drama atau opera tersebut, selain itu pantun digunakan untuk memperlihat ciri-ciri tradisional drama bangsawan. Tanpa pantun, ciri khas sebuah drama bangsawan tidak akan terlihat (Raman, 2001). Umar Junus (Raman, 2001) menyatakan bahwa perubahan atau tranformasi ini bersifat fisik dimana pantun menjadi fisik dialog dalam sebuah drama.

Pantun sebagai sebuah dialog merupakan bentuk perubahan fisik jika kita berkaca pada apa yang dijelaskan oleh Raman (2001) modifikasi pantun dalam teks drama seperti ini merupakan keinginan pengarang untuk menempatkan sebuah teks yang sesuai teksnya, dan pantun juga harus merupakan pantun dengan kategori yang sempurna, dengan rima, persajakan, jumlah kata dan suku kata sesuai dengan kaidah pantun yang ideal.

Lalu bagaimana dengan pantun dalam dialog-dialog Opera Pantun dan Opera Fun Town. Salah satu adegan perkelahian dalam Opera Pantun ini adalah yang terjadi antara Kapau dan Sarman yang diambil Naskah Skenario Opera Pantun (Nur, 2008) berikut:

 

            Kapau:

            Dari Muntok ke Batu Ampar

            Tidak hamba ke Jawa lagi

            Bumi bertepuk langit kutampar

            Tidak hamba ke percaya lagi

 

            Sahar:

            Pantang duri di bawa ke Daik            

            Pantang tuan ke Pulau Mepar

            Pantang diri berundur balik

            Siapkan badan supaya berpagar

 

            Kedua pantun yang menjadi dialog dari Opera Pantun yang naskah skenarionya disusun oleh Asrizal Nur dan Tusiran Suseno (Nur, 2008) menyajikan suatu adegan perkelahian. Coba kita bandingkan dengan dari beberapa potong dialog dengan pantun dalam Opera Fun Town, dimana dialog ini terjadi tatkala Tun Leman Ketua dari Tun Brothers memerintahkan saudara-saudaranya untuk bersiap-siap karena akan kedatangan seorang pejabat penting.

 

Sirih kelat pinang sebatang

            Ayo cepat tamu dah datang

 

            Burung merbah burung punai

            Saya perintah biar cepat selesai

 

            Sebuah dialog lainnya yang ditujukan kepada seorang Pejabat yang ternyata hanya ajudan Pejabat yang datang,

Kalau tomat katakan tomat

            Jangan dicampur dengan indomie

            Selamat datang bapak pejabat

            Semoga betah di kampung kami ,

 

            Sekilas beberapa dialog dari kedua opera tersebut tampak sama saja, namun ini penting kami nuliskan bahwa pada Opera Fun Town masih terdapat dialog “yang serupa pantun namun bukan pantun”. Lebih tepatnya ia disebut dengan “Karmina”. Banyak masyarakat menyangka ini adalah pantun, atau banyak yang mengatakan “pantun dua kerat” memang serupa namun kedua genre ini tidaklah sama.

Karakteristik pantun memiliki 4 (empat) baris dimana struktur barisnya adalah baris pertama dan kedua disebut dengan “Sampiran” dan baris ketiga dan keempat disebut dengan “Isi” (Setyadiharja, 2016). Hamilton (1941) menjelaskan bahwa pantun sesungguhnya memiliki persajakan yang baris pertama dengan ketiga, baris kedua dan keempat memiliki rima dengan asonansi yang sama dan seimbang.

Thomas (1985) menjelaskan bahwa pada pasangan baris pertama (baris pertama dan kedua) dikenal sebagai Pembayang Maksud (Sampiran), menjelaskan kearifan alam. Sementara pasangan baris kedua (baris ketiga dan keempat) yang biasa disebut dengan Maksud (isi) yang selalu berisikan perilaku sosial dan moralitas manusia. pada Maksud atau Isi.  Berbeda dengan Karmina yang hanya memiliki dua baris dimana baris pertama adalah Sampiran dan baris kedua adalah Isi. Selayaknya pada Opera Pantun kedua dialog memang merupakan genre Pantun dengan segala kaidah-kaidahnya.

Kedua tokoh yang saling berdialog menggunakan pantun yang secara kaidah boleh dikatakan baik. Kelebihan Asrizal Nur sebagai Sutradara dan Tusiran Suseno sebagai penulis skenario mampu menyajikan sebuah emosi pada pantun tersebut. Meski pantun yang diucapkan dalam keadaan marah namun filosofi pantun yang sopan dan santun itu tetap terjaga termasuk dalam kaidah pantunnya.

Namun di dalam opera Fun Town, Dua dialog pertama “yang serupa pantun” yang diucapkan oleh tokoh yang bernama Tun Leman tersebut adalah berjenis Karmina. Artinya apa, dialog dengan pantun di dalam Opera Fun Town tidaklah semuanya didominasi oleh pantun, melainkan terdapat beberapa penggalan dialog memakai “Karmina” meskipun juga terdapat banyak dialog pantun yang memang berjenis pantun sebagaimana contoh pantun ketiga sebagai salah satu pantun yang diucapkan Tun Leman di atas.

 

poster pementasan opera pantun

Namun dikarenakan Opera Fun Town-jika dilihat dilihat dari judulnya-bukanlah sebuah opera Pantun secara mutlak, karena diselingi juga dengan dialog verbal biasa dan cerita yang disajikan mengangkat hal-hal yang kontekstual kekinian, sehingga hal tersebut bukanlah kesalahan mutlak, dan kata Fun Town tidak selalu dapat diidentikkan dengan kata Pantun yang diubah suai dengan bahasa asing, namun bisa saja masyarakat mengartikannya sebagai Kota Lucu atau apapun, karena opera ini memang banyak menyisipkan kesan komedi yang segar.  Namun mungkin tulisan ini hanya sekedar memberikan informasi bahwa di dalam dialog tersebut terdapat sebuah genre “yang bukan pantun” yang disebut dengan Karmina.

Namun secara umum, pengguna pantun dalam sebuah opera adalah sebuah terobosan yang kemudian memperkuat pantun sebagai sebuah sajian seni pertunjukkan yang imbasnya adalah perkembangan pantun itu sendiri yang tak hanya sekedar tradisi lisan dan tulisan, namun mampu menjadi sebuah seni pertunjukkan yang dapat dinikmati oleh masyarakat dengan cara yang lebih segar dan menarik.

Pantun yang disajikan dalam bahasa dialog memberi ruang dan suasana libinal dimana penonton opera pantun/drama pantun/teaterikal pantun akan diberikan sebuah perjalanan imajinasi akan adat dan resam dimana pantun itu berasal, sehingga disitulah pantun menjadi sebuah karakter (Raman, 2001).

Dalam konteks ini, pantun tidak lagi menjadi karya sastra yang hanya ditulis sebagai dialog, namun pantun dalam konteks ini telah menjadi suatu bagian yang tak bisa dipisahkan dari sebuah jalan cerita opera/drama/teaterikal pantun itu sendiri. Pantun akan menjadi penentu perubahan emosional pemain, kisah pada setiap babaknya dan amanat yang terkandung di dalam cerita tersebut. Disinilah pantun menjadi bagian penting dalam sebuah seni pertunjukan. Syabas untuk Opera Pantun dan Opera Fun Town. Teruslah melestarikan adat resam. (jm)

Artikel SebelumMenerka ‘Rebah’ pada Istana Kota Rebah
Artikel BerikutNAU-BAT

Tinggalkan Balasan