
OLEH: ABDUL MALIK
FESTIVAL Bahari Kepulauan Riau 2017 menampilkan pelbagai rupa pesona. Tentu saja kesemuanya menarik. Di antaranya yang mengundang perhatian banyak orang adalah parade perahu dan kapal hias dengan pelbagai bentuk, corak, dan warna. Medan pertunjukan yang digunakan adalah Sungai Carang di Kota Tanjungpinang, ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Ada apa dengan Sungai Carang?
Sungai Johor, khasnya Bandar Batu Sawar, di Johor Lama mandi darah. Peristiwa itu terjadi sekira 1673 ketika bala tentara Kerajaan Jambi menyerang pusat Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga kala itu. Akibat serangan Jambi, pusat Kesultanan Melayu terbesar setelah robohnya Kesultanan Melaka itu ranap alias punah-ranah. Apa pun alasannya, setelah Melaka, Kesultanan Johor-Riau atau Riau-Johor memang senantiasa menjadi incaran para musuh karena kemajuan dan kesejahteraannya. Malangnya, para penyerang itu tak pernah hendak belajar dan mengamati punca kegemilangannya secara seksama.
Apakah kunci kejayaan Kesultanan Melayu itu? Kesemuanya tak datang menggolek begitu saja walau kedudukannya yang strategis memang merupakan salah satu faktor yang menguntungkan. Akan tetapi, faktor yang paling menentukan adalah para pemimpinnya dengan kecerdasan, dedikasi, dan inovasi yang luar biasa telah mendarmabaktikan seluruh kemampuan mereka untuk memajukan negeri. Itulah sebabnya, kemajuannya membuat banyak pihak menaruh iri sehingga menerbit syahwat untuk menguasai. Jadi, selera orang hendak menguasai negeri nan elok lagi murah rezeki ini bukanlah cerita yang baru. Ianya telah terjadi semenjak dahulu, bahkan berkali-kali!
Pascaserangan Jambi, Batu Sawar tak aman lagi sebagai pusat pemerintahan. Sadar akan kenyataan itu, Sultan Abdul Jalil Syah III, penguasa Johor-Riau kala itu, menitahkan Laksemana Tun Abdul Jamil membuka kawasan baru di Sungai Carang, Hulu Riau pada 1673. Sementara itu, Sultan mengendalikan pentadbiran negeri dari Pahang.
Kecanggihan pemikiran apakah yang tersirat dari strategi Sultan Abdul Jalil yang visioner itu? Kawasan baru itu, Sungai Carang, segera akan dikembalikan menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Melayu yang ternama untuk menjulangkan kembali kejayaan tamadun Melayu setelah robohnya Melaka. Bukankah Pulau Bintan pernah menjadi pusat pemerintahan negara Melayu sebelum dipindahkan ke Singapura sebagai bandar baru? Dengan dibukanya Sungai Carang, tak diragukan lagi bahwa kawasan Tanjungpinang itu kelak dapat menggantikan posisi Johor Lama menjadi pusat pemerintahan kerajaan.
Benarlah, pada 1678 Sungai Carang atau Hulu Riau menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Johor setelah pusat pemerintahan dipindahkan dari Batu Sawar ke Pulau Riau oleh Sultan Ibrahim Syah, putra sekaligus penerus Sultan Abdul Jalil Syah III yang mangkat di Pahang pada 22 November 1677. Pulau Riau adalah pulau kecil yang dipisahkan oleh Sungai Carang, Sungai Terusan, Sungai Ladi, dan Sungai Timun dengan tanah besar Pulau Bintan. Kota itu juga biasa disebut Riau Lama, Kota Raja, atau Kota Lama. Penamaan Kota Raja dilakukan sehubungan dengan dijadikannya sebagai tempat kedudukan Sultan Riau-Johor, yang kala itu dijabat oleh Sultan Ibrahim Syah.
Lebih kurang setahun kemudian, Juni 1679, Sultan Ibrahim menitahkan Laksemana Tun Abdul Jamil untuk menghentikan permusuhan Kerajaan Jambi terhadap Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Dengan menjunjung titah, Laksemana Tun Abdul Jamil yang gagah-berani itu mengerahkan bala tentara kerajaan berkekuatan 300 kapal perang untuk menyerang Jambi. Dalam peperangan itu Kerajaan Jambi dapat ditaklukkan, lalu minta berdamai, dan bersamaan dengan itu Jambi menyatakan diri takluk di bawah kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang berpusat di Sungai Carang, Hulu Riau, Tanjungpinang sekarang.
Dari bumi bertuah yang berpusat di Sungai Carang itu, Sultan Ibrahim Syah dan Laksemana Tun Abdul Jamil telah berjaya secara gemilang mengangkat kembali marwah negara dan bangsanya sehingga musuh mengaku takluk kepada kesultanan yang berdaulat itu. Sejarah kejayaan awal pun tercatatlah sudah. Itu merupakan alamat baik bagi tapak sebuah kesultanan besar yang akan tumbuh kemudian. Dan, memang dari situlah sinar gemala mestika tamadun Melayu mulai memancarkan sinarnya yang gemilang.
Berasaskan kebijakan yang digagas dari Sungai Carang, pembangunan kembali Batu Sawar di Johor Lama mulai digesa. Tiga tahun setelah berkibarnya pusat pemerintahan baru atau delapan tahun pascaserangan Jambi, 1681, Batu Sawar berjaya dibangun kembali. Sejak itu, kegiatan perdagangan bergairah lagi di bekas pusat kerajaan itu.
Empat belas tahun setelah dibangun, misi Belanda di bawah pimpinan William Velentyn berkunjung ke Riau Lama, yakni pada 2 Mei 1687. Mereka mendapati Riau Lama telah berkembang menjadi bandar perdagangan yang sangat maju dan ramai. Orang-orang dari pelbagai penjuru dunia datang ke bandar perdagangan itu sehingga mereka terkagum-kagum akan kepiawaian orang Melayu Riau-Johor dalam mengelola pelabuhan, laut, dan perdagangan. Pada 1709 Sultan Johor-Riau Abdul Jalil Riayat Syah memindahkan kembali pusat pemerintahan kesultanan ke Sungai Carang, Hulu Riau, dalam suatu perpindahan besar-besaran.
Lebih kurang seratus tahun sejak dibangun Sungai Carang sebagai pusat pemerintahan, tepatnya 1778, Sultan Mahmud Riayat Syah bersama Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji mendirikan kota lagi di Pulau Biram Dewa yang terletak di seberang Sungai Riau. Kota baru itu dijadikan tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda. Kota yang baru itu dikenal juga dengan nama Kota Baru atau Kota Piring.
Berkenaan dengan hal di atas, ada baiknya kita ikuti penuturan Raja Ahmad Engku Haji Tua dan Raja Ali Haji rahimahullah di dalam karya cendekiawan berdua beranak itu, yakni Tuhfat al-Nafis, tentang peristiwa bersejarah tersebut.
“Maka Yang Dipertuan Muda pun berbuatlah istana di Pulau Biram Dewa serta dengan kotanya yang indah-indah, yaitu kota batu bertatah dengan pinggan dan piring sangatlah indahnya, dan satu pula balai dengan dindingnya cermin, adalah tiang kaki balai itu bersalut dengan kaki pahar tembaga dan kota itu sebelah atasnya berkisi-kisikan buncung, adapun kota itu apabila kena matahari memancarlah cahayanya.”
“Kemudian diperbuatnya satu istana pula di Sungai Galang Besar sangat juga indah-indah perbuatannya, iaitu istana paduka anakanda Baginda Sultan Mahmud. Dan perhiasan istana Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda itu daripada emas dan perak hingga rantai-rantai setelobnya dengan rantai perak jua dan seperti talam dan ceper kebanyakan diperbuat di Negeri Cina dan seperti tepak dan baling air mawar daripada emas dan perak diperbuat di Negeri Benila yang berkarang bertatahkan intan dan yang berserodi. Dan adapun pinggan mangkuk dan cawan kahwa dan cawan kebanyakan diperbuat di Negeri Cina serta tersurat dengan air emas pada pantat cawan itu tersebut nama Pulau Biram Dewa atau Malim Dewa (Matheson Hooker, 1991:380—388).
