Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Hasan Junus wafat mewariskan tulisan. Di Perpustakaan Raja Muhammad Yusuf Ahmadi, warisan Hasan itu tersimpan
SEPOTONG undangan dari Perpustakaan Raja Muhammad Yusuf Ahmadi mengusik Aswandi Syahri. Sejarawan berkaca mata ini tak sabar memenuhinya. Bunyinya: silakan datang, kami punya arsip-arsip berkenaan Hasan Junus
Matahari belum lagi tinggi, Aswandi sudah bergegas ke perpustakaan daerah milik Pemerintah Provinsi Kepri di Jalan Basuki Rahmat ini. Sembari menunggu tuan rumah, ia meluru ke ruang koleksi khusus di lantai dasar. Di sini, mata Aswandi memindai buku-buku koleksi Hasan Junus yang sudah berpindah tangan menjadi milik perpustakaan. Ia berdecak. Tak yakin jikalau semua buku di perpustakaan pribadi Hasan Junus di Pekanbaru sudah berpindah ke Tanjungpinang. “Hasan Junus itu bukunya banyaaak,” ungkapnya, Kamis (22/3) kemarin.
Yang didapati Aswandi di rak-rak yang terpacak di sana, memang segelintir belaka. Itu pun bercampurbaur dengan koleksi hibah Daoed Kadir. Tak sekali, Aswandi menyesalkan hal semacam ini bisa terjadi di perpustakaan sentral milik pemerintah ini. “Harusnya, dibeda-bedakan antara milik Daoed Kadir dan Hasan Junus. Dipisah raknya,” ucapnya.
Sepuluh menit puas memindai judul-judul buku di ruang koleksi khusus, datang Habibi Rohan. Ia pustakawan yang menuliskan undangan kepada Aswandi. “Saya belum pernah lihat Bang Aswandi main ke sini,” ucap Habibi sembari berkenalan dengan Aswandi. Pengakuan pertama Habibi, ia baru kali ini bersemuka dengan Aswandi. Selebihnya, hanya berkutat pada artikel-artikel sejarah yang tayang di media massa. Yang menarik kala itu, Habibi datang tidak dengan tangan kosong. Ada sebundel kertas kuning tua yang menyita perhatian.
“Ini,” kata dia, “makalah karya Hasan Junus.”
Aswandi lekas meraih. Sepasang matanya lekas menyelisik lebih dalam bundel makalah itu. Ia juga memeriksa tarikhnya. Dalam pandangan Aswandi, makalah yang dijilid bersama milik Korrie Layun Rampan ini hasil sebuah seminar. Aswandi bertanya, dari mana makalah yang ditulis menggunakan mesin ketik didapat. Habibi menjawab, “Ruang arsip kami menyimpan lebih banyak dari ini.”
Apalagi yang ditunggu. Habibi membimbing Aswandi menuju Depo Arsip. Tidak banyak atau malah tidak ada pengunjung yang pernah punya kesempatan melihat ruang ini. Letaknya di sayap lain Gedung perpustakaan. Sekali pintu kaca itu dibuka, yang terlihat adalah rak-rak besi berisikan kotak-kotak cokelat yang berbaris rapi. Jumlahnya cukup melelahkan untuk dihitung.
Namun, perhatian Aswandi sudah terbetot pada dua boks yang sudah diturunkan ke meja. Di dalamnya, ada bundel-bundel bersampul kertas padi cokelat.
“Boleh dibuka, kan ini?” Aswandi meminta izin. Habibi mempersilakan.
Yang dibuka Aswandi adalah bundel dari sebuah boks bertuliskan Arsip Hasan Junus 2013. Setahun setelah berpulangnya budayawan prolifik ini, Aswandi “menghasut” Pemprov Kepri agar membeli seluruh koleksi buku dan juga manuskrip-manuskrip milik Hasan Junus. Rayuan maut itu terpenuhi. Dan apa yang sedang ada di hadapan Aswandi adalah hasil hasutannya pada alm. Gubernur Sani waktu itu.
Simpul pita sudah terbuka. Aswandi meraih sebuah buku tulis. “Ini sangat penting ini,” katanya sembari membuka lembar demi lembar.
Di situ ada semacam catatan harian Hasan Junus, lengkap dengan tarikhnya. Ada pula sebagian lain berupa surat-surat kepada Hasan Junus. Belum lagi manuskrip-manuskrip karya. Baik itu karya sastra terjemahan (spesialisasi Hasan Junus), sampai dengan esai-esai Hasan Junus. Ada pula buku yang berisikan aksara Kanji. Di buku lain, berisikan pula kliping-kliping segala berkenaan sastra dari pelbagai bahasa asing. Kemudian, di sebelahnya diterakan terjemahannya.
