Ungkapan yang mengatakan bahwa berita adalah sejarah yang ditulis pada hari ini”, sangat tepat untuk menyebut esensi lain dari hasil kerja seorang jurnalis. Ungkapan ini tentu semakin mengena bila disandingkan dengan ungkapan terkenal yang menyebutkan bahwa “seorang jurnalis adalah pencatat sejarah di garis depan”.

Di Kepulauan Riau, esensi kerja seorang jurnalis ini telah dimulai dan dipraktikkan oleh Raja Ali Kelana melalui karyanya yang berjudul Pohon Perhimpunan. Mengapa?

Raja Ali Kelana

Siapa Raja Ali Kelana? Beliau adalah seorang tokoh politik, intelektual anti kolonial, pengusaha, dan pembesar dari Kerajaan Riau-Lingga. Dalam struktur pemerintahan kerajaan Riau-Lingga pada akhir abad ke-19, jabatannya adalah Kelana atau calon Yang Dipertuan Muda Riau untuk mengganti posisi ayahnya, Raja Muhammad Yusuf  Yang Dipertuan Muda Riau X.

Sebagai seorang Kelana pembesar kerajaan yang menjalankan kerja-kerja Yang Dipertuan Muda Riau, posisi Raja Ali Kelana istimewa. Beliau adalah satu-satunya calon Yang Dipertuan Muda Riau yang menghasilkan karya tulis, dan peneraju perkumpulan Rusydiah Club Riouw Pulau Penyengat yang luas pengetahuannya: baik dalam bidang agama, bahasa, siasah, dan ilmu lainnya.

Sejauh yang diketahui, sebagai seorang penulis, Raja Ali Kelana telah menghasilkan sedikitnya delapan buah karya dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah Pohon Perhimpunan yang akan diperkenalkan dalam Kutubkhanah minggu ini.

Dalam arena politik, Raja Ali Kelana adalah aktor-intelektual dibalik perlawanan pasif (lidelijk verzet) cendekiawan Riau-Lingga dalam “menggoyang” parlemen Hindia Belanda di Batavia, yang berujung kepada pemakzulan sultan dan penghapusan kerajaan Riau-Lingga pada 1913.

Demi marwah, Kelana Riau-Lingga yang tak sempat menjabat Yang Dipertuan Muda Riau ini hijrah ke Johor setelah Belanda memakzulkan Sultan Riau-Lingga pada 1911. Raja Ali Kelana mangkat di Jl. Tebrau, Johor Baharu, pada hari Ahad pukul 8 pagi tanggal 10 Jumadil Akhir 1346 Hijriah bersamaan dengan 4 Desember 1927. Jenazahnya dimakamkan di komplek pemakaman diraja Johor di Bukit Mahmudiah.

Pohon Perhimpunan

Judul lengkapnya adalah  Bahwa Inilah Cetera Yang Bernama Pohon Perhimpunan Pada Menyatakan Peri Perjalanan. Dalam katalogus perpustakaan, edisi cetaknya dalam huruf Arab Melayu yang dihasilkan Mathba’ah al-Riauwiyah Pulau Penyengat pada 1897, dan edisi alih aksara dalam huruf rumi atau latin yang muncul jauh kemudian, “judulnya populernya” adalah  Pohon Perhimpunan.

Halaman 23 Pohon Perhimpunan: berisikan laporan perjalanan ke Teluk Bunguran pada 12 Ramadhan hari Arba’a bersamaan dengan 26 Februari 1896.

Ian Proudfoot telah mencantumkan Pohon Perhimpunan dalam katalog buku-buku Melayu cetakan yang muncul hingga tahun 1920-an yang dihimpunkannya dalam sebuah buku setebal 859 halaman berjudul Early Malay Printed Books (1993).

Pohon Perhimpunan karya Raja Ali Kelana tergolong bahan pustaka klasik yang istimewa dan sangat langka atau rare books. Sangat terbatas eksemplarnya yang masih tersisa. Berdasarkan data dari sejumlah katalogus, satu satunya eksemplaar Pohon Perhimpunan, yang diketahui masih kekal dan telah direstorasi oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kini berada dalam simpanan Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau di Penyengat.

Berdasarkan informasi dalam Notulen Bataviaasch Genootschap (sekarang Museum Nasional) tahun 1903, Pohon Perhimpunan pernah menjadi salah satu koleksi perpustakaan museum yang dibangun oleh Thomas Stamford Raffles itu. Namun sayangnya, karya Raja Ali Kelana itu tak ditemukan lagi dalam koleksi perpustakaan tua yang kini diwariskan kepada Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta.

Laporan Jurnalistik

Pohon Perhimpunan adalah sebuah buku dengan tulisan Arab Melayu (huruf Jawi) yang bersikan laporan perjalanan Raja Ali Kelana selama 15 hari mengunjungi kawasan Pulau  Tujuh (menacakupi Pulau Jemaja, Siantan, Bunguran, Serasan, dan Tambelan) dari tanggal  9 Februari 1896 hingga 6 Maret 1896, lengkap  dengan sejumlah sejumlah “foto jurnalistik” yang mengabadikan momen-momen penting dalam perjalanan itu.

Laporan perjalanan ini adalah saripati dari sebuah catatan komisi (perjalan inspeksi) bersama Controleur Tanjungpinang, J.J.E.F. Schwartz, sempena mengetahui hal ihwal di kawasan Pulau Tujuh, Kepulauan Riau, yang ketika itu berada dalam wilayah kerajaan Lingga-Riau dan daerah takluknya.

Salah satu “foto jurnalistik yang ditempelkan dalam Pohon Perhimpunan: Raja Ali Kelana (duduk paling tengah) dan Controleur J.J.E.F. Schwartz (duduk di sebelah kiri) ketika mengunjungi hulu Sungai Air Pasir, di Pulau Jemaja, 21 Februari 1896.

Dalam Pohon Perhimpunan terdapat empat belas kisah perjalanan. Diawali dengan perjalanan pertama, yang bermula dari labuhan Tanjungpinang pada hari Arba’a tanggal 6 Ramadhan 1313 anno Heigira yang bersamaan dengan tanggal 19 Februari 1896 anno Miladiah. Seluruh rangkaian perjalanan ini juga berakhir di labuhan Tanjungpinang pada tanggal 23 Ramadhan yang bersamaan dengan hari Sabtu pukul 5 petang, tanggal 6 Maret tahun 1896.

Melalui Pohon Perhimpunan sejumlah pakar telah menasbihkan Raja Ali Kelana sebagai seorang peletak dasar  dunia jurnalistik di kerajaan Riau-Lingga. Mengapa?

Menurut Hasan Junus, jarak antara peristiwa atau kejadian yang dilihat dan didengar oleh Raja Ali Kelana dengan penyiarannya dalam Pohon Perhimpunan kurang dari dua tahun, adalah satu ukuran yang cukup dekat dan cepat untuk ukuran zamannya: sebuah syarat yang cukup untuk menyebutnya sebagai sebuah karya jurnalistik untuk ukuran zaman itu, mengingat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi dan infomasi.

Di lain pihak, Jan van der Putten  menyebut Pohon Perhimpunan  sebagai sebuah karya yang cukup syarat untuk disebut sebagai hasil kerja seorang jurnalis ‘pencatat’  sejarah di garis depan, karena banyaknya tempelan foto yang berkaitan dengan apa yang tertulis di dalamnya. Menurut Jan, hal  ini menandakan Pohon Perhimpunan  adalah sebuah publikasi yang ditujukan untuk dilihat dan dibaca oleh orang banyak .

Pohon Perhimpunan adalah sebuah contoh sempurna peralihan dari tradisi manuskrip kepada teknik tipografi menggunakan huruf timah. Sebuah kecenderungan baru dalam tradisi tulis Riau-Lingga yang sedikit-banyaknya dipicu oleh perkembangan teknik percetakan di Kepulauan Riau-Lingga dan Singapura pada akhir abad ke-19.***

Artikel SebelumSyair Negeri Tambelan
Artikel BerikutSeperti Kebun Berpagar Duri
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan