
Sejak abad ke-16, masnawi (sejenis puisi dalam kesusastraan Parsi) berjudul Mantiq at-Tayr atau ‘Musyawarah Burung’ karya Faraduddin Attar telah mempengaruhi penciptaan syair-syair agama karya para sufi penyair di Alam Melayu yang kaya dengan pembayang-pembayang simbolisasi pencarian manusia akan Tuhannya.
Di Alam Melayu, masnawi karya Attar itu hadir ‘secara langsung’, atau melalui perantaraan Syair Si Burung Pinggai karya penyair sufi asal Barus, Hamzah Fansuri. Di Kerajaan Riau-Lingga, syair ‘musyawarah para burung’ itu juga hadir dalam versi yang lain pada pertengahan abad ke-19 melalui Syair Burung, karya Raja Hasan ibni Raja Ali Haji yang berasal dari Pulau Penyengat.
Manuskrip dan Litografi
Satu-satunya manuskrip Sjair Boerong dalam bentuk salinan yang diketahui keberadaannya, kini ada dalam simpanan Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteitsbibliotheek) di Negeri Belanda. Teuku Iskandar dalam volume pertama Catalogue of Malay, Minangkabau, and Sout Sumatran Manuscripts in The Netherlands (1999: 742), mencatatnya sebagai bagian dari koleksi manuskrip Melayu milik H.C. Klinkert dengan nomor katalogus KI. 171.
Manuskrip ini, adalah bagian dari sekumpulan manuskrip Melayu yang dikumpulkan, atau tepatnya dibeli, oleh H.C. Klinkert selama ia bermastautin di Negeri Riau, Tanjungpinang, sempena mempelajari bahasa Melayu dan memperbaiki terjemahan kitan Injil ke dalam bahasa Melayu pada tahun 1869.
Menurut catatan Klinkert, yang tertera pada halaman judulnya, syair ini pada mulanya adalah milik Majlis Injil Belanda (Eigendom van Het Nederl. Bibel Genootsch), yang kemudian diserahkan kepada Perpustakaan Universitas Leiden: Klinkert membelinya di Tanjungpinang seharga f 3.50. Salinan manuskrip ini ditulis pada lembaran kertas kertas Eropa berwarna biru muda (dengan tanda air (water mark) S & M (SMITH & MEYNIER FIUME) yang dijilid dan telah diberi kulit karton tebal ukuran 20,5 x 16,5 cm. Kesuluruhan isi syair ini ditulis dalam format dua kolom pada 48 muka surat menggunakankan tinta hitam. Tulisan tangannya kemas dan jelas terbaca.
Sebagaimana catatan H.C. Klinkert pada halaman judulnya, pengarang atau tepatnya penggubah (opgesteld) syair ini adalah Raja Hasan ibni Raja Ali Haji dari Pulau Penyengat yang mnggubahnya pada tahun 1859: Opgesteld door Radja Hasan zoon van Radja Ali Hadji van Penjingat in 1859.
Kecuali judul syair yang ditulis menggunanakan tulisan rumi ejaan lama, Sjair Boeroeng; seluruh isi syair ini sejak dari awal hingga bagian penghabisannya ditulis menggunakan huruf Arab Melayu atau tulisan Jawi.
Selain dalam bentuk manuskrip, Sjair Boerong karya Raja Hasan juga ditemuka dalam format edisi cetak litografi (teknik cetak batu: sejenis teknik cetak offset yang sangat kuno) dengan judul yang lain. Ian Proudfoot dalam Early Malay Printed Books (1992: 532), mencatat dua eksemplaar versi lain Sjair Boerong dengan judul Syair Unggas Soal Jawab yang kini berada dalam simpanan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta dan perpustakaan School of African and Oriental Studies (SOAS) di London, Inggris, sebagai buah karya Raja Hasan dari Negeri Riau, Pulau Penyengat.
Informasi bibliografis yang disuguhkan oleh Proudfoot menyebutkan edisi litografi tersebut disalin oleh Husain bin Musa Terengganu Tukang. Salin tersebut kemudian diterbitkan oleh Syaikh al-Hajj Muhammad Nuh bin Haji Ismail ahl al-Badawi Juwana di daerah Kampung Kalang Lorong Luaran, Kawasan Masjid Sultan Ali, Singapura. Syair Burung dalam format lotografi yang juga ditulis menggunakan huruf Arab Melayu ini berukuran 20 x 15 cm, dengan tebal 43 halaman. Verisi litografi syair ini selesai dicap atau dicetak pada hari Khamis 10 Zulkaedah 1289 AH bersamaan dengan 9 Januari 1873 CE.
Raja Hasan ibni Raja Ali Haji
Silsilah Upu Bugis-Melayu yang disusun oleh Raja Adnan bin R.H. Salman (1985: 7), mencantumkan susur galur Raja Hasan sebagai anak Raja Ali Haji, pengarang Gurindam 12, dengan istrinya yang benama Raja Halimah binti Raja Jakfar Yang Dipertuan Muda Riau ke-VI (1808-1832).
Raja Hasan adalah satu-satunya anak laki-laki Raja Ali Haji dengan Raja Halimah. Selain Raja Sulaiman atau Raja Bih, Raja Hasan adalah salah satu dari dua anak laki-laki Raja Ali Haji yang mengikuti jejaknya dalam dunia persuratan Melayu abad 19.
Di mata Raja Ali Haji, Raja Hasan adalah anak laki-lakinya yang menempati tempat istimewa sebagai anak kesayangan. Ia memang telah dipersiapkan untuk menggantikannya sebagai cendekiawan Islam dan dalam kerja tulis-menulis kelak dikemudian hari.
Tentang harapannya kepada Raja Hasan, Raja Ali Haji menjelaskan dalam sepucuk surat bertarikh 28 Maret 1870 yang ditujukannya kepada Hermaan von de Waal di Tanjungpinang. Ketika itu Raja Hasan sakit, dan dalam suratnya Raja Ali Haji melauahkan isi hatinya kepada Von de Wall: “…Sebab pun demikian itu, karena itulah anak yang boleh diharapkan boleh menggantikan saya barang satu pekerjaan saya, baik pada hal ikhwal pengajian, atau pada pekerjaan lainnya yang khas pada pekerjaan saya. Maka dari karena inilah, apabila ia mendapat suatu kesusahan, saya pun susah juga lah. Karena banyak pekerjaan saya tertahan karenanya, adanya.”
Raja Ali Haji sememangnya melibatkan Raja Hasan dalam kerja-kerja literasi dan aktifitas intelektualnya. Begitu juga ketika ia membantu von de Wall menyusun kamus Bahasa Melayu- Bahasa Belanda di Tanjungpinang.
Perihal keterlibatan Raja Hasan dalam kerja-kerja intelektual Raja Ali Haji dengan von de Wal dijelaskan dalam sepucuk surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall bertarikh 9 Februari 1868: “…Maka lepas Ramadan ini pula memulai juru2 tulis menyurat tiada berhenti. Adalah yang menjaganya dan memeriksanya supaya bersamaan dengan burangan yang saya perbuat itu, serta menjagai lebih kurangnya huruf kalimahnya, yaitu anak saya sendiri yang sudah dapat ilmu sedikit2 di dalam pelajaran yaitu Raja Hasan…”
Gubahan Raja Hasan

Satu-satunya informasi tertulis tentang Raja Hasan ibni Raja Ali Haji sebagai penggubah Syair Burung adalah sepenggal catatan bibliografis oleh H.C. Klinkert pada halaman judul salinan syair itu. Belum ada penjelasan dan sumber lain yang dapat membantah catatan Klinkert tersebut.
Analisis-analisis filologis tentang syair ini yang dipaparkan oleh V.I. Braginsky dalam Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad ke 7-19 (1998: 516-524) juga memberikan informasi tambahan yang memperkaya pengetahuan kita tentang penggubah syair ini.
Menurut Braginsky, Sjair Boerong karya Raja Hasan, adalah salah satu varian dari resensi kedua dalam kelompok pendekatan kedua dan model adaptasi penyair-penyair Melayu terhadap masnawi berjudul Mantiq at-Tayr karya Faraduddin Attar.
Namun berbeda dengan resensi pertama, seperti Syair Si Burung Pinggai Karya Hamzah Fansuri atau Syair Bayan Budiman yang lebih mendekati karya Attar, maka Syair Burung karya Raja Hasan, dan semua syair burung yang sejenisnya dengannya tidak begitu membicarakan ajaran tasawuf dan pencarian Tuhan oleh anak manusia yang dilambangkan dengan Simurgh, Burung Pinggai, atau Poenix. Ianya lebih kepada percakapan atau soal jawab tentang hukum Islam (fikih), iman, Islam, tauhid, hakikat, dan makrifat.
Bgraginsky juga menemukan bahwa Sjair Boerong yang paling tua sebagai hasil salinan syair yang lebih tua lagi (sejenis dengan Syair Burung karya Raja Hasan) adalah berasal dari tahun 1826, dan kini tersimpan di Paris.
Oleh karena itu, Braginsky menyimpulkan bahwa Raja Hasan bukanlah pengarang asli Sjair Boerong. Yang lebih mungkin, ia hanya menyalin salah satu naskah resensi kedua, atau menggubah salah salah satu variannya. Braginsky menambahkan, “dalam sastra Melayu tradisional kedua prose tersebut hampir sama belaka”.
Semua watak dalam syair ini adalah burung, yang dalam khazanah tradisi sastra sufi merupakan personifikasi dari roh manusia atau manusia dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini jelas dinyatakan oleh Raja Hasan dalam salah satu bait pembuka syairnya: Itulah masa sahya mengarang/ Daripada duduk seorang-orang/ Menulis bukan sebarang-barang Unggas tu seperti umpama orang.
Terdapat lebih dari tiga puluh burung yang memainkan peran dalam bersoal-jawab perkara-kara iman dan ilmu agama dalam Sjair Boerong ini, seperti: burung Helang, burung Dewata, burung Jantayu, Merpati, Murai, Bayan, Baladu, Ketitiran, Tiung, Merak, burung Rawa, Belatuk, Punai, Camar, Gagak, Cendrawasih, burung Pergam, burung Nuri, dan lain sebagainya.
Dari semua burung itu, maka burung Nuri adalah yang utama dan yang terpandai. Teuku Iskandar ( 1996: 567) memperkirakan bahwa Nuri yang menjadi salah satu watak utama dalam syair ini adalah perlambang nur, dalam pengertian, Nur Muhammad. Ia juga menambahkan bahwa isi Sjair Boerong gubahan Raja Hasan tak terlalu berbeda dengan isi Syair Siti Sianah karya Raja Ali Haji.
Dalam Syair Burung karya Raja Hasan, pembukaan kisah para burung bersoal-jawab perkara ilmu dan agama ini diawali dengan dengan bait syair sebagai berikut: Adalah konon suatu cerita/ Sekalian unggas dari angkasa/ Pandai bermadah berkata-kata/ Bersoalkan ilmu supaya nyata.
Sebagai ‘pembuka kata’ dalam soal-jawab para burung ini dimulai oleh burung Helang dengan mengemukakan pentingnya berguru mengaji agama ketimbang risau memikirkan harta, yang kemudian disahut oleh burung Dewata.
Akhir keseluruhan syair yang terdiri dari lebih 432 bait syair ini ditutup dengan bait syair sebagai berikut: Terbanglah puntu tinggi mengawan/ Terbang mencari saudaranya tuan/ Sahya menyurat tiada ketahuan/ Habislah sudah ceritanya tuan.***