BAGAIMANAKAH adat resam berpakaian cara Melayu? Bagaimana sejarah baju kurung Teluk Belanga dan Cekak Munsang yang populer jadi pakaian orang Melayu di rantau ini? Dan pengaruh apa yang disauk dari pakaian ala Barat oleh cara berpakaian orang Melayu? Dalam sebuah buku cetakan lama yang berjudul Patut Pakai Melayu terdapat jawabannya.
Mohd Said Sulaiman
Buku Patut Pakai Melayu tercap atau dicetak secara tipografi menggunakan huruf jawi atau huruf Arab Melayu oleh Mathba’ah al-‘Athas di Johor Baharu pada tarikh 1349 H bersamaan dengan tahun 1931 M.
Nama lengkap pengarangnya adalah Mejar (Mayor) Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman, seorang pejabat kerajaan Johor pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim ibni Abu Bakar, yang jabatan terakhirnya adalah setiausaha sulit (sekretaris rahasia) Sultan Johor. Jabatan ini disandangnya selama 40 tahun, dan ia pensiun pada 18 Mei 1952.

Mejar Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman lahir di Teluk Belanga, Singapura pada 1876. Ia adalah salah seorang tokoh penting dalam dunia persuratan (tulis menulis) Melayu di Johor pada awal abad ke-20. Beliaulah yang menghidupkan kembali ‘organisasi’ Pakatan Bahasa Melayu Persuratan Buku Diraja Johor (Pakatan) pada tahun 1934.
Beliau hidup sezaman dengan pandita Za’ba dan Said Syekh al-Hadi Wan Anom (salah seorang tokoh penting dalam sejerah kepengarangan Riau-Lingga). Selain buku Pakai Patut Melayu, sumbangan penting Mejar Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman dalam dunia persuratan Melayu penting bagi kawasan Johor-Riau-dan Lingga adalah: Hikayat Queen Victoria, Hikayat Johor, dan Hikayat Almarhum Sultan Abu Bakar.
Edisi huruf Arab Melayu buku Patut Pakai Melayu telah dialihaksarakan ke dalam huruf rumi atau latin oleh Khatijah Hashim dan diterbitkan dengan judul yang sama oleh Penerbit University Kebangsaan Malaysia pada tahun 2008.
Teluk Belanga dan Cekak Munsang
Pada masa kini, di Johor dan Kepulauan Riau khususnya, dua baju adat Melayu yang sangat populer adalah baju kurung Teluk Belanga dan baju kurung Cekak Munsang. Model Teluk Belanga mempunyai variasi untuk perempuan dan laki-laki. Sedangkan model Cekak Munsang hanya dipakai khusus untuk laki-laki saja.
Menurut Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman, baju kurung Teluk Belanga pada mulanya diperkenalkan di Singapura ketika Temenggung Abubakar ditabalkan menjadi Temenggung Johor menggantikan ayahanda, Temenggung Ibrahim Sri Maharaja, pada 1862.

Nama baju kurung itu mengambil kebesaran nama kawasan kediaman Temenggung Johor di daerah Teluk Belanga, Singapura, yang kini lebih dikenal sebagai Harbour Front. Nama itu juga dipilih untuk membedakan dengan “baju lain-lain … seperti baju pesak sebelah, baju kurung, baju belah, baju kebaya, dan sebagainya.”
Dalam sosoknya yang paling awal, baju kurung Teluk Belanga mempunyai ciri khas sebagai berikut: labuh–nya (bagian bawah baju) bagi laki-laki posisinya bawah pinggang dan bagi perempuan di bawah lutut; alas leher bagi laki-laki lebar dan bagi perempuan halus; sedangkan kocek atau saku baju bagi laki dua, dan bagi perempuan tanpak kocek.
Dalam perkembangannya, model awal baju kurung Teluk Belanga diubah lagi pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim ibni Abu Bakar: labuh baju bagi baju laki-laki berada pada pososo aras pinggang dan baju perempuan aras lutut; leher baju laki-laki dan perempuan halus; sedangkan kocek baju perempuan satu.
Begitu pula halnya baju kurung Cekak Munsang, juga bermula di Teluk Belanga, Singapura. Asalnya adalah satu corak baju Melayu yang pada masa dahulu disebut ‘baju Wan’, yang penamaannya berpunca dari nama seorang penduduk Teluk Belanga, yaitu Haji Wan Othman yang nama timang-timangannya adalah Haji Busu atau Tuan Busu. Pada suatu hari Haji Wan Othman menghadap raja memakai baju Cekak Munsang yang dibuat dari kain yang baik. Raja berkenan melihat baju itu, karena dapat dipasang beberapa butang (kancing baju) dari emas atau permata.
Oleh karena raja berkenan, maka ditentukanlah baju Cekak Munsang itu, yang asalnya adalah baju orang kebanyakan yang diberi kerah baju berdiri dengan bagian bawah leher bertutup, dipakai bagi anak-anak raja dan orang-orang besar dalam istiadat-istiadat istana di Johor: itulah asal baju kurung Cekak Munsang yang populer dipakai oleh orang Melayu di Kepulauan Riau, Singapura, Tanah Semenanjung, Brunei, rantau Melayu sekitarnya pada masa kini.
Panduan Pakaian Melayu
Dalam bahasa Melayu, kata pakai mempunyai cakupan makna kontesktual dan leksikal yang cukup luas dan beragam. Secara kontekstual, kata pakai dapat bermakna: membubuhi, menjalankan, mematuhi, wajib, menegahkan akan sesuatu, dan lain sebagainya. Contohnya seperti tersirat dalam larik pantun berikut ini: Jika hendak mulutnya manis / Dengar-dengan dipakai jangan.
Secara leksikal, makna pertama kata pakai adalah menggunakan, mengenakan, dan memakai, yang di dalamnya terkandung ‘makna intrinsik’ tentang cara menggunakan sesuatu. Sebaliknya, ketika kata pakai berubah bentuk menjadi pakaian, maka maknanya tidak hanya sebatas baju dan celana yang dipakai di badan sesorang, tapi juga segala kelengkapan dan perhiasan, beserta aturan yang mengikutinya. Dalam konteks ini, pakaian juga mengandungi makna susuatu yang biasanya digunakan, amalan, kebiasaan, dan lain-lain, seperti tersirat dalam ungkapan untuk menyebutkan sifat buruk seseorang : “mencarut, memaki, memanglah pakaiannya”.
Demikianlah, buku klasik yang berjudul Pakai Patut Melayu yang disusun oleh Mejar Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman ini mengadungi berbagaikan penjelasan tentang bentuk dan model baju orang Melayu di Johor yang dikaitkan serta kebiasaan penggunaannya serta aturan yang patut dan tak patut dalam aturan berpakaian orang Melayu.
Dalam pendahuluannya yang ditulis di Johor Baharu, pengarang buku ini menjelaskan maksud dan tujuan ia mengarang buku Pakai Patut Melayu sebagai berikut: “Adalah risalah ini dikarang supaya jadi suatu panduan atas mereka yang belum dapat ketahui akan tertib pakaian Melayu. Terutamanya yang dipakai dalam [daerah] Johor bagi masa yang ada [zaman ketika risalah ini ditulis] dan bagi menjadi suatu ingatan pada tempoh yang di belakang [masa yang akan datang], kiranya berlaku apa-apa perubahan atau pindaan [perbaikan] sama ada sedikit atau banyak.”
Selaian itu, buku cetakan lama ini juga cukup lengkap menjelaskan perihal sejarah, jenis, dan aturan memakai pakaian cara orang Melayu beserta kelengkapannya, fungsinya, jenisnya: mulai dari pakaian orang laki-laki dan perempuan dewasa hingga kanak-kanak laki-laki dan perempuan.
Dalam buku klasik ini, dijelaskan pula bagaimana pengaruh budaya orang putih (orang Barat) dalam berpakaian terhadap cara berpakaian dan model pakaian orang Melayu di Johor dan Singapura. Ragam model pakaian Barat ini, terutama pakaian ala Inggris, seperti seluar pentolan dan jaket bertutup leher dipadu-padankan oleh orang Melayu di Johor dan Singapura dengan kain sarung dan songkok.
Menurut Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman, di Johor dan Singapura pada awal abad ke-20, ‘pakaian kacukan’ Melayu dan Barat ini dipakai oleh orang-orang kecil hingga orang besar-besar ketika pergi ke pajabat (kantor) dan ketika bercampur (bergaul) dengan orang putih.
Buku Patut Pakai Melayu ini dicetak setebal 50 muka surat, dan terdiri dari 7 Bab. Sebagai ilustrasi, Bab I umpamanya menjelaskan: Asal Baju Kurung Laki-Laki, seluar, kain sarung bagi laki-laki, pakaian kepala bagi laki-laki, pakaian kaki, baju cekak munsang, pakaian dalam istiadat raja, pakaian larangan, pakaian sekata, pakaian sedondon, dan baju perhiasan.
Dalam Bab II hingga Bab VI, secara berturut-turut dijelaskan perihal: pakaian kehormatan cara budaya Barat dan pengaruhnya terhadap cara berpakaian orang Melayu; pakaian bagi anak laki-laki dan perempuan; baju kurung Teluk Belanga bagi perempuan dan ragam pakaian perempuan lainnya; perihal pakaian Barat bagi perempuan Melayu; dan perihal pakaian bagi anak-anak perempuan ketika bersekolah.
Kesudahan buku ini ditutup dengan sejumlah peringatan dan nasehat pengarang kepada kaum laki-laki dan perempuan Melayu tentang amalan, resam, kebiasaan, atau pakaian yang patut dipakai dan yang tidak patut dipakai oleh orang Melayu.***