Dinding yang tersisa di situs Istana Kota Rebah Tanjungpinang. foto: dok. jantungmelayu

NAMA Kota Rebah (dan juga nama Kota Piring yang berhampiran denganya) tampaknya muncul kemudian. Jauh setelah kawasan pusat pemerintah Kerajaaan Johor yang baru, yang ditubuhkan di Negeri Riau atau Riau Lama dan kini menjadi bagian dari wilayah Kota Tanjungpinang, ditinggalkan karena kepindahan Sultan Mahmud ke Lingga.

Nama itu tidak tercatat dalam penjelasan Raja Ali Haji tentang kawasan-kawasan istana tempat-tempat penting di Hulu Riau yang dicatat oleh Raja Ali Haji dan ayahnya dalam kitab Tuhfat Al-Nafis.

Berdasarkan cara orang Melayu menyebut namanya, Eliza Netscher dalam buku Nederlanders in Djohor en Siak yang terbit tahun 1870, menyebut situs itu sebagai Kota Lama, sebegai sandingan “Kota Baru” yang kemudian didirikan di Tanjung Unggat, Penyengat dll.

Ditilik dari cara orang Melayu melekat nama pada suatu tempat, maka nama Kota Rebah tentulah erat kaitannya dengan fenomena atau gejala yang terlihat di situs itu. Apakah mungkin raja yang membangun kawasan situs itu melekatkan nama “Kota Rebah” yang bermakna roboh, kepada istana tempat ia bersemayam?

Sebagai nama yang muncul kemudian, tentulah sebutan “Kota Rebah” untuk kawasan situs itu muncul tanpa sengaja, lalu berkembangan menjadi sebutan umum yang kekal hingga kini, dan ada kaitannya dengan bagian dari kota (pagar tembok) kompleks istana itu yang rebah secara alamiah karena dimakan usia dan lama ditinggalkan tanpa diurus. Dan fakta arkeologis di situs itu memang demikian adanya. Ada bagian pagar atau kota kompleks situs itu yang rebah atau roboh, dan bagian yang roboh itu masih dapat dilihat hingga kini.

Sejarah penamaan Kota Rebah mungkin dapat disandingkan dengan kasus ketika nama “Kota Raja” dimunculkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tanjungpinang sebagai “nama baru” situs itu untuk mendapingi nama Kota Rebah yang “mungkin” kurang sedap kedengarannya. Dengan menyebutnya “Kota Raja” tentu kesannya akan lain karena situs itu memang bekas lokasi istana raja.

Tentang siapa yang pertama kali menggunakan nama Kota Rebah itu tak penting. Yang jadi pertanyaan, dan meskipun sulit untuk menjawabnya adalah apakah nama kompleks situs itu sebelum kemudian dikenal sebegai Kota Lama, Kota Rebah, dan Kota Raja? Sipa yang membangunnya? Selanjutnya, apakah benar situs itu bekas kompleks istana Sultan Mahmud Ri’ayatsyah? Jika bukan, di manakah letak situs istana Sultan Mahmud Ri’ayatsyah selama masih bersemayam di Hulu Riau, Tanjungpinang?

Baca Juga: Jalan Panjang Menjadikan Sultan Mahmud sebagai Pahlawan Nasional

Sebuah manuskrip peta figuratif (figuratieve kaart) kawasan Hulu Riau di Pulau Bintan (Tanjungpinang) koleksi perpustakaan Universitas Leiden yang dibuat sekitar tahun 1880-an menandai kawasan bekas istana (lengkap dengan bentuk denahnya) yang letaknya di tepi sungai (tepatnya teluk) diaman terletak Riau Lama atau Hulu Riau ini sebagai Oud Riouw of  Pangkalangrama (Riau Lama atau Pangkalanrama).

Deskripsi Raja Ali Haji tentang istana Sultan Mahmud Ri’ayatsyah yang dibangun oleh Yamtuan Muda Raja Haji di Sungai Galang Besar pada tahun 1778 dalam Tuhfat al-Nafis naskah Terengganu. (foto: aswandi)

Letak Oud Riouw of Pangkalangrama itu berdepan-depan depang muara Sj. Tjarrang (Sungai Carang) yang sangat terkenal dalam kisah pembukaan sebuah negeri baru di Pulau Bintan oleh Laksamana Tun Abdul Jamil yang kemudian terkenal dengan nama Riau.

Peta figuratif itu sangat menarik, karena menjadi sumber pertama yang menunjukkan dimana titik lokasi kawasan yang disebut Riau atau Riouw Lama itu di Pulau Bintan. Dan kawasan itu, tak dapat diragukan lagi adalah situs sejarah yang kini kita kenal sebagai Kota Rebah, Kota Lama, dan Kota Raja.

