SUDAH nyaris dua tahun Jembia ada. Menjadi palagan bermain para Jembianis. Menjadi laluan para penulis muda berbakat. Menjadi tempat belajar ihwal kebudayaan Melayu. Menjadi teman di setiap Minggu pagi. Namun, masih banyak pula hingga kini yang bertanya perihal Jembia itu sendiri. Mengapa harus Jembia dan apa itu Jembia?
Datuk Seri Lela Budaya, Rida K Liamsi berujar, Jembia mesti menjadi pisau tajam yang membelah kebekuan kepedulian budaya Melayu di Kepulauan Riau. Bahwasanya ketika banyak orang semakin menjauh, Jembia dengan ketajamannya, memangkas jarak itu dan semakin mendekatkan.
“Tajam? Jembia itu apa sih?” tanya sebagian Jembianis lain.
Sejarawan Kepri, Aswandi Syahri berbicara panjang perihal Jembia. Ia menyebutkan ada dua kepustakaan klasik yang penting tentang senjata-senjatra tradisional Melayu.
Keduanya ditulis oleh orang Inggris yang punya minat besar terhadap sejarah dan kebudayaan Melayu. “Bagaikan pelanduk dua serupa, judulnya sama namun tak serupa,” katanya.
Kepustakan pertama berjudul Keris and Other Malay Weapons. Sebuah buku kecil (little book, seperti dinyatakan dalam penulisnya) Ditulis oleh G.B. Gardner, seorang anggota Johore Civil Service dalam pemerithan kolonial Bristish di Johor pada dekade ketiga abad yang lalu. Edisi kedua buku Gardner hadir pada bulan April 1936 dan diterbitkan oleh Progressive Publishing Company, Singapura.
Sementara itu, kepustakaan kedua, judulnya adalah “The Keris and onther Malay Weapons” buah karya A. Hill, M.A. D. Phil yang dimuat sebabagai sebuah ‘essai panjang’ dalam Journal of The Malayan Branch Royal Asiatic Society, volume XXIX, Part 4, tahun 1954.

Kepustakaan pertama berjudul Keris and Other Malay Weapons. Sebuah buku kecil (little book, seperti dinyatakan dalam penulisnya) Ditulis oleh G.B. Gardner, seorang anggota Johore Civil Service dalam pemerintahan kolonial Bristish di Johor pada dekade ketiga abad yang lalu. Edisi kedua buku ini hadir pada bulan April 1936 dan diterbitkan oleh Progressive Publishing Company, Singapura.
Sementara itu, kepustakaan kedua, judulnya adalah “The Keris and onther Malay Weapons” buah karya A. Hill, M.A. D. Phil yang dimuat sebabagai sebuah ‘essai panjang’ dalam Journal of The Malayan Branch Royal Asiatic Society, volume XXIX, Part 4, tahun 1954.
Buku kecil Gardner diusahakan dan disusun untuk membantu dan sebagai referensi bagi kolektor senjata-senjata tradisional Melayu dengan uraian yang cukup lengkap tentang sejarah, asal-usul, ragam bentuk senjata tradisional Melayu lengkap dengan legenda dan mitos-mitos yang membingkai masing-masingnya.
Dalam buku kecil setebal 138 halaman itu Gardner menjelaskan hal-ihwal persenjataaan orang Melayu: mulai dari senjata tajam sederhana dan kecil sekelas belati (dagger) hingga keris dengan berbagai ragam bentuk yang rumit dari segi pembuatan dan mewah dari segi bahan dan perhiasan yang dilekatkan padanya.
Gardner juga menjelaskan ragam jenis dan bentuk pedang, lembing dan tombak, serta berbagai jenis meriam Melayu (seperti lela, rentaka, dan ekor lotong) dan senjata api ringan (seperti seapang terkul, kulai, pukol, perdiul, istinggar, dan bedil pemuras atau pemburas), busur dan panah, serta sumpitan yang dikenal dalam khazanah senjata tradiosional Melayu
Bahkan Gardner juga menjelaskan senjata kuno Melayu berupa bermacam-macam kapak (kapak jepun, pepatil, dan rimbas), dan beragam senjata pelontar seperti baling-baling, batu rajut dan chakera (cakra).
“Dan yang menarik Gardner juga melampirkan berbagai penjelasan yang berharga, misalnya, perihal kelengkapan sebuah baju perang Melayu, dan ragam baju perang Melayu beserta kelengkapannya, seperti: baju rantai atau baju besi, baju lamina, kechubung, utah, tameng, dan rangin,” jelas Aswandi.
Dalam buku kecilnya, Gardner turut menyebut jembiah, senjata tradisional yang namanya kemudian menjadi halaman budaya ini menjadi Jembia. Gardner menjelaskan, jembiah dikelompok sebegai belati (daggers) yang variasi utamanya terdiri dari: jembiah; lawi ayam, kuku ayam, atau kerambit, beladau dan lading terus.
“Ini,” tulis Gardner, “adalah sebuah belati melenggkung yang aslinya berasal dari Arab atau India. Tiruannya oleh penduduk tempatan (native copies) biasanya dibuat dan ditemukan di Pulau Jawa atau Sumatra: Selalunya bilah (jembiah) dari Arana tau India dan hulunya dibuat oleh penduduk tempatan.”
Sama Seperti Gardner, dalam ‘essai panjangnya’ tentang Keris dan Senjata Melayu Lainnya, A.H. Hill juga mengelompokkan jembiah sebagai “pisau dan belati kecil Melayu” (Malay knives and small daggers). Dalam kelompok ini tercakuplah tumbok lada Sumatra; tumbok lada Semenanjung; beladau; jembiah; dan lawi ayam atau kerambit, yakni pisau tajam melengkung bermata satu atau dua yang menyerupai jembiah Arab.
Jika dibandingkan dengan senjata tradisional Melayu lainnya, tampaknya jembiah dan sejenis, kurang populer, terbatas dalam hal penggunannya, dan menjurus kepada langka.
Namun begitulah jalan jembiah para penulis Melayu. Sunyi dalam suara. Sepi dalam gerak. Tapi setiap karyanya tajam menikam. Berkilau indah bak manikam.***