Surat titah Yang Dipertuan Muda Riau kepada Encik Muhamad Yusuf Laksamana Lingga. Surat bertarikh 14 Zulqaidah 1316 H bersamaan dengan 26 Maret 1899. Ditulis di istana Robath Ahmadi Lingga,dan dibubuh tanda tangan Yang Dipertuan Muda Riau X, Raja Muhamad Yusuf al-Ahmadi

Selain kaya dengan situs peninggalan sejarah, Negeri Daik-Lingga yang pernah menjadi pusat pemerintahan dan tempat kedudukan Sultan Lingga-Riau selama 113 tahun (1787-1900) masih banyak menyimpan manuskrip Melayu dan arsip yang penting sebagai bukti tertulis tentang kerajaan bersejarah itu.

Sebagian manuskrip Melayu dan bahan arsip tersebut telah diselamatkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lingga. Namun demikian,  tidak sedikit yang masih berada dalam simpanan masyarakat sebagai warisan keluarga. Bahan-bahan arsip dan manuskrip tersebut adalah sumber primer yang tidak hanya kaya dengan data kesejarahan, tapi juga berlimpah dengan informasi kebudayaan dan adat-istiadat Melayu di istana Lingga-Riau yang agung.

Kutubkhanah minggu ini akan meperkenalkan salah satu contoh manuskrip dalam simpanan masyarakat di Daik-Lingga yang ditemukan dalam penelitian manuskrip Melayu dan bahan arsip di Daik pada 23 Februari 2006. Manuskrip yang terdiri dari dua bagian ini ditulis pada dua lembar kertas folio bergaris  menggunakan tinta hitam. Walaupun bebefapa bagian pinggir kertasnya rusak karena cara penyimpannya, tulisan tangannya kemas dan masih jelas terbaca.Dari gaya tulisannya, tampak jelas bahwa dua naskah ini ditulis oleh dua tangan yang berbeda.  Namun demikian, keduanya saling berkaitan.

Dua manuskrip ini ditulis sempena istiadat kahwin (pernikahan) Putri Sultan Lingga-Riau- Yang Dipertuan Besar Sultan Abdulrahman Muazamsyah-yang bernama Tengku Selama atau Tengku Salama di Istana Damnah, Negeri Lingga, pada 20 Zulhijah 1316 H bersamaan dengan 1 Mei 1899 M. Pada ketika itu, Yang Dipertuan Muda Riau X, Raja Muhamad Yusuf, yang mangkat di Daik-Lingga pada 17 Juli 1899 M, masih bersemayam di istana yang bernama Robath Ahmadi Lingga di Daik.

Dalam manuskrip tersebut memang tidak disebutkan siapa nama putri Sultan Abdulrahman Muazamsyah yang menikah ketika itu, dan dengan siapa ia dinikahkan. Namun yang jelas, satu-satunya putri Sultan Lingga-Riau di Daik yang telah cukup usia untuk menikah ketika itu adalah Tengku Selamah.

Manuskrip pertama yang akan jelaskan adalah surat titah dari Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf. Adapun naskah kedua berisikan beberapa tertib adat sempena  istiadat kahwin putri Sultan Linga-Riau itu.

Surat Titah

            Manuskrip surat titah perintah Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Raja Muhammad ini ditulis pada 14 Zulqaidah 1316 H bersamaan  27 Maret 1899 M di istana Robath Ahmadi Lingga, tempat bersemayam Yang Dipertuan Mudari Riau-Lingga di Daik.

Surat yang isinya diawali dengan kepala surat, “Bahwa sesungguhnya dengan titah perintah kita Sri Paduka Yang Dipertuan Muda Riau dan Lingga dengan daerah takluknya sekalian” ini, ditulis sempena “adat istiadat pekerjaan do’a selamat kahwin putri Yang Dipertuan Besar Sultan Abdulrahman Muazamsyah di dalam Negeri Lingga”.

Surat titah ini ditujukan kepada Encik Muhamad Yusuf yang berpangkat Laksamana Lingga, yang diberi tanggung jawab besar dalam rangkaian perkerjaan istiadat dan do’a selamat kahwin  ini. Dan dalam manuskrip surat titah ini, ada dua titah Yang Dipertuan Muda Riau kepada Encik Muhammad Yusuf tersebut.

