
Oleh: Aswandi Syahri
Pantun, adalah genre sastra Melayu yang dikenal luas dalam sastra Barat. Sejak dekade pertama abad 19, sejumlah penyair besar Eropa, terutama di Prancis, telah menaruh perhatian terhadap genre sastra orisinil Melayu ini. Singkatnya, kehadiran pantun Melayu dalam sastra Barat telah melahirkan pantoum atau pantoun sebagai salah satu genre puisi modern Barat yang bermula dalam sastra Prancis.
Tulisan ini ingin menelusuri perjalanan pantun Melayu sehinggalah menjadi pantoum atau pantoun dalam sastra Prancis yang kemudian tersebar dalam berbagai ranah sastra berbahasa Inggris di Eropa dan Amerika: sebuah perjalanan dari buku ke buku.
Semuanya bermula setelah William Marsden, mantan pejabat East India Company (EIC) Inggris di Bengkulu dan Padang (1771-1779), yang juga terkenal sebagai seorang leksikograf dan sejarawan, mempublikasikan empat untai pantun Melayu (pantun berkait) yang ditulis menggunakan tulisan jawi dan terjemahannya dalam Bahasa Inggris dalam buku tata bahasa Melayu yang ditulisnya, A Grammar of the Malayan Language with an Introduction and Praxis pada tahun 1812 (William Marsden, 812: 208-209).
Diperkirakan, Marsden menyalin dan menerjemahkan empat untai pantun itu ke dalam bahasa Inggris berdasarkan mansukrip pantun dalam koleksinya yang kini berada dalam simpanan perpustakaan School of Oriental and African Studies (SOAS) di London, dengan nomor katalog MS 12158 (4).
Empat untai pantun Melayu ini tampaknya adalah untaian pantun pusaka yang sangat terkenal di Alam Melayu, dan kemudian menjadi tekenal di kalangan audiens sastra berbahasa Inggris abad 19. Di Riau, empat untai pantun berkait itu juga menjadi bagian dari untain pantun berkait yang dipublikasikan dalam karya Haji Ibrahim yang diberi judul Pantoen2 Malajoe pada tahun 1877.
Selengkapnya, empat untai pantun berkait yang dalam sejarah dan kajian sastra Melayu dikenal sebagai “pantun kupu-kupu terbang melintang” tersebut adalah sebagai berikut:
Kupu2 terbang melintang
Terbang di laut di hujung karang
Hati di dalam menaruh bimbang
Dari dahulu sampai sekarang
Terbang di laut di hujung karang
Burung nasur [nasar] terbang ke Bandan
Dari dahulu sampai sekarang
Banyak muda sudah kupandang
Burung nasur [nasar] terbang ke Bandan
Bulunya lagi jatuh ke Patani
Banyak muda sudah kupandang
Tiada sama mudaku ini
Bulunya jatuh ke Patani
Dua puluh anak merpati
Tiada sama mudaku ini
Sungguh pandai membujuk hati
Dari Inggris, terjemahan Marsden atas empat untai pantai ini kemudian menyeberang ke tanah Prancis, kampung halaman Victor Marie Hugo, penyair besar Prancis abad 19 yang kemudian memperkenalkannya ke dalam sastra modern prancis abad 19.
Di Prancis, versi bahasa Inggris “pantun kupu-kupu terbang melintang” itu diterjemahkan pula oleh penyair dan novelis Ernest Fouinet (1799-1845) yang sangat terkenal, karena banyak menerjemahkan puisi-puisi berbahasa Arab, Sansekerta, Melayu, dan lain-lain. Terjemahan dalam bahasa Prancis itulah yang kemudian dimuat oleh Victor Hugo dalam catatan pada buku kumpulan puisi yang dihimpunnya dengan judul Les Orientales pada tahu 1829.
Terjemahan dalam bahasa Prancis oleh penyair dan novelis ini yang kemudian melahirkan genre pantoum atau pantoun sebagai puisi baru dalam sastra Prancis yang dikembangkan oleh para sastrawan Zaman Romantik. Dalam sosoknya yang baru, pantun Melayu yang telah bersalin rupa menjadi pantoum atau pantoun dalam sastra Prancis abad 19 itu adalah suatu yang berbeda.
