Pantun tidak asing lagi bagi masyarakat di nusantara, tak hanya dikenal di tanah Melayu saja, namun juga di daerah lain seperti di tanah Jawa, Sulawesi dan bahkan di Papua. Pantun merupakan suatu khazanah budaya yang tak lekang ditelan masa.
Pantun di era ini hanya menjadi bahan bergurau tanpa nilai etika sebagaimana filosofi pantun yang memiliki nilai kesopanan dan kesantunan.
Dari problematika ini, bagaimana kondisi pantun saat ini? apakah pantun hanya dikenal di dalam buku-buku yang sarat dengan nasihat? , itu pun kalau memungkinkan masih adanya pantun yang baik kualitasnya.
Pantun sendiri sebenarnya memiliki sebuah kaidah dan metodologi dalam penyusunannya. Bukan sekedar menyusun kata-kata yang kemudian disamakan pada persajakan akhir, namun harus juga diketahui bagaimana kaidah dan rumus dalam menyusun pantun.
Untuk menulis pantun dengan kualitas yang baik maka perlu diketahui beberapa hal berikut;
Pertama, memahami karakteristik dan struktur pantun. pantun memiliki 4 (empat) baris dimana struktur barisnya adalah baris pertama dan kedua disebut dengan “Sampiran” dan baris ketiga dan keempat disebut dengan “Isi”. Hal ini sebagaimana dijelaskan beberapa pendapat.
Hamilton (1941) menjelaskan bahwa pantun sesungguhnya memiliki persajakan yang baris pertama dengan ketiga, baris kedua dan keempat memiliki rima dengan asonansi yang sama dan seimbang. Thomas (1985) menjelaskan bahwa pada pasangan baris pertama (baris pertama dan kedua) dikenal sebagai Pembayang Maksud (Sampiran), menjelaskan kearifan alam.
Sampiran dan isi pantun biasanya tidak memiliki hubungan sebab akibat yang saling berkaitan. Dimana sampiran biasanya bukan merupakan susunan kalimat formal yang menuangkan isi pantun, namun lebih sekedar bahasa pengantar dengan pilihan kata yang sifatnya tentang alam, perilaku manusia, nama buah-buahan, nama pulau, hewan dan sebagainya.
Menurut Hamilton (1941) baris pertama dan kedua biasanya terdiri dari penyataan yang puitik, sementara isi pantun adalah kalimat yang menggambarkan maksud pantun tersebut, yang biasanya merupakan kalimat yang formal yang mendeskripsikan apa yang ingin disampaikan oleh pemantun.
Sebagaimana pendapat Thomas (1985) yang menjelaskan bahwa mayoritas pantun tidak ada hubungan yang sangat penting antara kedua pasangan baris tersebut, hanya rima akhirnya dan pilihan asonansi dan konsonan yang tertera pada Pembayang Maksud atau Sampiran dan bersambung.
Namun ada juga pendapat bahwa antara sampiran dan isi sebagaimana disampaikan oleh Borhan (2001) menjelaskan bahwa pantun dalam strukturnya mengandung pembayang dan maksud yang merupakan pasangan (binary) yang saling melengkapi, mengungkapkan yang lahir (pembayang/sampiran) dan yang batin (maksud/isi).
Di dalam tubuh sampiran dan isi pun, terdapat karakteristik yang tidak boleh dilanggar untuk menghasilkan satu pantun yang berkualitas baik serta memiliki nilai filosifis dan etik.
Kedua, menguasai perbendaharaan kata. Untuk menyusun pantun dengan diksi-diksi yang baik maka suatu kemampuan yang harus dimiliki pemantun adalah menguasai perbendaharaan kata yang banyak.
Kekayaan perbendaharaan ini berguna untuk memperkuat persajakan. Pemantun harus banyak mengenal kata-kata yang bunyinya sama, seperti buku, kuku, saku, atau malaka, cuka, buka, luka, atau cinta, kota, renta, atau pantai, gulai, santai, atau bakau, bangau, risau. Kekayaan kata-kata dengan bunyi yang sama ini akan membantu pemantun untuk menyusun pantun dengan baik dan sempurna.
Ketiga, Menentukan Terlebih Dahulu Isi Pantun dan kemudian Membuat Sampiran Pantun.
Inilah sebenarnya kunci dari Teknik membuat pantun dengan cepat. Membuat pantun bukanlah dari sampiran terlebih dahulu, akan tetapi untuk memudahkannya adalah menentukan terlebih dahulu isi pantun.
Sebuah pesan yang terkandung dalam pantun tertuang dalam isi pantun, oleh karena itu kita tentukan terlebih dahulu isi pantunnya. Tentunya isi pantun ini adalah sesuai dengan jenis dan tema pantun. Sekarang mari kita mencoba untuk berlatih membuat pantun dengan menentukan terlebih dahulu isinya.
- Sempurnakan pantun berikut !
……………………………….
………………………………..
Jikalau bijak pikiran tuan
Elok dibawa membangun bangsa
Pantun ini tidak memiliki sampiran. Namun dengan menentukan terlebih dahulu isi pantun, akan lebih memudahkan kita untuk cepat menyempurnakan sebuah pantun, dan dengan adanya isi pantun, kita sudah mengetahui jenis dan tema pantun apa yang akan kita susun.
Maka langkah selanjutnya adalah melihat persajakannya, yaitu A, B, A, B. Sajak sampiran baris pertama harus sama dengan sajak isi baris ketiga, dan sajak sampiran baris kedua haruslah sama dengan sajak isi baris keempat. Pada contoh, kata terakhir isi baris ketiga adalah tuan, maka untuk sampiran baris pertama, kita harus mencari kata yang juga berakhiran sama contohnya haluan atau kawan, dan sebagainya. Sementara sajak isi baris keempat berakhiran kata bangsa, maka pada sampiran baris kedua harus kita cari sajak akhiran yang sama contohnya adalah suasa, selasa, binasa, dan seterusnya. Mari kita sempurnakan dengan salah satu kata. Perhatikan contoh pantun yang telah disempurnakan berikut.
Kuat ombak menerpa haluan
Berlayar Jawa mencari suasa
Jikalau bijak pikiran tuan
Elok dibawa membangun bangsa
Mari kita menyusun pantun yang lain. Simak isi pantun yang belum sempurna berikut.
… … … …. …. …..
… … … … … …….
Hendak melihat orang berbakti
Mengekal kasih kepada orangtuanya
Pantun di atas juga belum memiliki sampiran atau dapat juga disebut dengan pembayang maksud. Mari kita sempurna pantun berikut menjadi lebih baik. Pantun yang terbilang sempurna tidak hanya menyamakan persajakan di akhir kata pada setiap barisnya. Namun dapat juga menyamakan persajakan dari kata kedua dan diakhirnya.
Mari lihat kata yang ada pada kata kedua pada baris ketiga, terdapat kata “melihat”, dan kata di akhir adalah “berbakti, maka untuk membuat sampirannya kita harus mencari kata dengan bunyi yang sama dengan kedua kata, namun karena ini masih di dalam baris yang sama maka kedua kata harus memiliki hubungan makna yang tepat.
Pada baris keempat terdapat kata “kasih” dan kata “orangtuanya” sebagai kata yang berada pada kata kedua dan kata terakhir. Maka kita harus mencari kata yang bunyinya sama dan memiliki keterkaitan makna sehingga menjadi satu kesatuan baris yang utuh. Mari coba kita sempurna sebagai berikut.
Jangan dikerat batang melati
Bunga selasih mekar bunganya
Hendak melihat orang berbakti
Mengekal kasih kepada orangtuanya
Lihatlah persajakan pada pantun di atas, pada baris pertama terlihat sama dalam bunyinya pada baris ketiga yaitu pada kata “dikerat” dan “melihat”. Lalu pada baris pertama terlihat sama dalam bunyinya pada baris ketiga yaitu dengan kata “melati” dan “berbakti”. Kemudian dapat kita lihat pada baris kedua terdapat kesamaan bunyi dengan pada baris keempat yaitu kesamaan bunyi kata “selasih” dengan kasih”.
Selanjutnya pada baris kedua terdapat kesamaan bunyi dengan pada baris keempat, yaitu persamaan bunyi pada kata “bunganya” dan “orangtuanya”.
Pantun yang sempurna secara persajakan adalah pantun yang bukan saja pada persajakan akhir pada tiap barisnya, namun juga terdapat persamaan persajakan pada sajak penggalan kedua dan keempat atau sajak akhir pada tiap barisnya.
Dalam konteks persajakan, yang perlu diketahui adalah jenis persajakan, Persajakan ini bermaksud membedakan lafaz akhir pantun, dimana baris pertama haruslah sama dengan baris ketiga, dan baris kedua haruslah sama dengan baris keempat.
Persamaan persajakan ini kemudian akan pilihan kata (diksi) yang diambil dalam membuat akhiran pada baris pada pantun. Ada beberapa jenis persajakan yang kita kenal dan dapat dipergunakan di dalam pantun. Suseno (2006) mencatat beberapa jenis persajakan. Mari kita lihat kata-kata di bawah ini.
Kata lantai bersajak dengan pantai
Kata datang bersajak dengan petang
Kata jati bersajak dengan mati
Kata nanti bersajak dengan titi
Sajak yang sedemikian itu dinamakan Sajak Penuh, karena keseluruhan suku akhirnya sama bunyinya (Suseno, 2006). Kemudian ada lagi yang tersebut sebagai Sajak Paruh atau dengan istilah assonantie, misalnya tergambar sebagai berikut.
Kata mandi bersajak dengan nanti
Kata bersatu bersajak dengan rindu
Kata rumah bersajak dengan sawah
Kata burung bersajak dengan patung
Menurut Suseno (2006) tidak dianggap haram pula Sajak Paruh tersebut, tetapi memang dianggap kurang bagus. Hanya terkadang karena keterbatasan kata-kata yang lebih tepat, maka terpaksa jugalah dipergunakan di dalam madah atau sebagai diksi di dalam pantun.
Yunos (Francois, 2002) menjelaskan terdapat pantun yang kurang indah akibat terdapatnya perkataan yang diulang. Di dalam buku Francois (2002) dijelaskan contoh pantun yang dimaksud oleh Yunos tersebut adalah pantun berikut.
Pisang emas dibawa berlayar
Masak sebiji di atas peti
Hutang emas boleh dibayar
Hutang budi dibawa mati
Pantun ini menurut Yunos (Francois, 2002) merupakan pantun termasyur tetapi tidak termasuk golongan pantun yang indah karena pengulangan kata “emas” di dalam sampiran pertama baris pertama dengan bagian isi baris ketiga.
Kemudian Yunos (Francois, 2002) menjelaskan bahwa banyak ahli sepakat jika mengganti kata tersebut dengan kata “Buah Nanas” bukan “Pisang Emas”, dan baris kedua diganti dengan “dimakan sebiji di Tanjung Jati. Sehingga bisa dikatakan jika pantun itu diubah sesuai saran Yunos maka berbunyi,
Buah Nanas dibawa Berlayar
Dimakan sebiji di Tanjung Jati
Hutang Emas boleh dibayar
Hutang budi dibawa mati
Dari penjelasan tersebut tampak bahwa perkataan yang berulang pada satu baris pantun juga menjadikan pantun tersebut berkurang keindahannya. Sehingga oleh karena itu lebih baik menggunakan diksi yang diambil menjadi kata-kata di dalam sebuah bait pantun tidak berulang.
Untuk mempertajam kemampuan kita dalam membuat dan menyusun pantun dengan cepat harus sering dalam mempraktikkan teknik ini atau dengan kata lain harus rajin dan tekun berlatih, hingga kita sanggup membuat pantun kurang dari 1 (satu) menit. Maka kita juga perlu menghitung berapa kecepatan kita membuat pantun dari tahap latihan yang satu ke tahap latihan yang selanjutnya, dan berlatihlah dengan jenis dan tema pantun yang berbeda. Selamat mencoba !