Halaman pertama Tuhfat al-Nafis edisi R.O. Winsted, 1932, koleksi Perpustakan Nasional Republik Indonesia.

PUJANGGA prolific Raja Ali Haji dikenal juga sebagai salah seorang sejarawan penting dalam sejarah tradisi penulisan sejarah (historiogarfi) di Alam Melayu melalui dua opus magnum-nya: Tuhfat al-Nafis  dan ‘saudara perempuannya’ yang berjudul Silsilah Melayu dan Bugis.

Pakar-pakar historiogafi tradisional Melayu, seperti R.O. Winstedt, menempatkan Tuhfat al-Nafis sebagai sebuah karya sejarah Alam Melayu yang terpenting setelah Sejarah Melayu atau Sulalatus- Salatin mahakarya karya Tun Sri Lanang.

Kutubkhanah minggu ini akan memperkenalkan salah satu versi panjang Tuhfat al-Nafis mahakarya Raja Ali Haji dalam bidang sejarah, yang dikenal juga sebagai teks Tuhfat al-Nafis edisi R.O. Winsted.

R.O. Winstedt

Nama lengkapnya Richard Olaf Winsted, yang dalam dunia kajian sejarah dan kebudayaan Alam Melayu biasa disingkat R.O. Winsted. Ia lahir di Oxford, Inggris, pada 2 Agustus 1878, dan wafat juga di Inggris pada 2 Juni 1966.

Winstedt adalah salah seorang pejabat kolonial Inggris yang penting di Tanah Melayu (Malaysia). Sebagai seorang pejabat kolonial, kariernya bermula di Negeri Perak. Di negeri tempat Sultan Perak bersemayam itulah, ketika menjabat sebagai kadet Perkhidmatan Awam Persekutuan Tanah Melayu pada 1902, ia mulai jatuh hati terhadap kebudayaan Melayu yang kemudian menggiringnya untuk bertekun-tekun dalam kajian sejarah, kebudayaan, dan sastra klasik Alam Melayu.

Minat dan kepakarannya dalam kajian bahasa, sejarah, dan kebudayaan Melayu telah mengatarkannya memimpin berbagai lembaga yang erat kaitannya dengan pengajian kebudayaan Melayu di Negeri-Negeri Selat (Strait Settlement) pada zamannya tak dapat dipandang sebelah mata.  Hal ini inlah yang memungkinkan ia diangkat sebagai Presiden pertama Kolej Raffles, di Singapura  antara 1921 hingga 1931, di sela-sela jabatan birokratisnya sebagai Setiausaha untuk High Commissioner  (1923) di Negeri-Negeri Selat; Pengarah Pendidikan Negeri-Negeri Selat dan Persekutuan Tanah Melayu (FMS);  anggota Majelis Legislatif  Negeri-Negeri Selat (1924-193); dan anggota Majelis Kebangsaan FMS (1927-1931).

Setelah berkhidmat sebagai Penasihat Umum Sultan Johor (1931-1935), Winsted dilantik sebagai pengajar dan fellow kehormatan dalam bidang pengajian Melayu di School of Oriental and African Studies, Inggris antara 1939 hingga 1959.

Kepakarannya dalam bidang pengajian Melayu, telah menyumbang sekitar 36 buah karya dalam bentuk buku dan artikel yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah. Berapa di antaranya yang terpenting adalah  A History of Johore (1932), Classical Malay Literature (1935) yang telah menjadi buku babon bagi mereka yang mempelajari sejarah dan sastra klasik Melayu  pada masa kini.

Dalam konteks dunia pengkajian Alam Melayu ini, nama Winsted dicatat sebagai orang pertama yang memperkenalkan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji dan ayahnya Raja Ahmad kepada khalayak dunia pengajian Alam Melayu, ketika ia mempublikasikan edisi cetak huruf Jawi kita Tuhfat al-Nafis dimuatnya dalam Jurnal Malayan Branch of Royal Asiatic Society (JMBRAS), vol. x, part II, Agustus 1932: Teks inilah yang kemudian dikenal sebagai Tuhfat al-Nafis edisi R.O. Winsted dalam dunia pengajian sejarah dan manuksrip Melayu.

