KEARIFAN adalah istilah yang berasal dari bahasa Inggris, wisdom. Secara harfiah, wisdom berarti ‘kearifan atau kebijaksanaan’. Jika dikaitkan dengan tempat asal kearifan itu, ianya disebut kearifan lokal (local wisdom).
Dengan demikian, kearifan lokal dapat ditakrifkan (didefinisikan) sebagai gagasan-gagasan tempatan yang bijaksana, arif, dan baik, yang tertanam di dalam diri dan diikuti oleh anggota masyarakat (lihat juga Sartini 2004, 111) sehingga digunakan sebagai pedoman nilai oleh masyarakat setempat.
Selain local wisdom, dikenal pula istilah local genius, suatu istilah yang kali pertamanya diperkenalkan oleh Quaritch Wales. Menurut Soebadio, local genius adalah juga cultural identity, yakni identitas kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa itu mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai dengan watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi 1986, 18—19).
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi 1986, 40—41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah berpotensi menjadi local genius. Pasalnya, budaya daerah telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.
Ciri-cirinya mampu (1) bertahan terhadap budaya luar, (2) mengakomodasi unsure budaya luar, (3) mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, (4) mengendalikan budaya luar yang masuk, dan (5) memberi arah pada perkembangan budaya tempatan.
Menurut Gobyah (2003 dalam Sartini 2004, 112), kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau konsisten di suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan pelbagai nilai yang telah ada.
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat tempatan ataupun dalam kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut dijadikan pegangan hidup secara terus-menerus. Meskipun bernilai lokal, nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Harian Pikiran Rakyat (6/3/2003) mengaitkan kearifan dengan adat. Kearifan berarti ‘adat yang memiliki kearifan, yaitu al-‘addah al-ma’rifah’, yang dipertentangkan dengan al-‘addah al-jahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari oleh pengetahuan, diakui akal, dan dianggap baik oleh ketentuan agama (lihat juga Sartini 2004, 111—112). Dengan demikian, jika disandingkan dengan adat Melayu, kearifan lokal itu setara dengan adat sebenar adat yaitu adat yang bersumber dari ajaran agama Islam, yang bersumberkan firman Allah SWT (Al-Quran) dan sabda Rasulullah SAW (Hadits).
Karena bijaksana, arif, dan baik sehingga berguna sebagai pedoman berpikir, berasa, bersikap, dan bertingkah laku; kearifan lokal harus terus dipertahankan.
Cara yang ditempuh untuk itu adalah melalui proses pendidikan, baik pendidikan informal, formal, maupun nonformal. Dengan demikian, tugas itu menjadi tanggung jawab para orang tua di rumah, para pendidik di lembaga pendidikan, masyarakat setempat, serta pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara sinergis.
Dengan digalakkannya pendidikan budi pekerti (karakter) dalam sistem pendidikan kita, peluang itu menjadi terbuka lebar.
Istilah baharí pula lebih tepat digunakan dalam bidang budaya dan atau tamadun dibandingkan dengan istilah maritim. Pasalnya, baharí berkaitan dengan pembangunan dan perkembangan tamadun tahap demi tahap yang telah berlangsung sejak lama sehingga menjadi kearifan masyarakat yang dijunjung tinggi di kawasan yang sebagian besar wilayahnya adalah laut.
Dalam pada itu, maritim berhubung dengan pengembangan potensi kelautan, meliputi pantai dan laut, sebagai sumber ekonomi. Atas dasar itu, tulisan ini menggunakan istilah tamadun Melayu baharí untuk mengacu kepada peradaban yang berkembang di kawasan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas laut seperti Provinsi Kepulauan Riau.
Budaya kehidupan sesuatu masyarakat merujuk kepada tata cara mereka bereaksi terhadap lingkungan hidupnya, termasuk lingkungan sosial, dalam menyelenggarakan kehidupan secara kolektif. Masyarakat yang berbudaya tinggi sudah pasti mempunyai kehalusan budi dan kesempurnaan moral yang juga merupakan ciri-ciri kehidupan bertamadun.
Kehalusan budi yang dihargai dan diamalkan oleh sesuatu masyarakat dan atau bangsa sangat berkaitan dengan budaya dan tamadun yang mereka kembangkan. Budaya dan tamadun pula mempunyai perhubungan yang erat karena budaya masyarakat yang tinggi dan terpuji menandakan kehidupan yang bertamadun.
Istilah tamadun tak hanya merujuk kepada kemajuan kebendaan (material) sesuatu masyarakat. Sebenarnya, istilah tamadun ditinjau dari sudut etimologi berasal dari kata maddana dalam bahasa Arab. Maddana merupakan kata kerja (verb) yang merujuk kepada perbuatan ‘membuka bandar atau kota serta perbuatan memperhalus budi pekerti’.
Dari kata maddana terbentuk pula kata madani yang merupakan kata sifat (adjective). Madani merujuk kepada makna ‘sifat sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan perbandaran atau perkotaan serta kehalusan budi pekerti yang terpuji’.
Kedua-dua kata maddana dan madani itu sendiri sebenarnya berasal dari kata din yang bermakna ‘agama’, yaitu sesuatu yang menggambarkan kehidupan beragama (Marsuki 2006).
Dengan demikian, tamadun berkaitan dengan perkembangan peradaban yang bercirikan kehalusan budi yang dibina dan dikembangkan oleh manusia berdasarkan nilai-nilai agama yang mereka yakini dan anuti.
Pengertian tamadun berdasarkan etimologi seperti yang dikemukakan di atas, secara tak langsung menegaskan dua perkara yang penting dalam memberikan takrifan (definisi) yang lengkap terhadap istilah tamadun.
Penakrifan tamadun yang lengkap harus menggabungkan kedua-dua perkara yang berkaitan dengan kehalusan budi pekerti masyarakat dan pembangunan perkotaan atau permukiman.
Secara lebih sempurna, tamadun boleh ditakrifkan sebagai sejumlah capaian dan pembangunan dalam segala perlakuan, pemikiran, dan kemajuan (seperti sains, teknologi, kesenian, kesusastraan, dan lain-lain) yang tinggi, baik, halus, dan sopan ke arah pembentukan pribadi dan masyarakat yang memiliki kepribadian, tata susila, dan budi pekerti yang terpuji untuk membentuk sesuatu masyarakat atau negara-bangsa.
Tamadun juga sering disamakan pengertiannya dengan peradaban yang bermakna keadaan dan tingkat kemajuan pada kehidupan jasmaniah dan rohaniah sesuatu bangsa dan atau masyarakat.
Selain itu, kata yang sering digunakan dalam bahasa Inggris sebagai padanan kata tamadun ialah civilization. Kata civilization terbentuk dari kata civitas yang berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘bandar’ atau ‘kota’. Istilah civilization juga bermakna ‘penggabungan antara ketinggian budaya dan kemajuan kebendaan (material)’.
Kehidupan yang berbudi pekerti mulia dan bermoral tinggi merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan bertamadun. Pembinaan sifat itu pada diri seseorang begitu berkaitan erat dengan kepercayaan yang diterima, manakala kepercayaan seseorang pula merujuk kepada kehidupannya sebagai manusia beragama. Peran agama dalam membentuk pandangan sejagat (universal) seseorang dan sesuatu masyarakat serta tindakan mereka dalam kehidupan memang sangat penting.
Di sini terlihat bahwa agama berkaitan erat dengan tamadun seperti yang diperlihatkan oleh tamadun Melayu dan peradaban bangsa-bangsa lain di dunia ini pada masa silam.
Melayu dan tamadunnya tergolong satu di antara tamadun yang cukup tua di dunia. Berdasarkan bukti-bukti prasejarah yang diperoleh, bangsa Melayu dijangka telah ada sejak lebih dari 4.000—5.000 tahun yang lalu, yaitu bermula sejak 2.000 S.M. (Proto Melayu, Melayu Tua).
Hal itu berarti bahwa tamadun Melayu mempunyai sejarah yang panjang dan masih berterusan hingga setakat ini. Tamadun Melayu itu mempunyai wilayah geografi yang luas, yaitu sebuah wilayah samudera yang berwujud tamadun bahari.
Tamadun Melayu merupakan satu-satunya tamadun bahari di dunia (bandingkan juga dengan Hassan 2010, 1). Dengan demikian, walaupun terdapat banyak pusat tamadun Melayu dalam sejarahnya yang panjang, pada hakikatnya ianya adalah sebuah tamadun yang sama dalam suatu kesinambungan.
Tamadun Melayu dialami oleh manusia yang berkongsi himpunan memori yang sama, yaitu orang Melayu. Tamadun Melayu tumbuh, berkembang, dan maju dalam kestabilan politik yang lama dan berterusan yang dinaungi oleh perundangan-undangan dan budaya yang relatif lengkap.
Dengan tamadunnya, bangsa Melayu—sedikit atau banyak—memiliki ciri-ciri yang berbeda dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Melayu memiliki jati dirinya sendiri yang dipelihara semenjak awalnya dan tetap berterusan sampai sekarang. Kenyataan itu sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Quran.
”Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan berpuak-puak supaya kamu berkenal-kenalan. Sesungguhnya, semulia-mulianya kamu di sisi Allah ialah orang yang bertakwa di antara kamu,” (Q.S. Hujuraat:13).
Firman Allah itu dengan tegas menyatakan bahwa adalah hak semua bangsa untuk hidup secara damai dan sejahtera dengan jati dirinya masing-masing. Hal itu disebabkan oleh Allah-lah yang menciptakan bangsa-bangsa di dunia ini dengan puak-puaknya sekalian, termasuklah bangsa Melayu.
Di dalam pergaulan hidup di dunia kita pun diwajibkan untuk saling mengenali antara satu sama lain supaya lebih memahami kebesaran Allah. Akan tetapi, yang paling mustahak adalah setiap bangsa akan dimuliakan Allah kalau bangsa itu bertakwa kepada-Nya.
Ketakwaan sebagai wujud atau bagian dari kehalusan budi itulah yang harus ditunjuk dan diamalkan oleh bangsa Melayu supaya jati dirinya diangkat oleh Allah ke derajat yang tinggi lagi mulia. ”Barang siapa tiada mengenal agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama. Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah,” (Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas, 1846).
Hal utama itu pulalah yang harus terus dipertahankan oleh bangsa Melayu di dalam persaingan dengan bangsa-bangsa lain dalam era globalisasi ini sehingga bangsa Melayu tetap jaya sampai bila-bila masa pun atas rahmat Allah Azza wa Jalla.
Asal-muasal dan sejarah bangsa Melayu telah lama dikenal. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Liang Liji dari Universitas Beijing, Tiongkok, membuktikan bahwa pada abad ke-17—11 S.M. telah terjadi perhubungan antara bangsa Melayu dan bangsa Cina. Di dalam perpustakaan Dinasti Han, On Shu Oi Li Zhi, disebutkan bahwa pada masa Maharaja Han Wu Di berkuasa (140—87 S.M.) telah dibuka perjalanan dari Negeri Cina ke India melalui Semenanjung Tanah Melayu.
Seterusnya, Maharaja Sun Quan pada 222—252 M. mengirim Zhu Ying dan Kang Tai untuk menjalin persahabatan dengan Negeri-Negeri Melayu (Liang Liji, 2010). Setelah itu, barulah datang Yi Jing (I ‘Tsing) dan para pendeta agama Budha ke Sriwijaya untuk belajar agama Budha mulai abad ke-7 M.
Karena wilayah di luar Kepulauan Melayu di Asia Tenggara tak pernah menjadi wilayah konsentrasi, kegiatan perdagangan, intelektual, dan budayalah yang aktif. Sebetulnya, aspek intelektual ini adalah sesuatu yang sangat penting dalam tamadun Melayu.
Di mana pun tempat atau kawasan yang pernah menjadi pusat pemerintahan sultan atau raja-raja Melayu, kita akan mendapati lahirnya intelektual yang menghasilkan karya agama, filsafat, dan epik-epik Melayu, semenjak tradisi Melayu Hindu-Budha seperti yang dilaporkan oleh Yi Jing sehingga kerajaan-kerajaan Melayu Islam di Aceh, Sumatera Timur, Palembang, Melaka, Perak, Patani, Riau-Lingga-Johor-Pahang, sampai kepada Riau-Lingga (Hassan 2010, 5; Malik 2014, 6).
Hal itu bermakna satu di antara ciri yang paling menonjol dari setiap kemuncak tamadun Melayu ialah berkembangnya tradisi intelektual. Tak diragukan lagi bahwa tradisi intelektual menjadi ciri utama tamadun Melayu yang terus dipertahankan oleh dunia Melayu zaman-berzaman di mana pun pusat tamadun Melayu itu berada dan bila masa pun ianya ada.
Pada 1824, melalui Perjanjian London (Traktat London), Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dipecah dua oleh penjajah Belanda dan Inggris. Riau-Lingga berada di bawah penjagaan Belanda, sedangkan Johor-Pahang di bawah Inggris.
Semenjak itu, terpisahlah bangsa Melayu yang berada di Selat Melaka, yang awalnya di bawah satu pentadbiran pemerintahan, dalam wilayah geopolitik yang berbeda.
Tradisi intelektual Melayu bahari yang telah berlangsung sejak masa Kerajaan Sriwijaya (abad VII—XIV), Kesultanan Melaka (abad XV—XVI), Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (XVI—XIX); dilanjutkan di Kesultanan Riau-Lingga (XIX—XX), yang berpusat di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Provinsi Kepulauan Riau. Kreativitas ilmu-pengetahuan, agama Islam, seni, dan budaya mengalir dengan subur di Kesultanan Riau-Lingga pada pertengahan sampai akhir abad ke-19 serta awal abad ke-20.
Pada masa itu Kesultanan Riau-Lingga telah berkembang menjadi pusat tamadun Melayu-Islam. Salah seorang cendekiawan yang paling produktif menghasilkan karya dalam pelbagai bidang ilmu kala itu ialah Raja Ali Haji ibni Raja Ahmad Engku Haji Tua. Tradisi intelektual itu telah dimulai oleh Bilal Abu dan ayahanda Raja Ali Haji, yakni Raja Ahmad Engku Haji Tua.
Aktivitas dan kreativitas intelektual itu terus berlanjut sampai dengan awal abad ke-20. Alhasil, Kesultanan Riau-Lingga telah menghimpun lebih dari seratus orang cendekiawan dan atau penulis, terdiri atas laki-laki dan perempuan, suatu jumlah yang cukup signifikan untuk kurun itu jika dibandingkan dengan keadaan di kerajaan-kerajaan Melayu sebelumnya.
Mereka telah menulis dan mengembangkan pelbagai bidang ilmu-pengetahuan dan menggunakan genre tulisan yang beraneka ragam pula.
Di antara karya-karya itu, bahkan, ada yang tergolong karya perintis (pelopor) di nusantara ini dan ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi. ”Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti.” Itulah tekad dan azam intelektual Melayu dalam membina dan mengembangkan tamadun Melayu bahari seperti yang disimpulkan oleh Raja Ali Haji rahimahullah (Gurindam Dua Belas, 1846). Sememangnyalah, kalau tak kita, siapa lagi?***
Dimuat juga di “Jembia,” Tanjungpinang Pos, Ahad, 8 Juli 2018, hlm. 13
Sangat menarik Pak, bisa menjadi referensi utk generasi muda utk menghargai sejarah, dan bagi orang Melayu lebih mencintai budayanya.