Oleh: Aswandi Syahri
Raden Ajeng Kartini dari Jepara sebenarnya tak sendiri dalam menggunakan kuasa pena untuk menyuarakan hak dan martabat perempuan pada zaman kolonial di Indonesia.
Dari Pulau Penyengat di Tanjungpinang, seorang perempuan Melayu bernama Aisyah Sulaiman Riau @ Raja Aisyah binti Raja Haji Sulaiman juga menggunakan kuasa pena untuk mengungkapkan pandangan dan gagasannya tentang martabat dan hak perempuan yang kini kita kenal sebagai emansipasi wanita, proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju dan disuarakan dalam gerakan-gerakan feminisme yang esensinya adalah menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan laki-laki.
Sama seperti Kartini, Aisyah Sulaiman berdarah biru.Ia berasal dari keluarga pengarang, di kalangan keluarga diraja Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Beliau lahir di Pulau Penyengat sekitar tahun 1870 dan wafat di Johor Baharu pada tahun 1926. Ayahnya adalah Raja Sulaiman alias Raja Bih yang menulis Syair Van Ophuijsen. Datuknyanya pula adalah pujangga dan cendekia Raja Ali Haji yang sangat prolific itu. Sedangkan suaminya adalah Raja Khalid Hitam atau Raja Khalid ibni Raja Hasan ibni Raja Ali Haji yang gigih menggerakkan perlawanan antikolonial di Kerejaan Riau-Lingga pada awal abad yang lalu. Dengan latar keluraga seperti ini, maka bukanlah suatu kebetulan bila Aisyah adalah seorang perempuan yang tercerahkan pada zamannya.
Jika Raden Ajeng Kartni memadukan kuasa penanya dengan kemampuan menulis artikel dan koresponsei dengan sahahabat Eropanya yang menghasilkan ratusan surat-surat yang terkenal itu, maka Aisyah Sulaiman Riau menyandingkan kuasa penanya dengan sastra. Tepatnya dengan kemahiran penulisan karya sastra cara Melayu dalam bentuk syair dan hikayat.
Sebab Raden Ajeng Kartini memilih jalur korenpondensi dalam menyuarakan emansipasi wanita pada zamannya mungkin telah banyak dikemukakan. Namun mengapa Aisyah Sulaiman Riau memilih sastra dan bagaimana ia mengguakan kuasa pena seorang pengaranga perempuan dalam mengungkapkan pandangannya tentang emansipasi wanita, mungkin tak telalu banyak diketahui.
Adalah Ding Coo Ming yang mula-mula menemukan dan mengemukan gagasan emansipasi wanita dalam karya-karya Aisyah Sulaiman Riau yang kemudian dibentangkannya dalams sebuah disertasi, berjudul Kepengarangan Melayu di pinggir abad yang ke 19, Raja Aisyah Sulaiman, yang dipertahankan di Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, tahun 1994.
Ketika mengulas sumbangan Aisyah Sulaiman Riau sebagai seorang pengarang perempuan Melayu di pinggir abad 19, dalam disertasi yang kemudian dierbitkan dengan judul Raja Aisyah Sulaiman Pengarang Ulung Wanita Melayu (1999), Ding Coo Ming mengawalinya dengan ungkapan sebagai berikut:
“Kekaguman kita terhadap Raja Aisyah Sulaiman adalah karena beliau menggunakan kuasa pena untuk megungkapkan pandangannya tentang emansipasia wanita. Beliau mengetahui bahawa pembebasan dan reformasi yang menguntungkan wanita sukar dicapai dengan melawan kaum laki-laki secara terbuka. Oleh karena itu beliau membayangkan perkara yang patut untuk wanita dan menggambarkan perempuan yang mempunyai sifat laki-laki sebagai contoh wanita jenis baru yang dikehendaki.,.”
Menurut Ding, jalan yang ditempuh Aisyah Sulaiman samalah taraf dan modelnya dengan pemberontakan melalui jalur literasi yang dilakukan oleh pejuang emansipasi perempuan dan para perempuan pengarang feminis Inggris pada masa yang sama.
Melalui karya-karyanya, Aisyah Sulaiman Riau merekonstruksi pergulatan perempuan mencari dan menempatkan dirinya dalam dunia laki pada satu pidak , dan pada mengkritik dominasi laki-laki atas perempuan pada pihak lain. Menurut Ding, Aisyah Sulaiman mengambarkan kehendak dan gagasannya tentang dunia perempuan yang dibayang-bayangi oleh dunia laki-laki dengan menyamarkan tokoh wanita dalam karya-karya menjadi laki-laki dan melihat wanita dari kaca mata laki-laki.
Pergulatan pemikiran psikologis ala Fucoult ini dituangkannya dalam empat karyanya yang telah dikenal pasti: tiga karya tunggal atas namnya, dan satu syair karya bersama yang disamarkan sebagai karya seorang perempuan dari Negeri Johor.
Dengan empat karya itu, Aisyah Sulaiman juga dicatat sebagai pengarang perempuan Melayu zaman peralihan dari zaman sastra tradisional kepada zaman “sastra Melayu modern” yang paling prolific pada zamannya.
Karya pertama Aisyah Sulaiman adalah sebuah hikayat panjang berjudul Hikayat Syamsual Anuar yang ditulis di Pulau Penyengat pada tahun 1891. Hikayat yang sangat tebal karena ditulis pada 1895 muka surat ini menggunakan sekitar 250.000 perkataan. Lima salinan hikayar ini masih tersimpat pada sejumlah perputakaan lebaga dan universitas di Malaysia.
Dua karya lainnya ditulis setelah Aisyah Sulaiman meninggalkan Pulau Pulau Penyengat pada 1911. Pertama, Syair Khadamuddin diterbitkan di Singapura tahun 1926 dan kedua Hikayat Syariful Akhtar diterbitkan 1929. Sedangkan sebuah sayair yang berjudul Syair Seligi Tajam Bertimbal ditulis di Johor bersama seorang perempuan bernama Zaitun binti Sulaiman pada tahun 1916 dan diterbitkan di Singapura pada tahun 1917.
Pisau analisa dan teori yang digunakan oleh Ding Coo Ming untuk mengupas esensi dua hikayat dan satu syair karya Aisyah Sulaiman Riau telah mengemukakan sebuah pemahaman tentang cara khas Aisyah Sulaiman dalam mengemukakan pemkiran-pemikiran emansipasinya. “Untuk mengekspresikan kehendaknya, Raja Aisyah membayangkan dirinya [ dan sikapnya sebagai seorang perempuan Melayu] sabagai Afandi Hakim dalam Hikayat Syamsul Anuar…[dan] … membayangkan dirinya sebegai Sabariah dalam Syair Khadamuddin”, ungkap Ding Coo Ming.
Pada bagian lainnya, dalam Hikayat Syamsul Anuar, Aisyah Sulaiman mengungkapkan keinginannya tentang pembebasan wanita dari ikatan perkawinan yang dipaksakan dan dikekang oleh adat. Ia kemudian mengambarkan tokoh perempuannya yang menyamar sebagai seorang laki-laki sehingga memungkinnya melakukan berbagai hal sebgai bentuk perlawanan terhadap dominasi laki-laki, termasuk melakukan “mogok sex” dan tidak tidur bersama suaminya.
Benih-benih pemikiran emansipasi dan feniminisme Aisyah Sulaiman Riau juga dapat dijumpai dalam Syair Khadamuddin, yaitu pada bagian yang memperliharkan bagaimana tegarnya tokoh perempuan dalam syair itu tatkala membela keluarga dan suaminya. Namun demikian,pada narasi lainnya Aisyah Sulaiman juga menganjurkan agar para suami itu diajar dan dingatkan bila sudah terlalu jauh dari aturan yang wajar di mata seorang perempuan.
Ya, selain “perempuan dimata laki-laki”, maka “perempuan di mata perempuan” adalah esensi pemikiran emansipasi dalam karya-karya satra Aisyah Sulaiman Riau. Dalam Syair Seligi Tajam Bertimbal yang ditulis bersama dengan Zaitun binti Sulaiman dari Johor tahun 1916, konsep “perempuan dimata perempuan ini tergambar jelas,
Seligi Tajam bertimbal tidak hanya memberikan petunjukan tentang membina sebuah rumah tangga yang rukun, tapi juga menjelaskan sebab-musabab konflik yang tidak hanya berpunca dari laki-laki (suami) yang tak mengajari istri, tapi juga bermula dari perempuan (istri) yang tak tahu diri: sebuah ‘syair auto-kritik’ tentang perempuan oleh perempuan.
Seperti terkias dari judul syair ini, Seligi Tajam Bertimbal, maka kehidupan kehidupakan rumah tangga dilihat bagaikan seligi, lembing, (javelin) yang kedua hujung matanya tajam. Keduanya hujungnya dapat merobek dan melukai. Konflik rumah tangga bukan hanya tersebab laki-laki, tapi ada juga yang disebabkan oleh pihak perempuan.
Sebagai sebuah ‘syair auto-kritik’, Seligi Tajam Bertimbal juga menjelaskan sebab-musababnya jauh sampai ke akar-akarnya, yang berpunca dari kesalahan orang tua dalam menididik anak perempuannya.
Perihal itu dijelaskan dalam bait-bait syair itu, yang antara lain isinya adalah sebagai berikut:
Istimewa ia anak perempuan
Lebih dijaga tingkah kelakuan
Biasakan ia malu-maluan
Walau kepada teman dan kawan.
Dan juga handai sahabat
Tiada apa bertemu lambat
Anak perawan ibu menjabat
Patut dibungkus seperti belibat.
Demikian lagi kalimah tutur
Hendaklah ibu bapa mengatur
Dihadapnya jangan bercakap kotor
Nanti anakmu menjadi ketor.
Tapi kebanyakan ibunya pula
Anak perempuan sahaja dibela
Dandan solek tiada berkala
Supaya banyak laki-laki gila.
Diberi memakai baju yang jarang
Segala anggota kelihatan terang
Sifat yang batin dlihat oran/
Menjadi laki2 nafsunya garang.
Istimewa perempuan janda yang muda
Pandai keletah mengada-ngada
Dimana ramai laki-laki ada
Disahaja keluar beranda-anda.
Liuk lempai gaya berjalan
Mengenakan lenggok patah sembilan
Tidak laki-laki memandang malan
Disitulah terbit malang kesialan
Sehabis mujur ia meminang
Lamun tidak menjadi lanang
Inilah ibu tiada mengenang
Anak yang bodoh akhir tak senang.
Jika ia elok perasih
Mula berkahwin lakinya kasih
Bodoh lekat di badan masih
Ialah jalan jadi selisih.***