Manuskrip dan Edisi Cetak

Tuhfat al-Nafis (bahasa Arab, yang maknanya: Hadiah Yang Berharga) adalah sebuah karya tentang silsilah dan sejarah raja-raja Melayu yang berkelindan dengan raja-raja dari tanah Bugis  dalam kerajaan Johor-Riau-Lingga dan Pahang serta daerah takluknya.

Kitab sejarah ini adalah hasil kerja besama. Dalam manuskrip Tuhfat al-Nafis milik Sir Willian Maxwell yang kini tersimpan di Inggris, dinyatakan bahwa Raja Haji Ahmad memulai penulisannya. Kemudian karya sejarah itu dilanjutkan dan diselesaikan oleh anaknya, Raja Ali Haji.

Dalam sejarah penulisannya, selain penyempurnaan yang dilakukan oleh Raja Ali Haji, Tuhfat al-Nafis telah mengalami beberapa kali penyalinan ulang. Itu sebabnya mengapa terdapat beberapa manuskrip Tuhfat al-Nafis yang kemudian dibagi ke dalam manuskrip versi panjang dan versi pendek, serta satu edisi cetak huruf jawi (yang menjadi topik diskusi ruang Kutubkhanah ini).

Ketika mengkaji manuskrip Tuhfat al-Nafis untuk studi doktor falsafahnya, Virginia Matheson mencatat terdapat empat manuskrip Tuhfat Al-Nafis yang tergolong dalam versi panjang dan versi pendek yang berada dalam simpanan perpustakaan di Belanda, Inggris, dan Malaysia.

Pada tahun 1986, satu lagi versi panjang Tuhfat al-Nafis yang kemudian dikenal sebagai Tuhfat al-Nafis Naskah Terengganu, diterbitkan dalam bentuk facsimile pada 1991. Selanjutnya, satu lagi versi panjang Tuhfat al-Nafis dengan tambahan catatan tentang hal-hal penting di kerajaan Riau-Lingga hingga masa pemerintahan Sultan Abdurahman Mu’azamsyah (1885-1911) berhasil pula dikumpulkan oleh Pusat Manuskirip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia.

Satu-satunya edisi cetak kitab Tuhfat al-Nafis dalam format huruf jawi (Arab Melayu) dan sekaligus menjadi kitab Tuhfat al-Nafis pertama dalam format cetak tipografi, adalah kitab Tuhfat al-Nafis edisi R.O. Winsted: sumber asalnya adalah sebuah manuskrip Tuhfat al-Nafis versi panjang, yang diyakini sebagai manuskrip Tuhfat al-Nafis yang pernah dipinjamkan oleh Raja Ali Haji kepada utusan Temenggung Johor yang berkunjung ke Pulau Penyengat pada 1868.

Edisi R.O.Winsdtedt

Pada halaman awal edisi cetak huruf jawi (Arab Melayu) kitab Tuhfat al-Nafis ini, tertulis sebagai berikut, “Tuhfat, Al-Nafis Yaitu Sejarah Melayu dan Bugis Karangan Almarhum Raja Ali Haji Riau”, yang ditulis menggunakan huruf jawi.

Virginia Matheson Hooker dalam disertasinya yang diterbitkan dengan judul Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu – Islam (1991) menyebut Tuhfat al-Nafis edisi R.O. Winstedt sebagai teks C, atau dikenal juga sebagai Tuhfat al-Nafis edisi R.O. Winstedt.

