
KONFRONTASI yang digelorakan Presiden Soekarno dekade awal 1960-an menjadi biang di balik penghapusan keabsahan dolar Malaya (Dollar Strait) sebagai alat tukar yang sah di Tanjungpinang. Sebab jika terus dibiarkan, dikhawatirkan akan semakin menggerogoti nasionalisme warga Indonesia di wilayah perbatasan, termasuk Tanjungpinang.
“Berita buruk” itu datang melalui kebijakan moneter yang diterbitkan pemerintah pusat pada 15 Oktober 1963. Pokok isinya adalah dedolarisasi lais pelarangan penggunaan dolar Malaya sebagai alat tukar yang sah di wilayah kedaulatan NKRI.
Seperti sebuat petir di siang bolong, kebijakan moneter atas nama kedaulatan bangsa ini menimbulkan gejolak di dompet orang Tanjungpinang kala itu. Tatanan ekonomi yang semula menjulang tinggi, tiba-tiba amblas dengan penerbitan uang transisi yang diberi label Rupiah Kepulauan Riau (Rp KR).
Sebenarnya, dedolarisasi ini sudah diprediksi kurang lebih sebulan sebelum kebikan moneter diterbitkan. Dulaimi Syarbaini, seorang guru agama di Sekolah Rakyat (SR) III di Jalan Bali Tanjungpinang, mencatat tanda-tanda akan berakhirnya kemewahan hidup penduduk Tanjungpinang dalam buku catatan hariannya.
Dalam catatan itu, Dulaimi menulikan, “September 1963 Sunday 22. I-Ribut soal the Dolarisasi Kep. Riau dan pemutusan hubungan dagang dg S. Pore.”
“Buku catatan harian Dulaimi kemudian diterbitkan pada 1963 oleh penerbit Collins Eastern Diary di London, Inggris. Terbitan ini dipasarkan khusus untuk wilayah Burma, Ceylon (Sri Lanka), Hong Kong, India, Malaya (Malaysia), Pakistan, Thailand, dan Singapura,” terang Sejarawan Kepri, Aswandi Syahri.
Di kedai kopi, dan di mana saja, kata Aswandi, orang telah heboh membicarakan desas-desus rencana dedolarisasi di Tanjungpinang dan seluruh Kepulauan Riau yang kemudian akan diikuti dengan pemutusan hubungan dengan Singapura dan Malaysia oleh pemerintah karena tegangnya siatuasi politik menyusul ‘politik konfrontasi’ Presiden Soekarno.
Dua puluh empat hari kemudian, desas-desus tersebut menjadi sebuah kenyataan yang dampaknya sangat panjang dan melebar ke berbagai kehidupan sosial dan ekonomi. Pada hari itu, tanggal 15 Oktober 1963, untuk pertama kalinya uang Rupiah khusus untuk wilayah Kepulauan Riau yang kemudian populer sebagai uang KR (Kepulauan Riau Rupiah) mulai beredar di Tanjungpinang sebagai “uang transisi” mengganti fungsi Strait Dollar Malaya atau uang dolar yang sebelumnya digunakan.
“Tuesday 15 October 1963 [Selasa, 15 Oktober 1963]. II- Mulai melihat dan menerima uang Rupiah Kep. Riau. Sekira Rp. 1,- [sama] dgn [$] 7,- Malaya. III- Mulai beredar uang Rupiah Kep. Riau,” tulis Dulaimi Syarbaini.
Sejak saat itu, perlahan-laman zaman dolar yang identik dengan kemakmuran dan kemewahan bagi masyarakat Kepulauan Riau umumnya dan penduduk Tanjungpinang khususnya, hilang sama sekali. Terlebih setelah melalui masa-masa konfrontasi, yang berlanjut dengan pemututusan hubungan dagang serta politik dengan Singapura dan Malaya serta huru-hara tahun 1965.
“Tak dapat dipungkiri, setelah penyerahan kedaulatan tahun 1949, Tanjungpinang adalah satu-satunya kota kecil yang paling makmur di Indonesia. Karena letaknya yang berdepan-depan dengan Singapura dan pertimbangan ekonomi, pemerintah Republik Indonesia menetapkan Tanjungpinang sebagai daerah dolar (dollargebied); melanjutkan “tradisi” yang telah berlangsung sejak zaman Belanda atau sebelum perang dunia II,” ujar Aswandi.***
Baca Juga:
[…] Dedolarisasi Atas Nama Kedaulatan […]