SEBAGAI karya intelektual muslim sejati, dapat dipastikan bahwa hampir semua karya Raja Ali Haji rahimahullah mengandung nilai ketuhanan (religius). Dengan demikian, membaca karya beliau kita akan menemukan amanat yang berkaitan dengan perhubungan manusia sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai Sang Khalik.
Perhubungan itu menyerlahkan kualitas kehalusan budi manusia kepada Tuhan, yang seyogianya dimiliki oleh setiap manusia sebagai ciptaan Allah. Karya-karya itu juga menjadi bukti bakti dan penghambaan seorang makhluk kepada Allah, yang diyakininya tiada Tuhan selain Dia.
Setiap manusia wajib beriman kepada Allah sebagai Sang Pencipta segala makhluk. Tanpa kualitas keimanan itu, berarti manusia mengingkari keberadaannya sebagai makhluk Allah. Amanat tersebut, antara lain, terdapat di dalam Syair Abdul Muluk.
Barang apa pun kulihat segala
Kebesaran Tuhan Azza wa Jalla
Jikalau sungguh asal kemala
Masakan cahayanya tiada bernyala
Bait syair di atas merupakan bagian dari kisah tentang sifat sekaligus sikap tukang gandum, si penolong Abdul Gani, putra Sultan Abdul Muluk dengan istrinya Siti Rafiah. Tukang gandum sangat yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini karena kekuasaan Allah SWT.
Sifat dan sikapnya itu menunjukkan bahwa dia beriman kepada Allah. Pesan kewajiban beriman kepada Sang Khalik itulah yang hendak ditonjolkan oleh penyair melalui bait syair di atas.
Kualitas kehalusan budi beriman kepada Allah yang dikisahkan di atas dimiliki oleh si tukang gandum. Keyakinan itu memang sedia ada di dalam dirinya. Penggambaran kualitas yang dimiliki oleh tukang gandum itu dilakukan oleh penyair karena kualitas itu memang telah ada dalam diri si tukang gandum.
Kualitas beriman kepada Allah yang ditunjukkan oleh si tukang gandum dalam karya di atas juga digambarkan dengan mendeskripsikan perbuatan dan perkataan si tukang gandum. Kesemuanya itu boleh dilihat, diamati, dan didengar oleh orang lain.
Dengan demikian, potensi keimanan itu diwujudkan dalam perkataan dan perbuatan nyata. Artinya, kualitas keimanan itu harus sejalan antara niat, perkataan, dan perbuatan. Tak boleh terjadi, lain yang diniatkan, lain pula yang dikatakan, lain lagi yang dilakukan dalam perbuatan.
Karya Gurindam Dua Belas memuat perihal kewajiban beriman kepada Allah itu pada Pasal yang Pertama, bait 3. Walaupun digunakan diksi mengenal, maksudnya tentulah tak sekadar ‘mengenal’ saja, tetapi selanjutnya mengimani atau memercayai Allah.
Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah
Larik kedua bait gurindam di atas lebih menegaskan lagi bahwa manusia memang wajib memercayai Allah. Apakah bukti keimanan itu? Tiada lain buktinya bahwa manusia wajib melaksanakan suruhan Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Dengan demikian, bait gurindam di atas menegaskan mustahaknya keimanan kepada Allah SWT.
Amanat kewajiban beriman kepada Allah juga terkandung di dalam Tsamarat al-Muhimmah. Bait syair yang berkenaan dengan perkara itu dapat kita simak berikut ini.
Jika benar yang kita hukumkan
Di belakang jangan kita hiraukan
U(m)pat dan puji kita biarkan
Kepada Allah kita saksikan
Bait syair di atas, secara tersirat, menampilkan amanat bahwa jika pekerjaan yang kita lakukan benar-benar berasaskan ketentuan Allah, tak ada sesuatu apa pun yang perlu dihiraukan lagi di dunia ini, sama ada pujian ataupun umpatan.
Hal itu bermakna keimanan kepada Allah yang paling diutamakan, yakni dengan melaksanakan segala pekerjaan sesuai dengan pedoman yang diberikan-Nya. Apa pun cabaran yang datang kemudian, harus dipulangkan kepada Allah.
Itulah kunci kejayaan pekerjaan sekaligus bukti keimanan manusia kepada Allah SWT. Akan tetapi, sekali lagi, harus benar-benar berdasarkan pedoman Allah, bukan helah untuk kejahatan tersembunyi dengan membabitkan, apatah lagi sampai mengobral, nama Allah. Yang disebut terakhir itu, justeru, menjadi perbuatan dosa yang ditunggani oleh syaitan atau iblis.
Kita pun masih menemukan amanat kewajiban manusia beriman kepada Allah di dalam Syair Sinar Gemala Mestika Alam. Berikut ini nukilan bait syair yang mengandungi pesan tersebut.
Lain daripada itu beberapa pula
Suruh dan larang Allah Ta’ala
Di dalam Quran ‘Azza wa Jalla
Perintahkan yang baik tiada cela
Sekali lagi, bait syair di atas menegaskan amanat bahwa segala perintah dan larangan Allah itu adalah baik belaka bagi manusia. Oleh sebab itu, kesemuanya harus diimani dan dilaksanakan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Allah. Barang siapa mampu mengikuti anjuran Allah tersebut, bermakna dia telah beriman kepada Allah. Jadi, beriman kepada Allah merupakan penanda kehalusan budi dalam perhubungan manusia dengan Allah SWT.
Untuk menyampaikan amanat kewajiban beriman kepada Allah melalui karya-karya di atas, Raja Ali Haji menggunakan pernyataan secara langsung, tanpa tokoh sebagai perantara. Artinya, kesemuanya itu disampaikan sesuai dengan nilai kebenaran yang beliau yakini (memang diyakini oleh penyairnya, Raja Ali Haji).