Jika pantun Melayu adalah puisi lisan (dan kemudian dituliskan) yang sifatnya anonim, maka pantoum Prancis adalah satu bentuk puisi modern dalam tradisi tulis Barat yang jelas siapa pengarangnya.
Pantoum Prancis terdiri dari beberapa bait yang saling berkait, persis seperti pantun berkait. Baris kedua dan keempat setiap stanza dijadikan baris pertama dan ketiga bagi stanza berikutnya, begitulah seterusnya hingga stanza yang terakhir. Baris pertama sebuah pantoum juga menjadi baris terakhirnya, dan umumnya, seperti halnya pantun Melayu, pantoum Prancis menggunakan juga rumus abab. Selanjutnya, setiap stanza mempunyai dua tema yang sama, pada satu kuplet pertama dan satu kuplet berikutnya.
Terjemahan empat untai pantun “kupu-kupu terbang Melintang” oleh Ernest Fouinet yang diperkenalkan oleh Victor hugo itu telah melahir pengarang-pengarang pantoum Prancis yang terkenal.
Francois Rene Daile dalam bukunya yang berjudul Alam Pantun Melayu Studie on the Malay Pantun ( 2002:31) menyebutkan puisi pertama dalam sastra Prancis yang dinyatakan sebagai pantoum pengarangnya adalah puisi puisi tau pantoum berjudul Les Papilons (Kupu-Kupu) karya penyair Theophile Gautiers yang ditulis pada tahun 1838, sekitar sembilan tahun setelah terjemahan pantun Melayu “kupu-kupu terbang Melintang” dalam bahasa Prancis diterbitkan oleh penyair besar Victor Hugo dalam buku Les Orientales pada tahu 1829.
Setelah itu, secara berturut-turut, penyair Charles Baudelaire memulainya pula dengan pantom berjudul Harminie du Soir (Harmoni Malam) pada tahun 1857. Dan pantoem yang disebut-sebut sebagai puisi modern prancis yang paling mendekati roh pantun Melayu adalah pantoem karya penyair Theodore Banvile yang ditulis pada tahun 1875. Setelah itu ada pula pantoum karya penyair Leconte de Lisle yang yang ditulis pada tahun 1884. Pada tahun yang sama, penyair Paul Verlaine menulis pantun humur karena ada roh pantun Melayu yang lepas luncas ketika bersalin menjadi pantoum Prancis. Pantoum itu ia beri judul, “Pantoum neglige”.
Verlaine benar, tak semua roh dalam pantun Melayu dapat disalin kedalam pantoum Prancis. Ada bagian yang hilang atau dilupakan dari pantun Melayu dalam pantoum Prancis. Terutama karena hilang fungsi pembayang atau sampiran yang membangun setiap bait dalam pantun Melayu. Namun demian tak dapat disangkal bahwa pantun Melayu telah melahir pantoum Prancis, dan telah memberikan sumbangan yang berharga kepada perbedaharaan sastra modern Prancis.
Dalam makalahnya untuk sebuah pertemuan ilmiah di Melaka yang berjudul Estetika Pantun Sebaga Pengukur Kadar Seni [yang sempar “hilang” di tangan penyelenggara pertemuan ilmiah itu], Hasan Junus mengulas sepitas kilas sisi ‘lemah’ pantoum Prancis yang ‘gagal’ mengadopsi secara utuh esensi pantun Melayu karena karena lepas luncasnya apa yang disebut sampiran atau pembayang dalam pantun Melayu yang telah ‘berinkarnasi’ menja genre pantoum atau pantoun dalam sastra Prancis itu.
Namun itulah hakikatnya sebuah pertembungan kebudayaan. Tak semua detil dari sebuah kebudayaan dapat tapil serupa ketika masuk dalam ranah kebudayaan yang lain. Perbancuhan itu pasti akan menghasilkan suatu yang baru: dan demikianlah pantun Melayu telah melahirkan pantoum Prancis.***