
Oleh: Aswandi Syahri
ORANG Tanjungpinang tentu akrab dengan nama Bukit Cermin, dan masih ingat dengan nama Bukit Semprong. Namun, pasti tak ada yang kenal dengan nama Bukit Stoppelaar.
Nama Bukit Stoppelaar hanya ada dalam buku Eliza Netscher yang berjudul, De Nederlanders in Djohor en Siak 1602-1865 (Belanda di Johor dan Siak 1602-1865. Batavia,1870). Dalam bahasa Belanda, Netscher menyebutnya Stoppelaarsberg, dan padanannya dalam bahasa Melayu adalah Bukit Stoppelaar.
Bukit ini sangat penting peranannya dalam sejarah Tanjungpinang semasa perang Raja Haji yang berakhir dengan kemenangan pada 6 Januari 1784. Karena selain tembakan meriam dari benteng Raja Haji di Bukit Tanjungpinang dan Teluk Keriting yang menghancurkan kapal komando Malakka’s Welvaaren, sebuah peristiwa lain yang terjadi di bukit tersebut juga menentukan kemenangan itu. Dan dari peristiwa itu pula bukit tersebut mendapatkan namanya.
Bukit Stoppelaar, adalah salah satu bukit dari rangkaian perbukitan yang terhampar di belakang kota lama Tanjungpinang. Bukit ini agak sedikit lebih rendah dari Bukit Tanjungpinang yang menjadi lokasi benteng tanah milik Raja Haji, yang kemudian diambil alih oleh Belanda dan merubahnya menjadi Fort Kroonsprins (Benteng Putra Mahkota) menggunakan bongkahan batu-batu runtuhan benteng Melaka.
Letak bukit ini tak jauh dari Bukit Tanjungpinang. Di atas puncak bukit inilah pada tahun 1840-an, orang-orang Belanda di Tanjungpinang membangun Ziekenhuis (Rumah Sakit) yang kini bertukar-ganti menjadi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tanjungpinang. Sebagian dari bukit ini juga pernah menjadi lokasi Kazerne der Algemeene Politie (Asrama Polisi). Di Bukit ini pula kini membentang Jl. Rumah Sakit yang pada zaman Belanda disebut Hospitaalsweg.
Bagaimana asal-usul nama Bukit Stoppelaar? Apa pula hubungannya dengan perang Raja Haji Fisabilillah melawan armada laut Vereening Oost-Indische Compagnie (VOC)-Belanda pada 6 Januari 1784?
Stoppelaar sesungguh nama seorang scriba (juru tulis) dan Volunteer VOC yang nama lengkapnya adalah Fracois de Stoppelaar. Sebuah nama yang ggak berbau Prancis. Namun dari nama belakangnya, dapat dipstikan bahwa ia adalah keturunan Ridder Daniel de Stoppelaar Daniel Zoon yang berasal dari Provinsi Oost-Vlanderen-Belanda. Ia adalah salah seorang ‘opsir dadakan’ yang ikut dalam ekspedisi VOC untuk menaklukkan perlawanan Raja Haji Riouw, Tanjungpinang.
Sejarah eskpedisi penalukkan ini, sebab-sebab kegagalannya, peranan Stoppelaar, dan kehebatan strategi perang Raja Haji sehingga menyebabkan kapal komando Malakka’s Welvaaren pecah berkeping-keping telah ditinjau ulang oleh Reinout Vos dalam disertasinya yang diterbitkan dengan judul, Gentle Janus, Merchant Prince The VOC and The Tightrope of Diplomacy in The Malay World, 1740-1800 (KITLV, 1993).
Menurut Reinout Vos, setelah melalui persiapan yang cukup panjang, serangan ekspedisi ‘armada laut’ VOC yang dipimpin oleh Kommisarisssen Mr. Arnoldus Franciscus Lemker dan Syahbandar Hoijnek van Papendrecht dari Melaka terhadap sejumlah pertahanan Raja Haji di Tanjungpinang dimulai pada 6 Januari 1874.
Ekspedisi tersebut tidak hanya mengandalkan kekuatan artileri kapal perang Dolpijn, Hof ter Linde, Diamant, de Jonge Hugo, Patriot, Concordia, dan tentu kapal komando Malakka’s Welvaaren yang dipimpin langsung oleh Kommisarisssen Mr. Franciscus Arnoldus Lemker saja. Pendaratan dua divisi bersenjata untuk membungkam Benteng Raja Haji di Bukit Tanjungpnang juga dipersiapkan dalam ekspedisi itu.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya semua rencana itu perlahan-lahan berubah menjadi sebuah ‘bencana’ ketika kapal komando Malakka’s Welvaaren yang penuh dengan pasukan, persenjataan, da obat bedil itu terjepit dalam “perangkap”. Suasana di geladak Malakka’s Welvaaren panik. Menurut Reinout Vos, Raja Haji sengaja membangun tumpukan-tumpukan batu di perairan, antar Pulau Penyengat dan hujung sebuah tanjung yang bernama Tanjungpinang, yang berada dalam jangkauan tembakan sarang meriam yang sangat kuat di Bukit Tanjungpinang.
Di antara suasana panik yang dibayang-bayangi tembakan sarang meriam Raja Haji dari Bukit Tanjungpinang, Kommissaris Lemker memerintahkan mengirim satu detasemen orang Eropa. Kebanyakannnya adalah serdadu bayaran asal Prancis, yang tidak mengerti bahasa Belanda, untuk melakukan pendaratan pada bagian yang datar di sebelah Selatan Bukit Tanjungpinang, di kawasan Kampung Jawa sekarang. Hamparan kawsan yang datar ini dipilih sebagai jalan pintas untuk menyerang Benteng di Bukit Tanjungpinang melalui belakang.
Rupanya pendaratan itu tidak dipersiapkan dan dipimpin secara professional. Tak seorangpun dari anggota detasemen itu yang mengetahui kedaan pantai dan tebing tempat pendaratan. Perahu bargas yang membawa mereka kandas. Serdadu yang sebagian besar dalam kondisi mabuk minuman keras itu akhirnya terpaksa mengarung untuk naik ke darat. Akibatnya, obat bedil senjata yang mereka bawa basah. Bahkan mereka mendarat tanpa sepatu boot militer alias bootless (tanpa sepatu boot).
Juru tulis Francois de Stoppelaar ikut juga dalam pendaratan itu. Ia diperbantukan pada detasemen tersebut karena kefasihannya berbahasa Prancis. Bahkan ia kemudian mengambil alih komando ketika opsir Zoldering yang memimpin detasemen pendaratan tersebut jatuh sakit saat tiba pada tebing bukit di tanah yang datar itu.
Dengan penuh semangat dan tanpa perhitungan militer, Stoppelaar yang ‘pemberani’ itu memberikan contoh yang baik kepada anak buahnya. Ia mendahului anak buahnya mendaki bukit yang terletak di belakang benteng Raja Haji itu, dan berhasil berdiri puncaknya. Tujuannya adalah untuk mengepung benteng pertahanan Raja Haji di Bukit Tanjungpinang dengan tembakan.
Namun apa daya, usaha gigih ‘opsir’ juru tulis itu sia-sia, karena sebelum ia berhasil, peluru dari sarang meriam Raja Haji yang berada di Bukit Tanjungpinang dan Teluk Keriting lebih dahulu menghantam sebuah tong obat bedil (mesiu) yang hanyut mendekati kapal Malakka’s Welvaaren. Kapal komando itu hancur berkeping-keping.
Peristiwa itu tidak hanya menewaskan Kommissaris Arnoldus Franciscus Lemker, tapi juga mematahkan semangat perlawanan ‘opsir’ juru tulis Francois de Stoppelaar dan detasemen yang dipimpinnya. Akan tetapi, keberanian Stoppelar tetap dikenang oleh orang-orang Belanda dengan melekatkan namanya pada bukit tempat ia memimpin serangan terhadap benteng Raja Haji: Stoppelaarsberg atau Bukit Stoppelaar.***