Dalam perhubungan antara manusia dengan Allah, karya Raja Ali Haji juga mengemukakan amanat agar manusia memulakan segala pekerjaan yang baik dengan menyebut nama Allah. Itulah yang tersurat, antara lain, di dalam Syair Abdul Muluk, bait 1.
Bismi’llah itu permulaan kata
Dengan nama Tuhan alam semesta
Akan tersebut sultan mahkota
Di Negeri Barbari baginda bertahta
Di dalam bait syair di atas penyairnya mencontohkan bahwa beliau sendiri memulai syairnya dengan ucapan Bismi’llah yang bermakna ‘dengan nama Allah.’ Itu merupakan amanat tersirat walaupun tak disebutkan dengan kalimat, misalnya “Hendaklah segala manusia memulai sesuatu pekerjaan dengan mengucapkan nama Allah.”
Hal itu berarti sesiapa saja yang beriman kepada Allah hendak memulai pekerjaan yang baik dengan menyebut nama Allah terlebih dahulu, barulah kemudian dilanjutkan pekerjaan yang akan dilakukan.
Karya Tsamarat al-Muhimmah juga dimulai dengan menyebut nama Allah. Ada baiknya kita nikmati petikannya.
“Bismillahirrahmanirrahim Walhamdulillahi jalla jalaluh wa’azama sya’nuhu min qalbu wa min ba’du ….” (Raja Ali Haji dalam Abdul Malik, (Ed.), 2013:21).
Kutipan teks di atas berasal dari tulisan Raja Ali Haji di dalam karya beliau Tsamarat al-Muhimmah. Nampaknya, beliau hendak menunjukkan sikap sebagai seorang umat Islam yang benar, yakni memulai segala pekerjaan haruslah dengan mengucapkan nama Allah. Dengan demikian, memulai pekerjaan dengan ucapan “Dengan nama Allah” merupakan kualitas kehalusan budi manusia dalam perhubungannya dengan Allah.
Buku sejarah tulisan Raja Ali Haji bersama ayahanda beliau Raja Ahmad Engku Haji Tua Tuhfat al-Nafis pun dimulai dengan mengucapkan nama Allah. “Bi-‘smillahi’r-rahmani’r-rahim. Maka pada ketika di dalam Hijrat al-Nabi salla Allahu ‘alaihi wasallam seribu dua ratus delapan puluh dua tahun dan pada tiga haribulan Syaaban yang maha besar berbangkitlah hatiku bahawa memperbuat kitab ini ….” (Matheson (Ed.), 1982:1).
Syair Sinar Gemala Mestika Alam juga dimulai dengan bait yang menyebutkan nama Allah. Betapa di dalam larik-larik syair ucapan nama Allah itu disesuaikan beliau dengan irama dan rima syairnya.
Bismillah permulaan kalam
Alhamdulillah Tuhan seru alam
Selawatkan Nabi sayidil anam
Serta keluarganya sahabat yang ikram
Petikan karya yang ditampilkan di atas secara konsisten dimulai dengan menyebut nama Allah terlebih dahulu. Sangat jelas amanatnya bahwa segala pekerjaan yang baik seharusnya diawali dengan menyebut nama Allah.
Hal itu bermakna yang hendak ditegaskan oleh penyair adalah amanat bahwa setiap memulai pekerjaan yang baik dengan menyebut nama Allah merupakan sifat dan perilaku yang mulia dan terpuji.
Dengan demikian, menyebut nama Allah ketika memulai pekerjaan merupakan penanda kehalusan budi dalam perhubungan manusia dengan Allah Azza wa Jalla.
Kualitas kehalusan budi kewajiban menyebut nama Allah ketika akan memulai pekerjaan ditunjukkan secara langsung oleh Raja Ali Haji di dalam karya-karya beliau di atas. Keyakinan itu memang sedia ada di dalam diri beliau, baik sebagai penyair maupun sebagai manusia.
Kebiasaan menyebut nama Allah ketika memulai pekerjaan yang ditunjukkan oleh Raja Ali Haji dalam karya-karya beliau. Dalam hal ini, kualitas itu ditemui di dalam tulisan beliau yang boleh dilihat, diamati, dan dibaca oleh orang lain, dalam hal ini pembaca karya-karya tersebut.
Itu membuktikan keyakinan penyair terhadap nilai benar dan baiknya penyebutan nama Allah ketika memulai pekerjaan untuk memelihara perhubungan antara makhluk dan Khaliknya.
Hendaklah menyebut nama Allah jika memulai pekerjaan yang baik sebagai bukti keimanan kepada-Nya merupakan simpulan yang dibuat oleh Raja Ali Haji. Simpulan itu ditemui secara tersirat di dalam karya beliau yang dikutip di atas.
Simpulan itu dibuat oleh Raja Ali Haji sesuai dengan kebenaran berdasarkan ajaran agama Islam yang beliau yakini. Dengan demikian, penanda kehalusan budi kepada Allah SWT itu disampaikan beliau berdasarkan kebenaran yang beliau yakini.
Pelajaran yang dapat kita petik adalah ini. Beriman kepada Allah adalah wajib hukumnya bagi manusia menurut ajaran Islam. Keimanan itu diwujudkan, antara lain, dengan menyebut nama Allah setiap akan memulai pekerjaan yang baik.
Itulah penanda kehalusan budi manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya kepada Sang Pencipta. Sebagai konsekuensinya, asal benar-benar berasal dari niat yang baik, In Shaa Allah, hasil pekerjaan yang kita peroleh pun akan baik pula. Dalam hal ini, telah tersedia jaminan dari Allah akan kualitas hasil pekerjaan baik yang dilakukan atas nama-Nya.***