Ketika mengunjungi kawasan Riau Lama sekitar tahun 1845 (jadi, jauh setelah kawsan itu ditinggalkan dan bersemak-belukar) Letnan Angkatan Laut Belanda bernama C.W.M. van de Velde mencatat tentang situs ini. Dalam laporan laporan kunjungannya (disertai dengan lukisan pemandangan Pulau Penyengat dan Tanjungpinang) yang diberi judul Gezichten uit Neerlands Indie naar de Natuur, van de Velde menyebut Pangkalanrama ini terletak di Riau Lama. Sebuah tempat yang strategis di hulu sungai (maksudnya Hulu Riau). “Secara politik, tempat ini [dulu] sangat penting karena ia adalah tempat kedudukan kerajaan sebelumnya”.

Persoalannya sekarang, siapakah yang membangun kompleks istana di kawasan Kota Rebah yang dulu dikenal sebagai Riouw Lama atau Pangkalanrama itu? Benarkah kompleks istana itu bekas istana Sultan Mahmud Ri’ayat Syah? Kalau bukan dimana lokasi istana Sultan Mahmud Ri’ayatsyah ketika masih bersemayam di Hulu Riau atau Riau Lama?

Tampaknya, Kota Rebah adalah situs tempat istana pusat pemerintahan Johor di Riau yang silih berganti dibangun. Ada “berlapis lapis” tapak istana di situ. Paling tidak telah mulai dibangun sejak Laksamana Tun Abdul Jamil, Sultan Ibrahim, Sultan Abdul Jalil Raja Kecik, Sultan Sulaiman, dll. “Tempat ini [dulu] sangat penting karena ia adalah tempat kedudukan kerajaan sebelumnya,” tulis van de Velde tahun 1845.

Raja Ali Haji juga mencatat arti penting kawasan Pangkalanrama yang kini kita kenal sebagai Kota Rebah. Di tapak kawasan kompleks istana Riouw Lama inilah Daeng Kamboja mendirikan istana baru ketika pelabuhan dan perdagangan Negeri Riau mencapai pucak kegemilangan pada zaman pemerintahannya. “…Maka amanlah Riau pada masa itu, serta banyaklah mendapat hasil-hasil negeri adanya. Syahdan Yang Dipertuan Muda (Daeng Kamboja) pun membuatlah istana di Pangkalanrama. Raja Haji jadi kelana memerintahkan kerejaan di bawah Yang Dipertuan Muda…” tulis Raja Ali Haji dalam Tuhfat Al-Nafis.

Lantas di mana lokasi istana Sultan Mahmud Ri’ayatsyah? Kembali kita simak Tuhfat Al Nafis. Menurut Raja Ali Haji, Negeri Riau mencapai puncak kegemilangannya yang kedua ketika Raja Haji menggantikan Daeng Kamboja. Hal ini ditandai dengan pembangunan dua istana yang megah dan mewah.

Untuk dirinya, Raja Haji membangun istana dengan kota atau pagarnya kompleks istananya betatahkan (dihiasi) tempelan pinggan dan piring dari Negeri Cina, pada sebuah pulau bernama Biram Dewa, yang letaknya di sebarang Pangkalanrama pada tahun 1778.

Baca Juga: Tentang Arti Rebah

Bersamaan dengan itu, Raja Haji juga membangun sebuah istana yang tak kalah megahnya dan mewahnya untuk Sultan Mahmud Ri’ayatsyah yang letaknya di tebing salah satu dari anak sungai bernama Sungai Galang Besar (yang letaknya berhampiran dengan Sungai Galang Kecil). Muara kedua sungai ini menghadap salah satu sisi Pulau Biram Dewa, tempat istana Raja Raja Haji yang melindunginya. Dalam peta figuratif yang menggambarkan kawasan situs di Hulu Riau tahun 1880-an, tampak jelas lokasi istana itu berada muara Sungai Galang Besar (Gallang Bezaar) yang berdepan-depan dengan dengan Pulau Biram Dewa.

Tentang istana yang dibangun oleh Raja Haji untuk Sultan Mahmud Ri’ayatsyah itu, Raja Ali Haji mencatatnya sebagai berikut:

“…kemudian [Raja Haji] memperbuat sebuah istana lagi di Sungai Galang Besar. Sangat juga indah2 perbuatan. Yaitu istana paduka anak baginda yaitu Sultan Mahmud [Ri’ayatsyah]. Dan perhiasanistana Yang Dipertuan Besar [Sultan Mahmud Ri’ayatsyah] dan Yang Dipertuan Muda [Raja Haji] itu daripada emas dan perak. Hingga rantai setolobnya [lampu dinding] dengan rantai perak jua. Dan seperti talam cepernya kebanyakan diperbuat orang di Negeri Cina. Dan seperti tepak dan balang air mawar daripada emas diperbuat di Negeri Benila [Manila] yang berkarang bertatah intan dan yang bersordi. Dan adapun pinggan mangkuk dan cawan qahwa  teh kebanyakan diperbuatkan di Negeri Cina”.  (catatan dalam [] adalah dari saya).

Di manakah kini lokasi tapak istana itu tersuruk, itulah yang sepatutnnya juga dicari sempena menjayakan Sultan Mahmud Ri’ayatsyah sebagai Pahlawan Nasional.***

Artikel SebelumPerkumpulan Saudagar Melayu Perluas Pasar
Artikel BerikutAda Banyak Nama sebelum Dompak
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan