Komplek Benteng Prince Hendrik yang kini berada di komplek RSAL dr Midiyato Tanjungpinang. F/Yusnadi Batam Pos

(Berkunjung ke Fort Kroonprins Hendrik Tanjungpinang)

ADA dua mercu tanda atau land-mark Tanjungpinang yang selalu mencuri perhatian setiap mereka yang datang mengunjungi kota ini pada pertengahan abad ke-19.

Pertama, tentu saja kediaman Resident Riouw (kini, Gedung Daerah) dengan gaya arsitektur Roman-Doric campuran Romawi dan Yunani yang kini tidak berbekas lagi.

Kedua, sebuah benteng di atas puncak  Bukit Tanjungpinang, persis di belakang bekas kompleks kediaman Resident Riouw itu. Kini, benteng yang sebagian bentuk aslinya masih bertahan itu menjadi bagian dari kompleks Rumah Sakit Angkatan Laut di Tanjungpinang.

Nama benteng itu sangat indah. Mungkin paling gagah di antara nama benteng-benteng Vereging Oost Indische Compagnie (VOC) yang dibangun antara abad ke-18 hingga dekade kedua abad ke-19. Orang-orang Belanda di Tanjungpinang pada masa lalu menyebutnya Fort Kroonprins.

Dengan makna yang sama, orang Inggris dan Selandia Baru di Singapura yang datang berkunjung ke Tanjungpinang – yang mereka sebut Rhio – pada abad ke-19, menyebutnya Fort Crown Prince.

Bila diterjemahkan ke bahasa Melayu, satu nama dalam dua bahasa itu terdengar  gagah: Benteng Putra Mahkota. Namun, entah mengapa Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batu Sangkar serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang menyebutnya Prins Hendrik Fort?

Sebagai sebuah situs sejarah pada masa kini, sulit dibantah bahwa benteng ini adalah situs peninggalan Belanda, tepatnya berasal dari zaman VOC. Dan bila dilihat model kemiringan sudut dinding bastionnya, dibangun dengan gaya benteng Belanda abad ke-18.

Kendati demikian, dan ini sangat disayangkan, tidak banyak yang sadar (termasuk Pemerintah Kota Tanjungpinang) bahwa asal mulanya benteng itu adalah benteng Raja Haji Fisabilillah yang telah ditahbiskan sebagai pahlawan nasional itu.

Tak percaya?

Cobalah simak halaman 36 buku Panduan Benda Cagar Budaya Kota Tanjungpinang, yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang tahun 2005. Anda pasti tak akan menemukan penjelasan bahwa benteng VOC-Belanda, yang kini telah menjadi Rumah Sakit Angkatan Laut, itu dibangun di atas tapak benteng Raja Haji Fisbilillah pernah berdiri!

Baca Juga: Kekaguman Kepala RSAL Tanjungpinang

Pada mulanya ada dua buah benteng di atas Bukit Tanjungpinang. Dibangun sebagai bagian dari sistem perbentengan atau kubu pertahanan Raja Haji Fisabilillah selama Perang Riau di Tanjungpinang (1782 – 1785). Bersama sebuah benteng besar di kaki Bukit Tajungpinang (yang kemudian dikenal sebagai Tanjung Buntung), serta sebuah benteng lainnya di sisi Timur dan di ujung Selatan Pulau Penyengat, di Pulau Senggarang, Pulau Bayan, dan benteng kecil di Teluk Keriting, maka benteng di atas Bukit Tanjungpinang ini berfungsi menjaga pintu masuk ke Kuala Riau: “pintu utama” menuju pusat pemerintahan kerajaan Johor yang baharu di Riau Lama.

Sebagaimana lazimnya benteng “Melayu” pada masa itu, benteng yang dibangun oleh Raja Haji di bukit Tanjungpinang ini adalah tipikal benteng tanah. Struktur utamanya adalah parit yang digali dan diperkuat dengan barisan pancang-pancang batang kelapa dan batang kayu yang diisi tanah.

Dua lukisan yang dibuat tahun 1826 oleh Jan Cornelis Baane, salah seorang opsir VOC, yang ikut dalam ekspedisi menyerang pertahanan Raja Haji di Riau (baca: Tanjungpinang) pada 1782-1784, merekam posisi benteng-benteng di Pulau Penyengat dan di Bukit Tanjungpinang dalam mendukung perang laut antara Yang Dipertuan Muda Riau Raja Haji dan VOC ketika itu. Pada setiap benteng yang berpagar pancang kayu dan batang kelapa itu, terlihat jelas berkibar “bendera perang” Raja Haji atau “bendara Bugis” dengan simbol berupa dua buah pedang Zulfakar dalam posisi bersilang.

Pemandangan tiga benteng Raja Haji Fisabilillah di puncak dan di kaki bukit Tanjungpinang, tahun 1784 karya J.C. Baane. Pada tapak benteng di puncak bukit itulah VOC-Belanda mendirikan Fort Kronnprins, Benteng Putra Mahkota, pada tahun 1824. (sumber: aswandi-J.C. Baane, hal: 124)

Dalam sejarah Tanjungpinang, benteng Raja Haji yang terletak di atas Bukit Tanjungpinang ini amatlah penting artinya. Mengapa? Benteng inilah yang menentukan kemenangan Raja Haji.

