JAN datang ke Tanjungpinang, Selasa (24/10) lalu. Atau lebih tepatnya, sebut saja ia kembali. Sebab, Tanjungpinang bukan kota asing bagi guru besar Universitas Hamburg, Jerman ini. Pada 1994, Jan pertama kali tiba dan mengaku selalu jatuh cinta dengan Tanjungpinang.
“Saya selalu suka, kangen dengan Tanjungpinang. Terutama suasana di daerah Jalan Merdeka. Itu seperti Singapura lama,” katanya dengan bahasa Indonesia yang fasih untuk ukuran seorang penutur asing.
Kembalinya seorang Jan ke Tanjungpinang pertengahan pekan lalu pun, lantaran menuruti kerinduan itu. Selama empat bulan ke depan, ia memang sedang disibukkan sebuah program penelitian di Singapura. Karena jarak Singapura – Tanjungpinang yang hanya kurang dari tiga jam, membuat Jan dan Kris (sahabatnya) menyeberang. Sekedar melepas rindu kepada suasana perkotaan lama Tanjungpinang sekaligus menjumpai sejumlah sahabat di sini.
Prof. Dr. Jan van der Putten. Seorang pakar austronesia yang sudah banyak meneliti tentang banyak hal di Indonesia. Utamanya naskah-naskah Melayu. Kini, ia menjabat sebagai Ketua Departemen Asia Tenggara Institut Asia-Afrika di Universitas Hamburg, Jerman.
Pada 1995, bersama Budayawan Melayu Al Azhar, Jan menerbitkan sebuah buku berjudul In Everlasting Friendship: Letters From Raja Ali Haji. Dua belas tahun kemudian, dibantu Sejarawan Kepri, Aswandi Syahri, buku itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Dalam Perkekalan Persabahatan: Surat-surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall.
Buku ini menjadi menarik untuk dibaca lantaran mengungkap sisi lain Raja Ali Haji melalui dokumen berupa surat-surat pribadinya yang dikirimkan kepada sahabatnya, Von de Wall ketika masa-masa penyusunan kamus bahasa Melayu-Belanda pada 1855 di Tanjungpinang. Termasuk curahan hati sang pahlawan nasional itu mengenai kesehatannya, jam tangannya, dan upah menulisnya.
Ketika buku itu rampung disusun, Jan mengenang, ada kabar-kabar kecil penolakan yang sampai ke telinganya. Namun, sebagai seorang pengkaji yang taat kepada teori dan fakta-fakta sahih, Jan bergeming.
“Kalau mau berdebat, silakan. Kalau mau saya buktikan pakai naskah, saya bisa. Tapi kalau tidak mau dibicarakan, ya tidak apa-apa,” kenang Jan.
Selama 60 menit, ditemani Aswandi Syahri, Jan bicara banyak soal pengkajian naskah Melayu, buku Surat Raja Ali Haji, dan cita-citanya melihat Tanjungpinang sebagai sebuah pusat canggih peradaban Melayu di masa depan.

Selamat datang kembali ke Tanjungpinang. Bagaimana Anda melihat Tanjungpinang hari ini?
Saya melihat kebijakan otonomi amat bagus buat perkembangan sebuah kota. Sekarang, pemerintah daerah bisa benar-benar membangun daerahnya sendiri. Tentu, pemerintah juga tidak boleh lupa mendanai proyek-proyek kebudayaannya. Bukankah dulu kerajaan juga seperti itu. Sekarang pemerintah harus semakin peduli.
Apa yang paling disuka dari Tanjungpinang?
Sudut perkotaan lamanya di seputaran Jalan Merdeka. Itu mengingatkan saya dengan Singapura lama. (Ini bisa jadi alasan di balik Jan memilih menginap di Hotel Furia yang hanya berjarak 200 meter saja ke pusat perkotaan lama Tanjungpinang.)
Sedang sibuk apa sekarang? Dengar-dengar ada pekerjaan di Singapura?
Ya. Saya sedang ambil fellowship selama empat bulan di Singapura. Tapi tidak untuk mengajar. Tapi bisa menyegarkan pikiran saja dengan melihat-lihat koleksi perpustakaan di sana dan mencari apa belum ada di sana untuk diteliti dan melengkapi koleksi di sana.
Tentang apa kalau boleh tahu?
Tentang keberaksaraan. Dahulu, selalu dianggap keberaksaraan pribumi kecil sekali ketika Belanda ada di sini, di kawasan Asia Tenggara ini. Tetapi kalau kecil sekali itu tidak mungkin orang Melayu bisa membuat naskah, membacakan naskah, dan sebagainya.
Memangnya masih banyak naskah Melayu yang belum dikaji?
Kalau sepintas, barangkali sebagian besar sudah dikaji. Tetapi kajian tidak pernah habis.
Masih banyak naskah di luar sana?
Di Belanda dan Inggris banyak sekali. Di Jakarta juga sangat banyak. Tetapi ingat, jangan bicara soal materi naskahnya. Tetapi lebih kepada pertanyaan dan pendekatan baru terhadap sebuah materi naskah Melayu. Itu yang paling penting.
Maksudnya?
Sama seperti sejarah. Yang dikaji bukan sekadar yang ada di sumber-sumber sejarahnya. Tetapi datanglah dengan pertanyaan baru. Dahulu arsip ini sudah diterbitkan, tetapi para pengkaji harus datang dengan pertanyaan lain yang baru dan masuk ke sumber utama sejarah tersebut.
Di Jakarta, ada banyak doktor-doktor melakukan kajian tentang naskah-naskah kuno. Tetapi ya itu teks thok! Tidak pernah dikaji lebih dari dalam dari sisi manuskripnya.
Manuskrip atau naskah itu sebagai pintu masuk kepada sebuah nilai yang lebih besar?
Bukan nilai. Karena nila itu langsung ke kandungan. Tetapi fungsi. Misalnya, apa peranan naskah ini lalu coba dikontekstualisasi dengan hal-hal lain berkelindan. Jadi bukan hanya teks yang dikaji.
Misalnya lagi kita mengkaji tentang sebuah senjata, jangan selesai dan puas pada mengenali penggunaan senjata tersebut. Tapi senjata itu terbuat dari bahan apa, bahannya didapat dari mana, oh ternyata bahan itu di bawah pedagang, dan terus-terus menanyakan hal yang baru dari manuskrip itu.
Penerbitan surat-surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall itu mengikut pendekatan penelitian semacam itu?
Tentu, itu masuk. Kita melihat beberapa hal yang baru, termasuk di dalamnya adalah otograf atau tulisan tangan asli seorang penulis. Sebenarnya perspektif ini bisa ditarik lebih luas, sebagaimana orang meneliti tentang William Shakespeare. Ada peneliti dari Malaysia yang pergi ke Inggris untuk meneliti tentang Shakespeare. Ia datangi museumnya. Di sana, ia bisa melihat langsung jenis pena yang digunakan, meja tulisnya, dan banyak lagi.

Lalu kaitannya dengan Raja Ali Haji?
Nah ini. Tapi di dunia Melayu, hal semacam itu tidak ada. Sampai sekarang saja kita tidak pernah tahu rumah Raja Ali Haji di mana. Aneh, kan? Saya melihat pengarang dari dulu dilihat kurang penting, kurang dianggap. Padahal kalau masih ada dokumen pribadi berkenaan itu, bisa dilihat lagi banyak hal yang bisa diteliti ke depannya.
Dari situ juga kita bisa melihat Raja Ali Haji memberi tanda diri. Jadi dia mau meninggalkan sesuatu yang ditinggalkan bahwa ini adalah Raja Ali Haji sebagai individu, dan bukan orang Melayu.
Lalu hal apa yang perlu diperhatikan lagi oleh para pengkaji muda yang kini sedang menekuni naskah Melayu?
Kerja keras. Keluar dari sini.
Keluar dari Tanjungpinang?
Ya, keluar dari Indonesia, kalau perlu. Pergi ke Belanda, pergi ke Inggris. Ada banyak naskah Melayu di sana yang masih bisa dikaji dengan pendekatan baru. Di Jakarta pun sebenarnya masih banyak juga. Tapi yang paling penting, mulai belajar untuk memberikan pendekatan dan pertanyaan baru terhadap naskah Melayu itu.
Secara umum, apakah sudah terlihat seperti yang diharapkan?
Ini maaf-maaf saja dulu. Di sini, ada banyak guru-guru besar yang datang ke Belanda. Mereka punya ilmu dari tahun 1970-an. Sekarang sudah lebih dari 40 tahun, dan masih banyak yang berkutat pada kajian teks saja. Kemudian hal itu juga yang diajarkan ke mahasiswanya. Ini sangat disayangkan.
Tetapi perlahan, memang mulai ada generasi muda yang mau mengejar pengkajian dan peneletian ke arah yang lebih baik. Saya melihat sekarang cukup banyak juga anak muda yang mau maju dan datang ke Jerman.
Tentang Tanjungpinang, seperti apa Anda melihatnya ke depan?
Saya dengar Tanjungpinang ingin menampilkan wajah sebagai pusat peradaban Melayu. Menuju ke situ, harus kerja keras. Tidak cukup dengan pendekatan tari-tarian semata. Karena orang baru bisa melihat tarian ketika ada kegiatan pariwisata.
Lalu yang perlu disiapkan?
Jadi begini, saya membayangkan ke depannya Tanjungpinang benar-benar bisa menjadi pusat peradaban Melayu. Di sini ada banyak naskah dan manuskrip Melayu yang disimpan dengan baik di sebuah museum. Karena sekarang sudah zaman digital, naskah-naskah itu juga harus didigitalisasi, dipamerkan dan dibuka secara luas di internet. Gambar-gambanya dengan kualitas bagus, bisa diperbesar.
Naskah yang lengkap dan bagus itu juga bisa mengundang tamu. Sekarang ada banyak orang di luar negeri yang ingin bikin buku Melayu, tapi tidak tahu harus mencari ke mana sumbernya. Peluang ini harus dimanfaatkan betul-betul oleh Tanjungpinang. Buatlah sebuah situsweb yang bagus dan menjadikan orang percaya di sinilah gudang naskah Melayu itu.
Penyelamatan naskah Melayu memang harus begitu. Tidak mungkin bikin festival seperti tarian, bukan?***