Kota yang dibangun oleh Raja Haji Fisabilillah sebagai tempat kedudukan beliau sebagai Yang Dipertuan Muda IV Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang itulah yang dikenal sebagai Kota Piring. Disebut demikian karena pagar tembok istananya terbuat dari pinggan dan piring yang sangat indah. Dalam pada itu, istana Sultan Mahmud Riayat Syah dibangun di Kota Lama. Dengan mencermati perian Tuhfat al-Nafis tentang betapa megahnya istana-istana yang yang dibangun itu, maklumlah kita betapa makmurnya Kesultanan Riau-Johor kala itu.
Pada 1778 perdagangan di kerajaan itu semakin maju pesat. Oleh sebab itu, rakyat hidup sejahtera dan negara menjadi makmur. Aktivitas kehidupan beragama Islam berkembang dengan subur. Rakyat dan pemerintah betul-betul mengejar kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Keperluan hidup di dunia dipenuhi dan pada saat yang sama bekal untuk kehidupan akhirat terus ditambah dari hari ke hari.
Setahun kemudian, 1779, lahirlah putra Raja Haji yang diberi nama Raja Ahmad ibni Raja Haji. Putra Yang Dipertuan Muda IV ini nantinya memainkan peran yang sangat penting bagi perkembangan tradisi intelektual dan kepengarangan di Kesultanan Riau-Lingga. Berawal dari beliau, dunia kepengarangan di kawasan ini tumbuh merecup dan sangat membanggakan kita hingga setakat ini.
Raja Haji juga memiliki seorang putri yang diberi nama Raja Hamidah. Beliau bukanlah perempuan biasa. Rupanya sampailah jodohnya, beliau disunting oleh Sultan Mahmud Riayat Syah, Yang Dipertuan Besar Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1761—1812). Maharnya tak tanggung-tanggung, sebuah pulau kecil di depan Tanjungpinang, yang kelak menjadi pusat pembinaan dan pengembangan tamadun Melayu, yang seri kegemilangannya memancarkan cahaya sampai jauh, ke seluruh nusantara. Pulau Pengengat Inderasakti, Pulau Maskawin, untuk Engku Puteri Raja Hamidah ibni Raja Haji Fisabilillah dari suami beliau Sultan Mahmud Syah III.
Setelah dipindahkan ke Sungai Carang atau Hulu Riau, pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang maju pesat, terutama sebagai bandar perdagangan. Kemajuan itu diikuti dengan pengembangan tamadun Melayu yang memungkinkan kawasan itu dikenal luas oleh orang-orang berbilang bangsa, Timur dan Barat. Akan tetapi, kesemuanya itu—seperti disebutkan di muka—tak datang menggolek atau tiba-tiba begitu saja. Ianya diperjuangkan dengan bersungguh-sungguh sampai mengorbankan nyawa oleh para pemimpin dan rakyatnya. Perjuangan itu, terutama, melawan kuasa asing yang senantiasa berupaya untuk merebut dan mencerobohinya, khususnya VOC-Belanda.
Laksemana Tun Abdul Jamil, selain sebagai pendiri bandar yang berpusat di Sungai Carang, juga dikenal sebagai musuh yang paling ditakuti VOC-Belanda. Pembesar Melayu yang kemudian terkenal dengan gelar Paduka Raja itu menentang keras perdagangan monopoli yang hendak dipaksakan oleh VOC-Belanda dengan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Dengan kerja keras dan strategi perjuangannya, Tun Abdul Jamil berhasil memutus dan menghancurkan perdagangan monopoli Belanda di Selat Melaka.
Dalam melawan Belanda, Paduka Raja Tun Abdul Jamil menghimpun kekuatan yang terdiri atas 6.500 balatentara. Perinciannya adalah 700 orang dari Pahang, 2.000 orang dari Tanjungpinang dan sekitarnya (dulu disebut Riau), 500 orang dari Lingga, 400 orang dari Bengkalis, 400 orang dari sepanjang Sungai Siak, dan Orang Laut. Dalam perang terakhirnya melawan musuh, Tun Abdul Jamil mengisi meriam-meriam dengan uang rial karena kehabisan peluru. Walau akhirnya beliau syahid di medan perang, karena jasa-jasa beliau sebagai pendiri sekaligus pengembang, dan pengawal Bandar Riau di Sungai Carang, Tun Abdul Jamil telah mencatatkan dirinya dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan wira Melayu yang gagah-berani sepanjang masa.
Patah tumbuh hilang berganti. Perseteruan antara VOC-Belanda dan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang terus berlanjut. Untuk mengantisipasi maksud jahat pihak musuh, Sultan Mahmud Riayat Syah dan Raja Haji Fisabilillah menyusun strategi perang di pusat kesultanan di Sungai Carang. Musuh pun datang menyerang dengan kekuatan besar. Puncaknya terjadi pada 6 Januari 1784. Kapal perang Malaka’s Welvaren milik VOC-Belanda diletupkan oleh pasukan Raja Haji, yang bunyinya digambarkan laksana seribu halilintar. Pasukan Belanda yang masih hidup harus kembali ke markasnya di Melaka dengan wajah tertunduk karena kalah telak.
Sultan dan Yang Dipertujuan Muda tak puas hanya mengalahkan VOC-Belanda di Tanjungpinang. Melaka harus segera direbut dan jika berjaya, berarti Melaka merdeka kembali, yang memang menjadi salah satu matlamat perjuangan para wira Melayu setelah jatuhnya Melaka oleh Portugis pada 1511. Raja Haji dan Sultan Mahmud memburu Belanda di sarang musuh, Melaka. Pertempuran besar terjadi di Teluk Ketapang pada 18 Juni 1784. Takdir Allah, Raja Haji gugur dalam pertempuran itu, tetapi Baginda telah menambah catatan emas rangkaian perlawanan wira Melayu terhadap penceroboh yang mencabar marwah bangsanya.
Setelah gugurnya Raja Haji Fisabilillah, perlawanan terhadap Belanda dikendalikan langsung oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Puncaknya terjadi 13 Mei 1787. Dengan strategi yang sama sekali tak terbaca oleh Belanda, tetapi telah dipersiapkan dengan matang, Sultan Mahmud mendatangkan sekutunya, yakni pasukan bajak laut, dari Tempasuk dan Sulu untuk membantu pasukannya. Serangan tak terduga itu telah meranapkan garnizun Belanda di Tanjungpinang dan sisa pasukan Belanda yang masih hidup, termasuk Residen David Ruhde, hanya diberi waktu satu malam untuk meninggalkan Tanjungpinang.
Setelah kemenangan itu, Baginda Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat kesultanan ke Daik, Lingga, untuk menerapkan strategi baru, yakni Perang Gerilya Laut, dalam berperang melawan Belanda. Perang Gerilya Laut yang markas besar komandonya dipusatkan di Daik, Lingga, itu sungguh-sungguh menggerunkan (menakutkan) Belanda. Kenyataan itu diakui oleh Gubernur VOC di Melaka, de Bruijn, yang tercatat di dalam arsip Belanda, “Kekuatan armada VOC tak mampu menandingi kekuatan armada laut Sultan Mahmud di ‘belantara lautan’ Kepulauan Lingga (jumlah pulau di Kepulauan Lingga adalah 604 pulau, pen.).”
Dalam laporan pejabat Inggris di Penang (atau Pulau Pinang, bagian Malaysia sekarang) pada Januari 1788 disebutkan, “Sultan Mahmud Riayat Syah adalah penguasa terbesar dan paling jenius di kalangan pemimpin Melayu,” (lih. Vos, 1993). Dari perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah, yang tak mengenal kata berunding dan pantang menyerah, itulah Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang berjaya merebut kembali kemerdekaannya dari Belanda pada 29 Mei 1795. Nah, ianya bermula dari Sungai Carang, dikhatamkan di Daik, Lingga. Merdeka!***