Oleh: Dedi Arman*
Pulau Basing ramai dibicarakan dan digadang-gadangkan jadi ikon wisata Tanjungpinang. Paket kunjungan ke lokasi wisata sejarah ini sudah dipublikasikan melalui media sosial. Biaya murah ongkos pompong Rp20 ribu dan jaraknya dekat selemparan batu dari Pantai Sri Arjana, Tanjung Siambang.
Penamaan pulau ini beragam. Orang Belanda menyebutnya Poeloe Bassing. Di Kepri, ada tiga pulau yang namanya Basing. Satu di Tanjungpinang, dua di Kabupaten Lingga.
Dalam arsip Riouw Nomor 73/10, ada daftar nama-nama pulau yang berada dalam Kerajaan Riau Lingga. Dalam 4e afdeeling Bintan en Omliggende Eilanden (Bintan dan pulau-pulau sekitarnya) ada ditulis nama Poeloe Bassing. Pulau ini urutan kelima nama pulau, setelah nama Poeloe Bintang, Tandjong Pihang (pusat residen), Poeloe Menilei, Poeloe Sori, dan Poeloe Sekatap. Ada juga Soengai Dompa, Tandjong Moetjie, Tandjong Balo Babie, Tandjong Batoe Linging, Poeloe Pengingat. Ada puluhan pulau lainnya yang saat ini masuk dalam wilayah Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan.
Potensi Pulau Basing ada pada benteng peninggalan Belanda. Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar, Teguh Hidayat menganalisa keberadaan benteng diketahui peninggalan belanda dilihat dari arsitekturnya. Data arkeologi arsitektur benteng itu sahih peninggalan Belanda. Dibangun sekitar tahun 1700-an atau abad XVIII. Fungsi benteng bukan untuk pertahankan tapi untuk keperluan rekreasi. Benteng itu tempat beristirahat, bersenang-senang dan tak ada kaitannya dengan strategi atau keperluan menghadapi musuh.
Komponen benteng yang bertingkat-tingkat dengan prasarana lain, sepert sumur dan tembok penahan gelombang yang ada di Pulai Basing, dipadukan bentang alam yang indah menjadikan Pulau Basing kesatuan saujana budaya yang saling melengkapi. Saat ini yang diperlukan adalah bagaimana pengembangan Pulau Basing untuk dimanfaatkan. Pengembangan wilayah cagar budaya denan wilayah non cagar budaya berbeda. Ada aturan tentang zonasi. Jangan ingin memajukan wisata, pelestarian cagar budaya terlupakan.
Kajian arkeologis BPCB Batusangkar menegaskan sejauh ini potensi cagar budaya di Pulau Basing hanya berupa benteng peninggalan Belanda itu. Selain itu belum ada penemuan. Perlu kajian arkeologis dan sejarah dari lintas instansi sehingga potensi cagar budaya lain yang ada di Pulau Basing bisa diketahui.
Penetapan Cagar Budaya
Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Dengan nilai penting makanya benda cagar budaya perlu dilindungi dan dilestarikan. Dalam menjaga kelestarian cagar budaya diperlukan langkah , pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencairan, perlindungan, pemeiharaan, pengelolaan,pemanfaatan dan pengawasan cagar budaya.
BCB yang berupa bangunan gedung, kawasan peninggalan sejarah dan purbakala menjadi aset daerah ang dapat diandalkan sebagai identitas daerah. Selain itu juga menjadi aset budaya. Ada beragam nilai pemanfaatan menjadikan yang menjadi harapan bagi daerah otonom untuk peningkatan asli daerah (PAD). Pemanfaatan benda cagar budaya meraih potensi ekonomi sering menimbulkan potensi konflik karena beda kepentingan.
Meski Pemko Tanjungpinang terkesan jor-joran dalam promosi cagar budaya di daerahnya, Tanjungpinang belum memiliki tim ahli cagar budaya. Dampaknya secara luas adalah benda yang berpotensi menjadi cagar budaya di Tanjungpinang tak kunjung ditetapkan. Padahal tanpa rekomendasi tim ahli tersebut, kepala daerah tak bisa menetapkan cagar budaya. Kota Tanjungpinang ketinggalan dari Kabupaten Bintan dan Pemprov Kepri yang telah memiliki tim ahli cagar budaya. Kabupaten Lingga telah sejak 2012 memiliki perda cagar budaya.
Pengaturan penetapan cagar budaya diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2010. Pasal 33 ayat 1 berisi walikota/bupati mengeluarkan penetapan status cagar budaya paling lama 30 hari setelah rekomendasi diterima dari tim ahli cagar budaya. Ayat 2, setelah tercatat dalam register nasional budaya, pemilik cagar budaya berhak memperoleh jaminan hukum berupa: surat keterangan status cagar budaya dan surat keterangan kepemilikan berdasarkan bukti yang sah.
Pemko Tanjungpinang idealnya menyiapkan perangkat berupa legalitas penetapan cagar budaya ini. Segera membentuk tim ahli cagar budaya yang terdiri dari lintas instansi keilmuan. Nantinya bisa mengandeng BPCB Batusangkar, Balai Arkeologi Medan, Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, akademisi dan dari internal Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Tanjungpinang.
Dengan kekayaan cagar budaya Tanjungpinang yang besar, butuh kerendahan hati dan kesadaran dari Pemko Tanjungpinang untuk meletakkan dasar pondasi cagar budaya diwilayahnya. Sulit membayangkan sebuah daerah maju wisata sejarahnya, kalau kesadaran pemdanya dalam penetapan cagar budaya rendah. UU cagar budaya sudah memberikan arahan proses pengelolaan, pelestarian, perlindungan, penyelamatan, termasuk penghapusan cagar budaya.
Dalam pelestarian cagar budaya, Pemko Tanjungpinang dan instansi lain yang berwenang, bersama masyarakat memiliki tanggungjawab dan terlibat dalam pengembangan dan pelestarian cagar budaya. Termasuk halnya dalam pelestarian cagar budaya di Pulau Basing. Jangan menunggu timbul permasalahan, seperti kerusakan cagar budaya baru ribut dan mencari kambing hitam siapa yang salah.
Benteng di Pulau Basing belum ditetapkan jadi cagar budaya. Walikota Tanjungpinang yang berwenang menetapkan atas rekomendasi tim ahli cagar budaya. Nah, tim ahli itu yang belum ada. Sah-sah jika di objek wisata sejarah ditulis “situs cagar budaya” yang ada plang Pemko Tanjngpinang. Namun, tetap saja setiap cagar budaya itu perlu penetapan untuk jaminan hukum.***
*) Staf Balai Pelestaran Nilai Budaya Kepri