Titah pertama, “mengurniakan surat aturan adat istiadat perkerjaan do’a selamat kahwin putri Yang Dipertuan Besar Sultan Abdulrahman Muazamsyah di dalam Negeri Lingga”.

Titah kedua, memerintahkan Encik Muhamad Yusuf Laksamana Lingga untuk menghimpunkan seluruh anak raja-raja laki-laki dan perempuan serta anak laki dan perempuan yang merdeheka (merdeka) di dalaman (Istana Damnah) Yang Dipertuan Besar Lingga-Riau di Daik pada 15 Zulqaidah 1316 H bersamaan dengan 27 Maret 1899 M.

Pada titah yang kedua ini, ditegaskan pula bahwa dalam perhimpunan (semacam rapat pembentukan panitia) pada tanggal 27 Maret 1899 M itu akan diatur  dan dibentuk semacam “panitia” yang bertanggung jawab terhadap “jawatan adat istiadat di dalam istana dan balai” sempena istiadat kahwin putri Sultan Lingga yang akan dilangsungkan pada 20 Zulhijah 1316 bersamaan dengan 1 Mei 1899 M di Daik-Negeri Lingga.

Dalam teks aslinya, isi titah yang kedua yang merupakan “undangan” itu menyebutkan sebagai berikut: “Bahwa pada 15 hari bulan Zulqaidah tahun 1316 hendaklah Laksamana menjunjungkan titah perintah kita [Yang Dipertuan Muda Riau] kepada segala anak raja-raja laki-laki perempuan dan anak merdeheka laki-laki dan perempuan supaya mereka itu berhimpun masuk pada dalaman sri paduka Yang Dipertuan Besar kerana pada hari tersebut itulah kita mulai mengatur jawatan adat istiadat di dalam istana dan balai adanya”.

 

Halaman pertama manuskrip tertib istiadat kahwin putri Sultan Lingga-Riau di Daik pada tahun 1899

Tertib Istiadat Diraja

            Manuskrip yang kedua, yang ditulis tanpa mencantumkan tarikh penulisannya, diawali dengan baris kalimat pendek, “Negeri Lingga Damnah,” dan kalimat persembahan yang ditujukan kepada “Hadrat Encik Muhamad Yusuf Laksamana [Lingga].”

Dalam manuskrip ini dicantumkan pula sebagian rangkaian  tertib istidat sempena kahwin putri Sultan Lingga Abdulrahman Muazamasyah tersebut, dan nama-nama mereka yang bertanggung jawab atau memegang jawatan istiadat dalam acara penikahan diraja itu.

Rangkaian tertib istiadat dalam acara kahwin (pernikahan) diraja ini diawali dengan istiadat berandam yang disebut berandam suri mempelai. Menurut manuskrip ini, seluruh rangkaian berandam suri mempelai tersebut akan berlangsung pada hari Sabtu dan Ahad tanggal  19-20 Zuhijjah 1916 H bersamaan dengan 30 April hingga 1 Mei 1899 M.

Seluruh rangkaian istiadat kahwin tersebut, yang diawali dengan istiadat berandam suri mempelai, berlangsung pada pukul satu siang. Sebagai penanggung jawab pemegang jawatan  istiadat-nya adalah adalaha sejumlah pembesar kerajaan seperti Raja Haji Muhammad yang menjabat Hakim di Lingga, Raja Ishak Amir Karimun, dan Raja Usman yang berpangkat Pahlawan Bahtera (komandan bahtera peperangan-kapal perang-diraja di Pulau Penyengat).

Rangkaian istiadat itu berlanjut  pada malam Ahad tanggal 20 Zulhijjah 1316 bersamaan 1 Mei 1899 dengan penyelenggaraan acara khatam qur’an mempelai. Sebagai pemegang jawatan istiadat-nya adalah Said Ali Khatib Riau atau Said Ali Al-Attas yang juga menjabat sebagai sekretaris Rusydiah Club Riouw di Pulau Penyengat dengan didampingi oleh seorang yang bernama Haji Husin.

Pada pukul sembilan malam Ahad 20 Zulhijjah itu, dilangsungkan juga istiadat berhinai besar putri yang maha  Tuanku al-Sultan Abdurahman Muazamsyah. Dalam tertib istiadat berhinai besar ini, ditetapkan 11 orang yang dititahkan untuk meletak hinai secara berturut-turut. 11 orang itu  merupakan pembesar kerajaan dan kerabat Sultan Lingga-Riau.

Tertib istiadat meletak hinai itu diawali oleh Raja Usman Pahlawan Bahtera (namun bila ada Raja Ali Kelana maka beliaulah yang didahulukan). Selanjutnya secara berturut-turut diikuti pula oleh Raja Haji Ishaq Amir Karimun, Raja Haji Muhammad Hakim Lingga, Engku Cu Raja Haji Muhammad Zahid Amir Reteh, Tengku Umar Amir Batam, Tengku Muda Said Hasan, Tengku Mahmud Singapura, Tengku Sulaiman Haji, Said Ali Khatib Riau, Engku Said Sulaiman, dan Tengku Husin.

Rangkaian istiadat ini terus berlanjut pada siang hari Ahad (Minggu) tanggal 1 Mei 1899 yang ditandai dengan berarak mempelai dari istana Yang Dipertuan Muda Riau di Robath Ahmadi Lingga ke istana Yang Dipertuan Besar Lingga-Riau di Hulu Damnah (Istana Damnah).

Dalam istiadat berarak mempelai ini, semua ‘pemegang jawatan istiadat’ dan sekalian kaum laki-laki serta perempum diminta berhimpun di istana Yang Diperuan Muda Riau itu pada pukul satu siang: kecuali Datuk Laksamana Lingga dan Penghulu Balai beserta anak buahnya tetap berada di balairung Istana Damnah.

Istiadat berarak mempelai itu menggunakan usungan diraja. Bertindak sebagai gembala di atas usungan dalam berarak mempelai ini adalah Datuk Laksamana Lingga dan Tengku Umar Amir Batam. Keduanya berpakaian lengkap memakai tanda kebesaran yang dikurniakan kerajaan kepadanya.

Adapun kepala yang mengatur berarak mempelai itu adalah Datuk Laksamana Lingga. Dibawahnya adalah Raja Haji Usman, Encik Usman [anak Datuk Laksamana], Penghulu Hamba Raja yang bernama Haji Muhamma Yusuf. Datuk Laksamana dan Penghulu Hamba Raja memakai tampan-tampan di bahunya.

Selama istiadat berarak mempelai ini, Tuan Imam Lingga diberi jawatan memimpin 8 atau 16 orang berzikir dan memukul rebana selama perarakan. Selain itu, pada malam berhinai besar, Tuan Imam Lingga juga diminta memimpin 5 orang haji anak merdeheka untuk menjawatkan surat maulud serta lampunya, dan tempat baranya.

Sampai di istana Damnah rombongan berarak mempelai tersebut disambut oleh Datuk Indraguru Jawatan Istana. Berliau turun menerima rombongan di muka perlawaan [tempat membayar upah pembuka lawa atau kain perintang penghambat mempelai naik ke istana] di pintu perdalaman atau istana Damnah

Di muka pintu perdalaman itu, yakni dibawah khemah Tuan Hakim Raja Haji Muhamd, berbaris para pemegang jawatan istiadat seperti: Raja Haji Ishaq Amir Karimun, Tengku Mahmud, dan Raja usman Pahlawan Bahtera.

Dibawah khemah (tenda) itu pula berdiri Datuk Kaya Mepar memegang ceper perak perlawaan (penghambat) yang berisikan tali cindai penghambat didampingi seorang anak merdeheka yang memegang batil wang perlawaan (uang tebus pembuka lawa atau palang penghambat).***

Artikel SebelumPakai Patut Melayu, Buku Panduan Pakaian Orang Melayu
Artikel BerikutMetafora dalam Pantun
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan