
SETAHUN terasa lekas. Tiba-tiba. Tidak terasa dua belas purnama sudah, Lawen meninggalkan kita. Jasadnya saja, tidak puisi-puisinya. Penyair bernama lengkap Junewal Muchtar itu sejatinya senantiasa hidup dalam bingkai kenangan kita.
Penyair Husnizar Hood mengenang Lawen sebagai karib seperjalanan. Masih terekam jelas kelakar di bawah pohon pada helat Kampung Penulis di Lingga tahun 1999. Titimangsa ketika sejarah kemudian mencatat Lawen menerbitkan buku puisi pertamanya bertajuk Batu Api.
“Saat itu, Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri yang langsung meluncurkan buku Lawen itu di antara rimbun pohon kelapa dan pohon mangga di Lingga,” kenang Husnizar, pada acara Malam Mengenang Lawen, di Kedai Puisi Biru, Kamis (11/5) malam lalu.
Tapi jangan salah. Kendati hanya di halaman rumah, kabar Lawen meluncurkan buku puisi dimuat di beberapa surat kabar ibu kota. Hal itu sontak bikin banyak penyair hari itu iri. Husnizar mengingat itu dengan kelakar penuh riang sambil menggumam, betapa beruntungnya Lawen.
Kelindan kenang tentang Lawen dalam benak Husnizar tiada ada habisnya. Batu Api sendiri terbit juga ada campur tangannya. Suatu ketika, Husnizar meminjamkan mesin tik lengkap dengan satu rim kertas. Dibawa pulang Lawen. Digunakan untuk menyalin manuskrip puisi-puisinya yang berserakan. Setelah rampung, kenang Husnizar, Lawen belum jua memberikan judul buku pertamanya.
“Ketika ketikan puisi itu ada di rumah, Pepy, istri saya yang kemudian mengusulkan buku puisi itu diberi judul Batu Api. Dan ternyata Lawen menyukainya,” kisah Husnizar.
Dalam kosmologi orang Melayu, batu api adalah sebutan bagi provokator. Dan sepanjang hayatnya yang membentang dari 2 Juni 1956 hingga 10 Mei 2016, Lawen menebar perlawanan dan gugatan pada setiap ketimpangan yang terjadi di sekitarnya. Terpancar terang-terang dalam tiap bait sajaknya.
“Setelah Batu Api, Lawen terus berkarya dan menemukan kharismanya sendiri,” kata Husnizar.

Ada banyak penyair muda hadir pada malam itu. Tapi tak ada yang lebih spesial dari kehadiran keluarga besar Lawen. Terkhusus kepada Ega Puja Bangsa dan Puizi Akbar, putra kedua dan ketiga, Lawen dengan Indah Citra.
Bagi Ega, yang juga menempuh laku seni sebagaimana mendiang ayahnya, menganggap Lawen adalah sumur inspirasinya. Sehingga kepada Ega saja, kemudian Lawen membacakan puisi terakhir sebelum mengembuskan napas terakhirnya.
“Kata Papa, ‘kutitipkan batu api buat Ega’. Papa membacakan itu ketika sudah terbaring lemah di rumah sakit,” kenang Ega yang dalam hitungan detik kemudian tak kuasa menahan air matanya.
Mengenang orang tercinta memang bukan perkara mudah. Ega sendiri berulang kali mengusap basah di pipinya. Pembacaan puisinya tersendat oleh emosi yang kadung memuncak dan membuncah dalam dada.
Bagaimana tidak. Sepengalaman Ega, sebagai seorang ayah, Lawen tiada pernah memarahinya. Bahkan dalam urusan memberi nasehat, kata Ega, mendiang papanya itu selalu menuliskannya dalam bait-bait puisi. Suatu pesan yang membuat Ega kini mengaku lebih berani menghadapi dunia. Suatu sumber kekuatan untuk terus berjuang menghidupi kesenian sebagaimana ayahnya.
Kemudian giliran Puizi Akbar. Penampilannya malam itu yang mengenakan jaket kulit cokelat, memulangkan ingatan siapapun yang hadir malam itu pada Penyair Batu Api. Tak puas sekali, Puizi bahkan sampai harus dua kali naik panggung membacakan puisi ayahnya.
Anak-anak Lawen memang boleh dikata nyaris jarang melihat ayahnya menulis puisi di rumah. Tiba-tiba puisi itu ada. Tiba-tiba sudah ada lagi buku puisi tercipta. Indah Citra, istri Lawen, membenarkan hal itu.
“Abang itu justru sering diam ketika di rumah. Kalau mengarang puisi lebih banyak di luar, di rumah teman-temannya,” kenang Indah.
Sosok Lawen memang akan sukar lepas dari ingatan. Spontanitasnya. Ekspresinya. Improvisasinya. Aktrasinya. Teriakannya. Hanya satu dan tiada dua. Yang hadir malam itu, mengenang seorang Lawen dengan caranya masing-masing. Dengan pembacaan puisinya. Dengan musiknya. Semuanya demi Lawen seorang yang telah berpulang, namun kekal dalam kenang.
Mengamini ucapan Ega, bahwasanya batu api tidak pernah mati. Batu itu bisu, tapi api terus menyala.
Seperti kata Lawen dalam puisinya bertajuk Untuk Anakku.
…
kita lahir telanjang
kematian hanya sebutan
dengan jasad yang membusuk
lalu dimakan cacing cacing tanah
hingga tinggal belulang
tapi nama dan kebajikan
akan terus menembus berkurun waktu.