Dari sarang meriam di benteng ini memuntahkan peluru yang memungkinkan tembakan dari benteng kecil di Teluk Keriting dan dengan mudahnya meledakkaan kapal bendera VOC, Malaka’s Welvaren, pada 6 Januari 1784.

Setelah Raja Haji gugur di medan perang Teluk Ketapang, Melaka, pada 18 Juni 1784, benteng di atas Bukit Tanjungpinang dan di Pulau Bayan diambil alih VOC-Belanda dibawah pimpinan Mayor Hamell dalam sebuah ekspedisi kedua ke Riau sekitar November 1784.

Belanda kemudian memperbaikinya. Memperkuatya dengan meriam pemburas dan masih dalam formasi sebuah benteng cara tanah “Melayu”. Letnan Infantri Jacob Christian Vetter, Insinyur Richard, dan Letnan Laut Christian Martens ditinggalkan menjaga benteng tersebut. Sejak saat itu, “bendera Bugis” bertukar dengan bendera Belanda.

Enam tahun kemudian, di bawah pimpinan David Ruhde, Resident Riouw yang pertama, VOC kembali memperkuat benteng ini dengan menambahkan persenjataan dan empat buah bastion (sarang meriam) ala benteng Belanda gaya abad ke-18. Selain itu, ditambah pula sebuah sarang meriam berbentuk setengah lingkaran di sisi sebelah utaranya.

Dalam sebuah suratnya kepada Gubernur Melaka tanggal 19 Januari 1790, David Ruhde melaporkan kekuatan artileri benteng yang telah manjadi sarang meriam VOC itu. Pada empat bastion dan sebuah sarang meriam berbentuk setengah lingkaran dipasang 18 meriam besar yang dapat menyapu pertahanan musuh di Pulau Penyengat, Kampung Cina di Senggarang, Bukit Stoppelaar, dan Kuala Riau yang terletak antara Tanjungpinang dan Pulau Penyengat.

Tiga puluh enam tahun kemudian, tepatnya tahun 1820, sekali lagi Belanda memperkokoh benteng di atas bukit ini. Mengganti benteng parit tanah ala “Melayu” menjadi benteng Belanda gaya abad ke-18 yang permanen. Ia menjadi satu-satunya benteng Raja Haji yang diambil alih Belanda dan terus dipertahankan fungsinya sebagai “benteng” dengan berbagai fungsi menurut semangat zamannya.

Tak tanggung-tangung, arsiteknya, Letnan Zeni Schonermark, mendatangkan berkapal-kapal bongkahan batu besar berwarna merah yang berasal dari batu-batu benteng benteng Kota Melaka zaman Portugis yang di runtuhkan oleh VOC-Belanda.

Seluruh struktur bangunan benteng yang dibangun dengan batu-batu benteng kota Melaka ini selesai pada tahun 1824, dan diberi nama Fort Kroonprins atau Benteng Putra Mahmota: sebagian besar bentuk aslinya masih dapat kita lihat  hingga kini.

Fort Kroonprins inilah yang dipuji-puji oleh orang asing yang mengunjungi Tanjungpinang pada abad ke-19. Benteng inilah yang pernah dipuji-puji oleh seorang juru ukur asal Selandia Baru bernama J.T. Thomson dan Letnan Laut Belanda bernama Bruynskop dalam catatan yang dibuatnya setelah mengunjungi Kota Tanjungpinang dan dimpublikasikan tahun 1847 dan 1853.

Namun bagaimanapun, seteleh diambil alih Belanda, lalu dibangun menurut struktur benteng Eropa yang kokoh dan dilekatkan dengan nama yang megah, benteng VOC yang berdiri di tapak benteng Raja Haji itu tak lagi pernah berfungsi layaknya sebuah benteng yang tangguh dan membanggakan dalam peperangan seperti pada masa Raja Haji Fisabilillah dan Raja Ali Marhum Pulau Bayan yang melanjutkan perlawanannya.

Opsir Belanda yang berjaga di benteng ini pernah mempunyai tugas sebagai pengerek bendera yang berfungsi sebagai penanda adanya kapal yang akan memasuki labuhan Tanjungpinang. Dari kejauhan, bendera penanda dapat dilihat oleh penduduk kota Tanjungpinang. Bahkan tembakan meriam yang dilepaskan dari dari benteng ini hanyalah berupa “tembakan seremonial” penanda keberangkatan dan ketibaan Resident, Sultan Lingga, atau Yang Dipertuan Muda Riau saja.

Bahkan, pada 9 september 1889, surat kabar Strait Times Weekly yang terbit di Singapura pernah melaporkan, tembakan meriam pada pukul 5 pagi dari Benteng itu (5 o’lock gun from the fort of Rhio) hanya berfungsi sebagai penanda waktu berakhir pesta dansa (ball) di Istana Keratun sempena memeriahkan penganugerahan bintang Singa Nederland dari Raja Belanda untuk Yang Dipertuan Muda Riau di Pulau Penyengat.***

Artikel SebelumDibangun dengan Batu dari Melaka
Artikel BerikutMakna di Balik Warna Topeng Makyong
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan