Seperti apa Batam pada abad ke-19? Benarkah hanya hutan belantara saja? Data dan faktanya tersimpan dalam sebuah bahan pustaka langka yang dirampungkan penulisannya pada tahun 1882. Bahan pustaka langka (rare books atau rare material) ini ditulis dalam bahasa Belanda. Judulnya De Battam-Archipel. Dalam bahasa Indonesia, padanan judul tersebut adalah ‘Kepulauan Batam’.
Diantara himpunan khazanah kepustakaan langka tentang Kepulauan Riau zaman Belanda, inilah bahan pustaka langka yang paling lengkap mencatat sejumlah aspek penting tentang Pulau Batam dan kawasan sekitarnya pada abad ke-19.
Wujudnya adalah sebuah artikel. Tepatnya sebuah artikel panjang. Dicetak pada 96 muka surat yang penulisannya diselesaikan di Pulau Batam pada 20 April 1882.
Artikel ini, beserta lampiran sebuah peta Battam-Archipel dan Kateman (Kaart van de Battam-Archipek en Kateman) dipublikasikan dalam dua edisi jurnal Indische Gids (Panduan, Haluan, Pemimpin Hindia Belanda): sebuah jurnal “budaya dan pemerintahan” yang judul imbuhannya dalam bahasa Belanda adalah, Staat-en Letterkundig Tijdschrift.
Sembilan bagian dalam Artikel Battam-Archipel (yang teridiri dari bagian I hingga IX) dimuat dalam Indische Gids edisi Vierde Jaargang (Tahun Keempat), angka II, pada tahun 1882. Sedangkan tiga bagian terakhir (bagian X hingga XII) dimuat dalam Indische Gids edisi Vijfde Jaargang (Tahun kelima) angka I, tahun 1883. Kedua edisi Indische Gids ini diterbitkan oleh penerbit J.H. de Busy, di Amsterdam.
Di Indonesia, jurnal Indische Gids yang memuat artikel Batam Archipel ini hanya tersisa 1 eksemplar edisi tahun 1883 yang kondisi kertasnya sangat rapuh, dan kini berada dalam simpanan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) di Jakarta.
Sementara itu, satu-satunya artikel De Battam Archipel yang lengkap -yang sejauh ini diketahui- berada dalam hipunan koleksi warisan perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde KITLV, Leiden, yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitan Leiden, di Negeri Belanda.
Kontroleur J.G. Schot
Penulis artikel De Battam Archipel adalah J.G. Schot. Tak banyak bahan informasi yang dapat menjelaskan latar dirinya. Tak ada informasi bibliografis dalam jurnal Indische Gids yang dapat menjelaskan sosok J.G. Schot.
Namun demikian, tentulah jati diri Schot tak sepenuhnya gelap dan tanpa jejak sedikit pun. Dari surat-surat kabar lama, seperti Bataviaasch Handelsblad yang terbit di Batavia (Jakarta) pada tahun 1880-an, umpamanya, dapat diketahui sedikit latar diri J.G. Schot.

Schot adalah salah seorang ambtenaar pemerintah kolonial Belanda. Ia pernah bertugas pada beberapa daerah di Sumatra, dan sudah tentu di Residentie van Riouw yang ibukotanya ketika itu berkedudukan di Tanjungpinang.
Hingga tahun 1883, J.G. Schot adalah seorang pejabat dengan pangkat dan jabatan Kontroleur der Tweede Klass (kotroleur kelas dua) yang ditugaskan di Residentie van Riouw, dan pernah menjabat sebagai Asistent Resident Riouw.
Sebelumnya, ia bertugas sebagai Kontroleur di wilayah Batam, tempat ia menyelesaikan artikel De Battam Archipel pada tahun 1882.
Artikel Battam-Archipel adalah bagian dari laporan tugasnya sebagai seorang Kontroleur yang wilayah kerjanya mencakupi wilayah yang ia sebut Kepulauan Batam, yang kemudian dipublikasikan.
Selain di Residentian van Riouw (Kepulauan Riau), Schot pernah bertugas sebagai Kontroleur Teweede Klass di Sumautra Weskurt (Pantai Barat Sumatra) (1883); yakni sebagai Kontroleur 1e Klass untuk daerah Oud Agam (Agam Tua) di Afdeeing Padangsche Bovenlanden, Sumtara Weskust (Pantai Barat Sumatera); dan Kontroleur 1e Klaas untuk daerah Serdang Bedagai, Asahan, Sumatra Ooskust (Pantai Timur Sumatra).
Wilayah Kerajaan Riau-Lingga
J.G. Schot menamakan wilayah Batam dan pulau-pulau sekitarnya yang tercakup dalam artikelnya sebagai De Batam-Archipel (Kepulauan Batam); yang wilayahnya terdiri dari Pulau Batam, Bulang, Rempang, Galang, Tjombol, Pulau Soegi, sebagai pulau-pulau terbesar. Cakupan seluruh wilayah ini digambarkan dalam sehelai peta yang dibuatnya pada 1882.

Menurut Schot, De Battam-Archipel bukanlah sebuah wilayah administrasi pemerintahan, tapi lebih kepada sebuah kumpulan beberapa kelompok pulau (diluar Pulau Bintan dan sekitarnya) yang ia bagi kedalam lima kelompok: a. kelompok Pulau Batam-Bulang; b. kelompok Rempang-Galang; c. kelompok Pulau Tjombol; d. kelompok pulau Sugi-Moro; dan kelompok Pulau Salar-Durai.
Dengan cakupan spasial yang begitu luas, artikel De Battam-Archipel adalah bahan sumber yang kaya dengan pejelasan yang rinci tentang sejarah, politik, dan aspek topografi serta geografis Pulau Batam dan kawasan sekiatarnya.
Begitu juga tentang pemerintahan dan kampung-kampung pemukiman penduduk tempatan yang dinaungi oleh Kerajaan Riau-Lingga, dan tentang penduduk asli yang mendiami Pulau Batam; seperti orang Sokoe Sekana (dari wilayah Sekanak di dekat Pulau Singkep), orang Galang (Suku Galang), dan orang Mepar (pecahan dari suku laut dari Pulau Mepar di Daik-Lingga), orang Tamboes (suku laut yang hidup di sampan), orang Moeka Koening (yang menjadi asal nama daerah Muka Kuning, di Pulau Batam), Orang Darat (di Pulau Rempang dan Batam), Orang Senimba atau Sebimba (di Pulau Senimba), dan lain sebagainya.
Di dalam De Battam-Archipel, Schot juga menjelaskan potensi ekonomi yang terkandung di lebatnya hutan Pulau Batam. Potensi di di dalam perut buminya, serta ragam kekayaan flora dan faunanya.
Begitu juga dengan bagian-bagian dari potensi ekonomi yang telah digarap dan diusahakan oleh penduduk tempatan dan orang Eropa berdasarkan izin dari Yang Dipertuan Muda Riau X, Raja Muhammad Yusuf, di Pulau Penyengat: seperti izin penebangan kayu, penangkapan hasil laut, dan usaha perkebunan besar oleh pemodal-pemodal asing dari Eropa.
Dari tulisan J.G. Schot ini pula dapat diketahui bahwa setelah Raja Isa atau Nong Isa yang merintis “perwakilan” pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga di Pulau Batam pada tahun 1829 wafat pada tahun 1831, daerah administrasi pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga di Pulau Batam dan kawasan sekitarnya yang terpusat kawasan Kampung Nongsa, dimekarkan menjadi tiga bagian.
Masing-masing bagian mempunyai pemerintahan dan kepada pemerintahan terpisah yang disebut Wakilschap (daerah perwakilan pemerintahan); namun tetap berada dibawah kendali Yang Dipertuan Muda Riau, Raja Muhammad Yusuf, di Pulau Penyengat.
Menurut Schot, wilayah pertama dalam administrasi pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga di Pulau Batam dan sekitarnya adalah Wakilschap Nongsa yang dipimpin oleh Raja Yakup bin Raja Isa, yang kemudian digantikan oleh Raja Muhammad Saleh bin Raja Yakub bin Raja Isa.
Wilayah kedua, adalah Wakilschap Pulau Buluh yang mencakupi Belakang Padang, Sambu, Bulang, Setokok, Rempang, Galang dan sebagian Pulau Batam. Sama seperti wilayah Wakilschap Nongsa, wilayah Wakilschap Pulau Buluh adalah kawasan apanage (apanase) yang dipimpin oleh Raja Usman.
Adapun wilayah ketiga, adalah Wakilschap Sulit. Sebuah wilayah Wakilschap luas yang mencakupi daerah Pulau Cembol, Kepala Jeri, Kasu, Telaga Tujuh, Sugi, Moro, Sangla (Shanglar), Sandam, Durai, dan Kateman (sekarang masuk wilayah Kabupaten Indragiri Hilir).
De Batam Archipel adalah bahan pustaka yang kaya dengan informasi tentang masa lalu Batam pada abad 19. Fakta dan data yang ada didalamnya dapat disimak untuk kepentingan Batam dan kawsan sekitarnya pada masa kini.
Oleh karena itu, sudah selayaknya artikel ini diterjemahkan ke dalam bahasa tempatan agar isinya dapat menyingkap sisi-sisi yang “masih gelap” dalam sejarah Batam dan kawasan sekitarnya.***