RENDRA SETYADIHARJA
Pemantun dan Akademisi
BAGI sebagian kalangan, bulan April adalah sebuah bulan yang unik karena tersedia sebuah hari dimana manusia boleh berbohong atau boleh mengerjai orang lain dengan tipu helah sikap, ucapan dan perbuatan.
Hari itu sering kita sebut dan kita kenal dengan April Mop. Namun, bulan April bagi sebagian kalangan, khususnya bagi seniman pantun pernah menjadi hari bersejarah. Baik bagi hidup pemantun tersebut, atau bagi Kota Tanjungpinang.
Ada kejadian apakah di bulan April, sehingga para pemantun mengganggapnya sangat istimewa. Tulisan kali ini merupakan sebuah catatan yang penulis sendiri terlibat secara aktif di dalam peristiwa ini.
Tepatnya 10 tahun yang lalu, yaitu tanggal 28-29 April 2008, tujuh orang pemantun berjuang untuk sebuah marwah bagi kota tercinta yaitu Kota Tanjungpinang. Berjuang menahan kantuk, berjuang menahan malas, berjuang untuk terus berkonsentrasi, berjuang demi merebut sebuah gelar bagi kota tercinta.
Lewat sebuah peristiwa yaitu, Pemecahan Rekor MURI Berbalas Pantun Terlama selama 6 Jam Tanpa Henti, yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama Pemerintah Kota Tanjungpinang dan Yayasan Panggung Melayu. Sebuah rekor berbalas pantun terlama pertama yang diperoleh oleh Kota Tanjungpinang.
Dengan perhelatan tersebut. Kota Tanjungpinang yang dikenal sebagai Kota Gurindam maka bertambah lagi gelarnya yaitu Negeri Pantun. Maka Kota Tanjungpinang lengkap dan resmi bergelar Kota Tanjungpinang, Kota Gurindam, Negeri Pantun.
Tujuh orang pemantun itu adalah Teja Al Habd yang pada waktu itu berperan sebagai juru hebah, yaitu orang yang bertugas mengatur jalannya berbalas pantun antar pemantun.
Kemudian enam orang pemantun yang selama 6 jam tanpa henti berbalas pantun tanpa ada jeda sedikit pun, tiga pemantun pertama adalah saya, Alm. Taufik Akbar, dan Amran Syahidid yang tergabung menjadi satu kelompok yang diberi nama kelompok Hang Jebat.
Kemudian ditambahkan tiga pemantun lagi yaitu Muharroni, Mukhtar dan Syamsu yang tergabung kedalam sebuah kelompok yang diberi nama kelompok Hang Tuah. Di waktu itu, kedua kelompok tersebut saling berbalas pantun dengan teknik saling menjualkan pantun dan menjawab pantun. Pantun yang dijual atau ditanyakan selama 6 jam itu terdiri dari beragam tema, mulai dari percintaan, adat istiadat, isu lingkungan, isu kaum muda, isu perkawinan adat Melayu, jenaka dan isu sosial lainya yang kemudian diolah dan terus berbalas selama 6 jam.
Unik dan hebatnya lagi, bahwa berbalas pantun selama 6 jam tanpa henti ini dilakukan dengan spontan. Artinya pantun yang tercipta dengan tema-tema yang dijelaskan di atas, tersusun pada saat di atas panggung, pemantun tidak sama sekali menyiapkan pantun atau menghafal pantun, akan tetapi pantun itu mengalir dengan spontan dan deras dari pemantun pada saat mereka berpantun di atas panggung.
Waktu perhelatan berbalas pantun di masa itu terbilang cukup berat. Dimulai pada tanggal 28 April 2008 tepatnya pada pukul 23.00 WIB dan selesai pada tanggal 29 April 2008 pada pagi hari tepatnya pukul 5.00 pagi WIB. Pemantun pada saat itu berkeinginan untuk meneruskannya hingga pukul 07.00 pagi Wib, namun pihak MURI menjelaskan bahwa rekor yang diinginkan sudah terpecahkan sehingga perhelatan pun diselesaikan, dan resmi tercatat berbalas pantun terlama selama 6 jam tanpa henti.
Kegembiraan Pemerintah Kota Tanjungpinang, Yayasan Panggung Melayu dan para pemantun Kota Tanjungpinang menjadi lengkap saat Piagam Rekor MURI Berbalas Pantun Terlama Selama 6 Jam Tanpa Henti itu diserahkan langsung oleh Pimpinan MURI, Jaya Suprana di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 29 April 2008.
Piagam itu diserahkan kepada para Pemantun yang telah berhasil memecahkan rekor tersebut, selain itu juga diserahkan kepada Penyelenggara Acara Festival Pantun Serumpun yaitu Asrizal Nur dan kepada Walikota Tanjungpinang periode 2008-2013 yaitu Hj. Suryatati A. Manan. Acara perhelatan pemecahan rekor MURI Berbalas Pantun terlama ini juga disejalankan dengan Festival Pantun Serumpun Se-Asia Tenggara. Dimana juga diselenggarakan acara lomba berbalas pantun antar provinsi dan negara serumpun yang masih kental akan budaya berbalas pantun, seperti Kalimantan Barat, Jambi, Riau, Sumatera Utara, dan juga negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.
Tak hanya Lomba berbalas pantun, acara seminar pantun juga dihelat dengan menampilkan salah satu pemateri, Alm. Tusiran Suseno yang telah menulis dan menerbitkan buku Mari Berpantun yang diterbitkan oleh Yayasan Kesenian Riau Jakarta dan Pemerintah Kota Tanjungpinang pada tahun 2003.
Pada acara puncak pada tanggal 29 April 2008 diselenggarakan sebuah penampilan opera yang diberi judul Opera Pantun. Perhelatan ini unik daripada opera yang standar-standar saja, karena menggunakan pantun sebagai dialog dan narasi. Kemudian juga dihiasi dengan musik dan tarian Melayu.
Para pemainnya sebagian besar adalah para pemantun pemecah Rekor Muri Berbalas Pantun Terlama selama 6 jam tanpa henti, budayawan Kota Tanjungpinang seperti Datuk Ali pon yang tercatat sebagai maestro pantun, kemudian juga dimeriahkan dengan tarian Melayu yang disajikan oleh penari-penari dari Jakarta, serta penampilan nyanyian Melayu yang dinyanyikan oleh penyanyi Melayu terkenal yaitu Darmansyah. Lakon dan naskah Opera Pantun ini disutradarai oleh Asrizal Nur dan naskahnya ditulis oleh Alm. Tusiran Suseno.
Zapin Sri Gading, Lirik Pantun oleh Teja Alhabd, Penampilan khas Darmansyah saat Opera Pantun tahun 2008
Kini, 10 tahun perhelatan itu berlalu sudah. Sudah 10 tahun juga Kota Tanjungpinang bergelar Kota Gurindam Negeri Pantun. Bagaimana nasib pantun saat ini dan di masa depan? Akankah kejayaan pantun yang sangat meriah di bulan April 2008 itu akan terulang kembali? atau kisah ini hanya menjadi catatan sejarah dari orang yang ikut dan menjadi saksi perhelatan itu ? tepuk dada tanya selera. Apakah “Negeri Pantun” hanya tinggal gelar yang dulu pernah ada dan kemudian akan tergantikan ?.
Dari catatan refleksi 10 Tahun Rekor MURI Berbalas Pantun ini harusnya menjadi sebuah ingatan, bahwa pantun adalah salah satu karya sastra dan juga karya peradaban yaitu sebuah komunikasi bangsa Melayu yang takkan pernah hilang ditelan zaman dan takkan terganti dengan pergantian kepemimpinan politik.
Pantun harusnya menjadi jiwa dan bagian dari bangsa Melayu sampai kapanpun. Pantun adalah cerminan kesopanan komunikasi yang tak hanya sekedar karya sastra namun ia adalah petuah, nasehat dan jiwa dalam bangsa Melayu.
Jika tak ingin Melayu hilang dibumi, maka salah satunya adalah jangan menghilangkan pantun dari bagian kemelayuan itu sendiri. Menjaga pantun sama dengan menjaga tradisi komunikasi bangsa Melayu, dan menjaga adat istiadat kesopanan dan kesantunan bermadah.***