Dan … semua itu merupakan tulisan tangan Hasan Junus. Mata Aswandi berbinar-binar. Sudah lama ia mengenal Hasan Junus, namun tidak pernah mampu melihat lebih dalam proses kreatif di sebalik karya terbilang Om Hasan, panggilan akrab Aswandi kepada Hasan Junus.
Bagi Aswandi, secara pribadi ini menyenangkan bisa menilik Hasan Junus lebih dekat. Namun, lebih daripada itu, ada banyak hal lain yang bisa terungkap lewat dua boks arsip pribadi Hasan Junus. “Selain tentu saja menerbitkan karya-karyanya yang bersumber dari dua kotak ini,” ungkapnya.
Mengintip Proses Kreatif
Satu di antara banyak hal yang bisa dituai manis dari terungkapnya dua boks arsip Hasan Junus ini adalah mengintip proses kreatifnya. Siapa meragukan kualitas penulisan seorang Hasan Junus? Rasa-rasanya nyaris semua penulis di Alam Melayu
berhutang-rasa pada budayawan kelahiran Penyengat pada 1941 ini. Boleh dikata, ia adalah juru penerang penulis semasanya agar lebih membuka mata dengan karya karya sastra dari pelbagai penjuru dunia.
Bukan sesuatu yang asing. Mengingat Hasan Junus menguasai sejumlah bahasa asing. Dari manuskrip yang diperlihatkan itu, terlihat betapa fasih seorang Hasan Junus dalam berbahasa Belanda, Jerman, Latin, Jepang, dan sudah pasti Inggris.
Jika kebanyakan dari penulis hari ini menerjamahkan dari bahasa Inggris. Hasan lebih gemar menerjemahkan dari bahasa langsung karya sastra tersebut dituliskan.
Terlihat, ada kliping artikel-artikel sastra berbahasa asing yang dilekatkan dalam buku tulis kemudian ia menerjemahkan di sebelahnya.
Aswandi mengungkapkan, Hasan Junus tidak begitu piawai dengan peranti ketik elektronik. “Dulu, sering minta dibelikan buku tulis dan pena,” kenangnya.
Ketangguhan Hasan Junus dalam menulis juga tersingkap dari boks arsipnya yang masih tersimpan rapi itu. Terlihat di beberapa buku tulis, ada yang terisi penuh. Ia sanggup menulis tangan panjang-panjang, rapi-rapi pula, karya-karyanya. Sebuah
cerminan bahwasanya ketersediaan kemajuan teknologi tidak pernah sejalan lurus dengan kualitas satra yang dihasilkan penulis kekinian.
Habibi juga tidak kalah kagum mendapati fakta yang terungkap dari boks arsip tempatnya bekerja ini. “Luar biasa memang Hasan Junus ini,” katanya sembari ikut membolak-balik manuskrip Hasan Junus.
Selama ini, atau nyaris setengah dekade, manuskrip ini tak pernah tersentuh. Dan kini, bersama orang yang tepat, manuskrip Hasan Junus dibuka bersama Aswandi Syahri. Lebih spesial lagi menyambut Haul Hasan Junus pada 30 Maret nanti.
“Saya kira dari sini, bisa ditindaklanjuti dengan penelitian mengenai manuskrip manuskrip ini. Saya juga yakin ada banyak hal yang bisa diungkap,” ujarnya.
Aswandi sepakat. Manuskrip akan tinggal manuskrip jika tidak diteliti untuk kemudian mengungkap sesuatu yang baru. Namun, tidak bisa dalam waktu singkat. Menurut Aswandi, hal pertama yang perlu dilakukan adalah inventarisasi ulang sesuai dengan kaidah yang tepat, kemudian digitalisasi agar manuskrip ini bisa lebih mudah diakses, dan kemudian disalin untuk dilakukan penelitian.
“Sangat riskan kalau pakai manuskrip asli, takut rusak,” ungkapnya.
Dari sini, Aswandi melihat perlu urun daya dari pemerintah daerah untuk menyatakan dukungan terhadap penelitian manuskrip Hasan Junus. Dinas Kebudayaan atau Dinas Perpustakaan atau Dewan Kesenian, kata dia, harus ambil peduli terhadap manuskrip ini.
Memang, diakui Aswandi, ini bukan kerja mudah. Namun, bukan tidak mungkin dilakukan. Kata dia, apalah arti setahun dua jika kelak yang terungkap dari manuskrip Hasan Junus merupakan warisan tak berperi dari seorang budayawan terbesar di alam pikir Melayu Riau yang belum tergantikan sampai hari ini.
“Kita berutang budi terlampau banyak dengan Hasan Junus. Entah dengan apa cara paling tepat untuk berterima kasih atas jasa-jasanya,” ucap Aswandi.
Jika memang meneliti warisan Hasan ini adalah sepersekian cara mengungkapkan terima kasih, mengapa tidak untuk diseriusi oleh pemerintah daerah atau pihak swasta yang mau peduli. Pertanyaan paling paripurna: Adakah?*** (fatih muftih)