Dalam keringkasan (Summary of Contents) dan pegantar  berjudul A Malay History of  Riau and Johore (JMBRAS VO. X, part II, Augus 1932, hal 309-319)  yang ditulisnya untuk pengantar penerbitan teks Tuhfat al-Nafis edisi cetak huruf jawi yang pertama ini, R.O. Winsted menjelaskan acuan salinan teks Tuhfat al-Nafis edisi cetak huruf jawi tersebut adalah manuskrip yang dipinjam dari Tengku Fatimah binti Sultan Abu Bakar Johor. Lebih jauh, ia mengatakan manuskrip tersebut salinan dari sebuah manuskrip tua yang penyalinannya dilakukan pada tahun 1923.

Keringkasan (summary) dan pengantar R.O. Winstedt untuk edisi cetak pertama Tuhfat al-Nafis dalam huruf Arab Melayu, Tuhfat al-Nafis edisi R.O. Winstedt. Dimuat dalam JMBRAS Vol. X, part II, Augus 1932, hal 309-319.

Menurut Virginia Matheson Hooker (1991), R.O. Winstedt meminjam manuskrip milik Tengku Fatimah ini pada tahun 1931. Ketika itu ia menjabat sebagai Penasehat Sultan dan Kerajaan Johor. Sayangnya, hingga kini tidak diketahui dimana manuskrip Tuhfat al-Nafis milik Tengku Fatimah itu berada. Begitu juga dengan manuskrip tua yang menjadi acuan penyalinannya.

Kuat dugaan bahwa manuskrip Tuhfat al-Nafis milik Tengku Fatimah itu adalah salinan yang dibuat berdasarkan manuskrip “asli” Tuhfat al-Nafis hasil perbaikan dan penambahan oleh Raja Ali Haji, atau manuskrp Tuhfat al-Nafis versi panjang, yang pernah dipinjamkan oleh Raja Ali Haji kepada utusan Temenggung Johor yang datang mengunjunginya di Pulau Penyengat pada bulan April 1868 sempena mengumpulkan referensi guna memperkuat legitimasi Temenggung Abu Bakar menjadi Sultan di Negeri Johor yang ketika itu berada di bawah takluk Kerajaan Inggris.

Secara garis besar, Tuhfat al-Nafis edisi R.O. Winstedt berisikan kisah sejarah dan siarah  hubungan antara raja-raja  Melayu dan Bugis dalam percaturan politiknya dengan berbagai kuasa di kawasan yang kini meliputi Singapura, Malaysia,  sebagian Kalimatan dan  Sumatera. Adapun kawasan latar narasinya adalah wilayah yang dulu merupakan daerah-daerah takluk kerajaan Riau-Lingga-Johor-dan Pahang.

Seperti halnya semua teks Tuhfat al-Nafis yang telah dikenal pasti, uraian dalam Tuhfat al-Nafis edisi R.O. Winstedt diawali dengan pejabaran susur galur raja-raja Melayu Riau-Lingga dan hubungannya dengan raja-raja Melayu di Bukit Siguntang, Bintan, Melaka, Johor, dan Siak. Silsilah ini kemudian berkait-kelindan dengan raja-raja Bugis, anak cucu Upu Bugis lima saudara, yang kemudian memunculkan garis keturunan Yang Dipertuan Muda dan sejumlah tokoh pentingnya yang turut memainkan peranan dalam panggung sejarah Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang serta daerah takluknya.

Sedangkan narasi sejarah dan siarah membentang dari tahun 1699 hingga 1864. Diawali dengan peristiwa pembunuhan (regicide) Sultan Terakhir Melaka, Sultan Mahmud Syah oleh Laksamana Bintan Megat Sri Rama di Johor Lama pada tahun 1699, dan berakhir dengan sejarah Sultan Lingga-Riau, Mahmud Muzafarsyah, hingga masa kemangkatannya yang kemudian dirangkai dengan kisah Tengggung Johor  yang bersemayam di Singapura, hingga tahun 1864.***

Aswandi Syahri, Sejarawan

Artikel SebelumOrang Berilmu Anakanda Hampiri
Artikel BerikutTapak Sejarah di Sungai Johor
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan