Masih Menyimpan Mimpi Produksi Film Kepahlawanan Raja Haji
Tak banyak sineas muda Kepulauan Riau yang mencatat nama Said Galeb Husein. Padahal, di dekade 1980-1990an, Galeb adalah orang kelahiran Tanjungpinang yang sudah mencatatkan namanya di dunia perfilman Indonesia.
Coba ketikkan nama Said Galeb Husein di laman pencari Google. Niscaya akan sulit mendapati segala informasi berbahasa Indonesia yang berkelindan dengan nama tersebut. Tapi, tanggalkan awalan Said. Cukup ketikkan Galeb Husein. Jangan kaget bilamana yang didapati adalah informasi seputar aktivitas sang pemilik nama di jagat teater dan perfilman Indonesia.
Said Galeb Husein adalah nama lengkapnya. Sementara Galeb Husein adalah nama panggungnya. Tak banyak yang tahu bahwa Galeb adalah anak jati Kepulauan Riau. Lahir di Tanjungpinang, 5 Maret 1937, Galeb menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya. Setelah merampungkan pendidikan menengah pertama, Jakarta jadi tujuan selanjutnya. Di ibu kota, Galeb menekuni dunia seni teater di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Jauh-jauh merantau untuk belajar teater?
Begitulah Galeb. Buah jatuh memang tak pernah jauh dari pohonnya. Bapaknya, Said Husein dikenal sebagai seniman masyhur di Tanjungpinang. Darah yang mengalir di nadi Galib adalah darah seni. Sehingga jarak beribu-ribu kilometer ditempuh demi memperkental darah seninya.
Tak sia-sia langkah jauh Galeb. Di tanah rantau, Galeb menemukan laman bermain. Dihentakkannya panggung-panggung teater di Jakarta di dekade 1970-an. Lakon-lakon klasik semisal Monserrat dan Jangan Kirimi Aku Bunga diperankannya dengan apik bersama rekan-rekan di ATNI. Darah seni yang mengalir deras di nadi Galeb menjadi pemicu totalitasnya untuk senantiasa berkarya dan terus berkarya.
Segala yang dicintai tak pernah berkhianat. Barangkali itu laku hidup yang diimani Galeb. Dunia watak peran membawanya ke panggung yang lebih tinggi. Jagat perfilman pun mulai dirambahnya. Selama kurun waktu 1985-1992, Galeb mencatatkan namanya di banyak sampul film. Informasi yang terhimpun, sekurang-kurangnya ada 14 film yang melibatkan Galeb di dalamnya.
Dari 14 film tersebut, pada film Noesa Penida (1988), I Give My All (1992) dan Kuberikan Segalanya (1992), Galeb mengambil bagian sebagai sutradara. Selebihnya, Galeb menjadi pemeran dalam film-film yang disutradarai Arifin C. Noer, Teguh Karya, Torro Margens, hingga Sophan Sophiaan.
Noesa Penida (1988) melambungkan nama Galeb sebagai sineas kenamaan di Indonesia. Film yang naskahnya ditulis oleh Asrul Sani dan diperankan oleh Ray Sahetapy, Ida Ayu Diastini dan Gusti Randa itu menyabet tiga Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1989 setelah menembus 11 nominasi. Pada hajatan itu, Noesa Penida dinilai sebagai film dengan Tata Musik Terbaik yang digarap Idris Sardi, Pemeran Pendukung Pria Terbaik oleh Pietrajaya Burnama dan Juru Kamera/Tata Sinematografi Terbaik di bawah kendali W.A. Cokrowardoyo.

Sejarawan Kepulauan Riau, Aswandi Syahri bahkan tak segan menyebut Galeb sebagai orang Tanjungpinang pertama yang menceburkan diri dalam dunia perfilman. “Dia orang Tanjungpinang pertama yang sekolah di ATNI sekaligus menginspirasi agar seniman Tanjungpinang juga berkecimpung di dunia film,” sebut Aswandi.
Melihat senarai prestasi dari film besutan Galeb Husein, terlalu naif bila kemudian sineas-sineas muda Kepulauan Riau mengesampingkan namanya begitu saja.
Tentang Mimpi dan Permintaan Pamungkas
Galeb Husein menutup hidupnya di usia 78 tahun setelah sempat mengalami serangan jantung. Di akhir-akhir hayatnya, Abdulrahman menuturkan, abangnya bukan tipikal manusia cengeng yang gemar mengeluh lantaran sakit yang dideranya. Bahkan cenderung tegar dan keras. Kendati menanggung sakit di tubuhnya, Galeb juga tak pernah mendiamkan dirinya di rumahnya di Kemanggisan Hilir, Jakarta Barat.
Walaupun raga Galeb jauh dari tanah kelahirannya, bukan berarti tak ada olah pikir dan rasa di jiwa Galeb tentang Tanjungpinang. Pertumbuhan kesenian di daerah masih kerap menjadi bahan perbincangannya. Yang bagi Galeb, Kepulauan Riau punya sejuta potensi untuk diekplorasi menjadi sebuah karya film.
Tawaran-tawaran untuk kembali aktif ke dunia perfilman yang telah melambungkan namanya masih sering berdatangan. Tapi, keluarga memang tak memperkenankan Galeb untuk memforsir tenaganya. Hal itu ditempuh pun demi pemulihan kesehatannya. Karena di sela-sela itu, Galeb juga berulang kali sudah cuci darah untuk memperbaiki kinerja ginjalnya yang terus memburuk.
Untuk mengisi waktu di rumahnya, Galeb pun mendirikan Yayasan An-Nahal 17, sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial. “Mencerdaskan anak-anak daerah yang mau sekolah dengan turut mencarikan donatur. Itu kesibukan almarhum di akhir usianya,” tutur Abdulrahman.
Soal etos kerja Galeb di bidang perfilman mendapat pengakuan dari sineas Gunawan Paggaru, yang pernah terlibat dalam produksi film Ibunda (1986) yang disutradarai Teguh Karya dan dibintangi Galeb, Tuti Indra Malaon, Niniek L Karim, Alex Komang dan Ayu Azhari. “Beliau tidak pernah telat dan selalu dekat dengan semua orang,” kenang Gunawan.
Empat bulan yang lalu, sambung Gunawan, Galeb masih menyempatkan hadir di Kongres Karyawan Film dan Televisi (KFT) Indonesia. Bukan sekadar menghadiri undangan. Di gawai sepenting ini, Galeb didapuk sebagai pemimpin sidang. Padahal, saat itu kesehatan Galeb sedang tidak dalam kondisi prima. Tapi seniman mana yang mau menyerah dengan keadaan pun kesehatan, ketika masuk dalam gelanggang yang dicintainya. “Dan beliau punya visi-misi yang baik terhadap perkembangan film Indonesia ke depannya. Beliau ungin membangun perfilman lewat daerah dengan mendirikan kantong-kantong sineas di daerah,” ungkap Gunawan.
Sebagaimana seniman besar pada umumnya, Galeb juga punya mimpi yang masih dihidupinya dalam kepala hingga ajal menjemputnya. Ketua Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau, Husnizar Hood mengatakan, Galeb sudah pernah menulis naskah film biografis sosok Raja Haji Fisabilillah (RHF). “Ide itu sudah dilontarkannya bahkan sejak sebelum RHF ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 11 Agustus 1997,” kenang Husnizar.
Tersebab situasi ekonomi pemerintah daerah Kepulauan Riau yang saat itu masih tergabung dalam Provinsi Riau tak memungkinkan untuk meujud-nyatakan mimpi Galeb, hasrat menampilkan kisah heroik melawan Belanda di Teluk Ketapang pada tahun 1784 dalam sebuah film, tetap Galeb rawat dalam kepalanya. “Setiap berdiskusi, almarhum tetap berapi-api menceritakan mimpinya,” ujar Husnizar, yang mengaku mendapat banyak masukan dari Galeb ketika hendak memproduksi film Dongeng Pasir (2003).
Dalam setiap perbincangan mengenai pengembangan film daerah, api di mata Galeb menyala-nyala. Husnizar tak menampik itu. Terlebih, di tanah kelahirannya, Galeb merasa Provinsi Kepulauan Riau diberkahi dengan khazanah-khazanah yang bisa dibesut menjadi film-film berkualitas dan menjual. “Inovasi. Ini yang selalu dipesankan almarhum ketika berdiskusi tentang produksi film. Bahwasanya dari waktu ke waktu harus ada inovasi alias pembaharuan,” tutur Husnizar.
Kini, jasad Galeb sudah beristirahat tenang di pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat. “Kalau aku meninggal di Tanjungpinang, kuburkan di Tanjungpinang. Tapi, kalau di Jakarta, kuburkan aku di tempat yang mudah dikunjungi orang,” hanya begitu pesan terakhir Galeb kepada ahli warisnya.
Lantas bagaimana dengan mimpi-mimpi besarnya? Mimpi Galeb mengenai pengembangan film di melalui kantong-kantong sineas di daerah sudah dilantangkannya. Begitu pula mimpi menampilkan peperangan RHF di Teluk Malaka pada sebuah layar kaca sudah digaungkannya. Mimpi-mimpi yang tetap mengawang-awang di langit, menanti pemeluk baru untuk meujudnyatakannya. (jm)