Pada tahun 1895, struktur dan sistem pemerinthan Kerajaan Lingga-Riau dibawah Sultan Yamtuan Besar Sultan Abdurahman Mu’azamsyah di Daik-Lingga yang dijalankan dan dikendalikan oleh Yamtuan Muda Riau X, Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi, di Pulau Penyengat memasuki sebuah babak baru. Ditandai dengan restrukturisasi besar-besaran terhadap pejabat wakil-wakil kerajaan yang menjadi perpanjangan tangan Sultan dan Yamtuan Muda di seluruh wilayah kerajaan Lingga-Riau dan daerah takluknya.
Wilayah Pulau Batam yang sebelumnya terdiri dari tiga daerah Wakilschap atau daerah tempat kedudukan perwakilan kerajaan yang meliputi Nongsa-Pulau Buluh-dan Sulit atau Moro umpamanya, ditata kembali menjadi dua wilayah Wakilschap yang berpusat di Nongsa dan Pulau Buluh. Masing-masing daerah Wakilschap itu dipimpin oleh seorang wakil kerajaan yang berpangkat Kepala dan Amir dalam pemerintahan kerajaan Lingga-Riau dan daerah takluknya.
Sebagai tindak lanjut dari restrukturisasi itu, maka diangkatlah Tengku Umar bin Tengku Mahmud sebagai Amir Batam berkedudukan di Pulau Buluh berdasarkan besluit (surat keputusan) Kerajaan Lingga-Riau No.12 tanggal 1 Oktober 1895. Selanjutnya, Raja Mahmud cucu Raja Isa (Nong Isa), diangkat sebagai wakil kerajaan yang berpangkat Kepala, dan bermastatutin di Nongsa berdasarkan besluit No. 13 tanggal 30 September 1895.
Restrukturisasi wilayah pemerintahan dalam pemerintahan dalam Kerajaan Lingga-Riau ini terus berlanjut hingga tahun 1911, atau hingga menjelang Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah dan Tengku Besar Umar dimakzulkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
***
Perombakan pimpinan dan wilayah-wilayah wakil kerajaan ini diawali dengan penyusunan sebuah aturan yang menjelaskan fungsi dan kewajiban yang harus dijalankan oleh pejabat wakil-wakil kerajaan yang dipilih dan ditetapkan dengan sebuah besluit.
Dalam khazanah kepustakaan undang-undang kerajaan Lingga-Riau, aturan itulah yang dikenal sebagai kitab Furu’ al-Ma’mur, yang judul imbuhannya Inilah Satu Undang-Undang Qanun Yang Terpakai oleh Kepala-Kepala Yang Berpangkat Kecil dan Besar Yang Menjaga Negeri Dalam Kerajaan Lingga dan Riau dan Takluknya Adanya.
Frasa Furu’ al-Makmur yang menjadi judul utama kitab Undang-Undang ini sejatinya adalah bahasa Arab. Perkataan Furu’ adalah bentuk jamak dari perkataan far’a yang artinya ‘cabang’. Sedangkan perkataan makmur dalam konteks ini adalah pejabat, pegawai, atau petugas. Karena itulah, seperti tercermin dalam judul imbuhannya, maka Furu’ al-Ma’mur adalah semacam petunjuk teknis bagi pejabat-pejabat yang memegang tampuk kendali pemerintahan sebagai wakil Sultan dan Yamtuan Muda Riau dalam daerah takluk kerajaan Lingga dan Riau.
Sebagai pedoman para pejabat wakil kerajaan, fungsi kitab undang-undang ini dengan jelas ditegaskan dalam titah Yamtuan Muda Riau X, Raja Muhamad Yusuf, atas nama Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah pada bagian mukadimah kitab Furu’ al-Makmur :
“…Maka barangtahu kiranya sekalian Amir-Amir dan kepala-Kepala yang jadi wakil kita pada tiap-tiap tempat dan negeri-negeri yang dibawah kuasa kita, wajiblah atas segala mereka itu dengan suci hati dan bersungguh menjalankan sebagaimana aturan yang kita aturkan dalam Undang-Undang ini.”
Sebagai sebuah Undang-Undang Qanun dalam kerajaan Lingga dan Riau, Furu’ al-Makmur dibuat berdasarkan sejumlah surat titah Sultan Yang Dipertuan Besar dan surat-surat keputusan Yamtuan Muda Riau, yang kemudian diputuskan sebagai sebuah titah dihadapan Sultan dan Resident Riouw (sebagai wakil Gubernemen Hindia Nederland) di istana Kerajaan di Negeri Riau Pulau Penyengat pada 11 Juli 1895.
Pada tarikh itu juga (1895), kitab undang-ndang itu dicap (dicetak, digandakan) oleh percetakan Mathba’ah al-Riauwiyah di Pulau Penyengat. Seleruh isi kitab undang-undang ini selesai dicap pada 3 Jumadil Awal, hari Isnin 1313 H, bersamaan dengan 21 Oktober 1895 M.
Sebagai sebuah kepustakaan langka dalam korpus kitab undang-undang atau qanun yang pernah dihasilkan oleh Kerajaan Lingga-Riau dimasa lalu, eksemplar kitab Furu’ al-Makmur yang masih tersisa amat terbatas. Menurut Ian Proufoot dalam Early Malay Prited Books (1992:228), satu eksemplar Furu’ al-Makmur ada dalam Raja Hamzah Yunus di Pulau Penyengat. Namun demikian menurut Hasan Junus, yang pernah merumikannya (1996), ada bagian yang hilang dalam eksemplar Furu’ al-Makmur yang tersimpan di Pulau Penyengat.
Adapun Furu’ al-Ma’mur yang menjadi rujukan kutubkhanah ini adalah satu eksemplar yang masih lengkap dan baik kondisinya milik Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde, Leiden (yang kini telah dialihkan ke Bibliotheek Universiteit Leiden)
***
Kandungan isi Furu’ al-Makmur dibagi dalam satu (1) Muqadimah, enam (6) Pasal, dan satu Khatimah (penutup). Muqadimah, Khatimah, dan setiap Pasal dijabarkan pula kedalam beberapa Madah (uraian), yang keseluruhannya terdiri dari tujuh puluh sembilan (79) Madah.
Dalam bagian Muqadimah, yang dijabarkan dalam lima (5) Madah, antara lain disebutkan tuagas utama yang harus dipegang teguh oleh para Amir dan Kepala-Kepala sebagai wakil Sultan dan Yang Dipertuan Muda Riaudi daerah pemerintahannya: Mereka diwajibkan “…menyempurnakan hak kerajaan Lingga-Riau dalam kontrak dengan pemerintah Belanda; menyempurnakan hak Sri Paduka Sultan; menyempurnakan hak Sri Paduka Raja Muda; dan menyempurnakan [ke]setia[annya] kepada kerajaan dengan teguh dan suci hati…”.
Kandungan isinya diwali dengan Pasal Yang 1, yang berisikan pejelasan tentang kuasa yang diberikan oleh kerajaan kepada para Amir dan Kepala-Kepala sebagai wakil kerajaaan (Pada menyatakan Kuasa Yang Diakui). Pasal Yang 1 ini terdiri dari dua puluh (20) Madah.
Selanjutnya pada Pasal Yang 2, diuraikan pula kuasa para Amir dan Kepala dalam memungut sumber pendapatan kerajaan berupa cukai hasil kayu kayan (hasil hutan), kebun gambir, panglong arang, pertambangan, kebun sagu, dan cukai kedai-kedai Cina di wilayah masing-masing.
Pada Pasal Yang 3, yang terdiri dari sembilan (9) Madah, diuraikan aturan biaya atau anggaran yang dikeluarkan untuk para Amir dan Kepala-Kepala dalam menjalankan tugasnya. Pasal ini diikuti dengan Pasal Yang 4, dimana dijelaskan aturan kerja, dan apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang Amir atau Kepala. Pasal ini terdiri dari sembilan (9) Madah juga.
Dalam Pasal Yang 5 menjabarkan fungsi Amir dan Kepala-Kepala sebagai penyidik dan sekaligus penegak hukum, diuraikan pula apa saja yang harus mereka periksa bila terjadi sebuah tindakan melawan hukum. Pasal ini terdiri dari lima belas (15) Madah.
Pasal yang terakhir, yakni Pasal Yang Enam, yang terdiri dari tiga belas (13) Madah, menguraikan “…kuasa yang diberikan kepada kepala-kepala atau Amir-Amir yang memegang [kawasan] Pulau Tujuh [di Laut Natuna] dan Mandah dan Gaung dan Reteh [wilayah Kerejaan Lingga-Riau di Pantai Timur Sumatera].”
Pasal yang terakhir ini, menempatkan empat kawasan takluk kerajaan Lingga-Riau itu (Pulau Tujuh-Mandah-Gaung-dan Reteh) sebagai daerah yang “istimewa”: karena letaknya yang “…berjauhan dengan ibu negeri…”. Semua wakil kerajaan di empat daerah ini “istimewa” ini diberi sejumlah hak istimewa pula dalam bidang hukum, pengeluaran surat-surat izin pembukaan kebun dan usaha, dan lain sebagainya.
Seluruh kandungan isi kitab Furu’ al-Makmur diakhiri dengan sebuah Khatimah (Penutup) yang dijabarkan dalam tiga (3) Madah. Didalamnya dijelaskan aturan tentang reward (ganjaran atau hadiah) dari pihak kerajaan kepada para Amir, Kepala-Kepala, dan pegawai-pegawai kerajaan apabila melakukan pekerjaan dengan baik, menyempurnakan setianya, dan membuat “sentosa kerajaan”.
Karena kandungan isinya, maka Furu’ al-Ma’mur adalah bahan sumber yang penting dan sangat berharga bagi siapa saja yang akan bertekun-tekun mengkaji bagaimana pemerintahan, hukum, dan pengelolaan pendapatan kerajaan Lingga-Riau dijalankan dan dikelola sejak tahun 1895 hingga 1911.***