1.http://untoldhistoriesofmalaya.blogspot.com/2012/09/untold-history-complete-history-of_30.html 2. Halaman awal Syair Perjalanan Sultan Lingga ke Singapura koleksi warisan KITLV, Leiden (foto: dok. Aswandi syahri)

Petang Sabtu, 3 Desember 1892. Sebuah istiadat paling mewah dan meriah berlangsung di Singapura. Sultan Johor, Yang Maha Mulia Sultan Abubakar, menzahirkan peresmian pembukaan bangunan istana baru Sultan Johor di Singapura yang terletak kawasan bernama bernama Tyersall: kawasan Tangling, tepat di belakang kebun bunga atau Botanical Garden Singapura.

Bersempena nama tempatnya, bangunan yang indah, mewah, dan megah itu kemudian dijuluki sebagai Istana Tyersall. Lidah orang Melayu menyebutnya istana Tersil. Di penghujung abad ke-19 itu, inilah kediaman raja Melayu yang terbaik diantara istana-istana yang ada di Tanah Semenanjung dan Kepulauan Riau-Lingga. Seni arsitekturnya tampil memperlihatkan harmoni seni bangunan Barat dan Timur yang sempurna dengan cita rasa kemewahan seorang raja dari Timur.

Ada yang menyebutnya sebagai istana Timur yang ‘arogan’ karena sentuhan Barat yang melekat padanya. Namun demikian, di sisi lain ada pula yang mengatakan sosok istana itu tak terkontaminasi anasir asing, karena  tetap kental dengan nuansa Timur yang romantik.

Bukan saja arsitekturnya indah dan isinya istananya yang mewah, istiadat peresmian pembukaannya juga megah. Peresmian pembukaan yang dilakukan oleh Gubernur Negeri-Negeri Selat (Governors od Strait Settlement), Sir Cecil Clementi Smith dan Lady Clementi Smith itu dihadiri oleh tuan-tuan pilihan dari kalangan orang putih, Melayu, Arab, dan tauke-tauke Cina serta saudagar India di Singapura.

Selain itu, ada pula ‘jemputan khusus’ yang hadir: mereka adalah Yang Maha Sultan Pahang, dan Yang Amat Mulia Sultan Lingga, Abdulrahman Mu’azamsyah dan ayahandanya, Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf  beserta rombongan.

Peristiwa presmian pembukaan dan kemegahan istana itu mendapat apresiasi khusus dari surat-surat kabar yang terbit di Singapura ketika itu. Sebagai ilustrasi, tiga hari setelah peristiwa tersebut,  surat kabar Straits Times Weekly Issue edisi 6 Desember 1892 menurunkan sebuah laporan panjang berjudul “The Sultan of Johore’s Singapore Residence.”

Selain itu, dua tahun kemudian, tepatnya 1894, ‘laporan pandangan mata’ tentang peristiwa pembukaan istana baru Sultan Johor ini, dan perihal kemewahan serta keindahannya muncul pula di Pulau Penyengat. Ditulis dengan cara yang lain dan menggunakan genre sastra klasik Melayu yang disebut syair.

Karya Cucu Raja Ali Haji

            Judul lengkap ‘laporan pandangan mata’ itu cukup panjang: Bahwa Inilah Syair Perjalanan Sultan Lingga dan Yang Dipertuan Muda Riau Pergi ke Singapura dan Peri Keindahan Istana Sultan Johor Yang Amat Elok (disingkat:  SPSLS).

Syair ini selesai ditulis pada 9 Zulhijah 1310 H bersamaan dengan 23 Juni 1894 M. Selanjutnya, selesai dicetak secara typography menggunakan huruf Arab Melayu atau huruf jawi di Pulau Penyengat oleh Mathba’ah al-Riauwiyah (yang dikepalai Said Ali ibni Ahmad al-‘Attas) pada 1 Jumadilakhir 1312 H bersamaan dengan 28 November 1894 M.

Penulisnya bernama Khalid Hitam bin Raja Hasan al-Haj Riau. Beliau adalah cucu Raja Ali Haji melalui anak laki-laki kesayangannya yang bernama Raja Hasan. Ia juga penyusun kitab Tsamat al-Mathlub dengan menggunakan nama pena Ibni Hasan Khalid al-Hitam Riau. Nama aliasnya yang lain, seperti tercantum dalam arsip surat-surat antara kerajaan Riau-Lingga dan Resident Belanda di Tanjungpinang, adalah Ibni Hasan Khalid al-Hitami; Khalid ibni Raja Hasan; Raja Khalid Hitam al-Riawi; dan Khalid Hitam.

Khalid Hitam bin Raja Hasan al-Haj Riau berasal dari keluarga pengarang. Ayahandanya, Raja Hasan ibni Raja Ali Haji, juga seorang penulis yang menghasilkan sebuah syair alegoris sufi berjudul Syair Burung (1859).

Selain mahir sebagai seorang penulis, Khalid Hitam adalah adalah pembesar Kerajaan Riau-Lingga, dengan jabatan Bentara Kiri yang juga bertanggung jawab sebagai ‘Kepala Arsip’ istana. Selain itu, si juga seorang tokoh politik, anggota Rusydiah Club Riouw, dan anggota verzetpatij (partai perlawanan) yang menentang dominasi politik kolonial Belanda di Kerajaan Riau-Lingga (1890-an-1914).

Dalam misi terakhirnya ke Jepang sempena mencari dukungan dan aliansi politik anti kolonial untuk mengusir Belanda dari Kerajaan Riau-Lingga, Khalid Hitam bin Raja Hasan al-Haj Riau mangkat di sebuah rumah sakit di Tokyo pada 14 Maret 1914.

Sejauh ini, diketahui hanya tersisa dua eksemplar edisi cetak SPSLS dalam khazanah dunia manuskrip Melayu Riau-Lingga. Keduanya (salah satunya adalah koleksi warisan KITLV-Leiden) kini berada dalam simpanan perpustakaan di Universitas Leiden, Negeri Belanda.

Alih aksara syair ini, yang dilengkapi dengan anotasi, telah disediakan oleh guru besar Hamburg Universiti, Jerman, Prof. Dr. Jan van der Putten (1998) untuk Malay Concordance Project yang digagas dan dikelola oleh almarhum Dr. Ian Proudfoot dari Australian National University.

Rombongan Sultan Lingga

            Seperti tergambar dalam judulnya, garis besar isi syair ini dapat dibagi menjadi ‘dua bagian’. ‘Bagian pertama’, adalah kisah tentang perjalanan rombongan keluarga diraja Riau-Lingga dari Pulau Penyengat ke Singapura, untuk  memenuhi jemputan kehormatan Sultan  Johor, Sultan Abubakar, sempena peresmian istana barunya di kawasan Tyersal atau Tersil, Singapura. ‘Bagian kedua’, berisikan laporan pandangan penulisnya, Raja Khalid Hitam, tentang  tentang kemeriahan peristiwa peresmian istana Sutan Johor di Singapura itu, serta peri keindahan dan kemewahan istana Tyersall milik Sultan Abubakar.

Tentang pejalanan keluarga diraja dan pembesar kerajaan Riau-Lingga yang ikut dalam pejalanan ke Singapura itu, dipaparkan dengan jelas dalam bait-bait syair tersebut. Mereka bertolak meggunakan dua kenaikan (kapal) diraja Riau-Linga, Sri Lanjut dan Gempita,  dari Pulau Penyengat pada pukul 10 pagi tanggal 13 Jumadilakhir 1310 H bersamaan dengan 2 desember 1892 M. Pada pukul 1 siang, rombongan diraja itu singgah sebentar di pelabuhan Pulau Buluh (di Selat Bulang, seberang Pulau Batam), tempat kedudukan Amir Riau-Lingga untuk wilayah Pulau Batam dan sekitarnya.

Sejurus kemudian, iring-iringan kenaikan diraja itu bertolak menuju Singapura, dan sampai di perairan yang bernama laut Tulub (sekitar Pulau Tulub, dekat Belakang Padang) pada pukul 3 petang. Dari sini, rombongan itu dijemput oleh tiga orang utusan Sultan Johor yang terdiri dari, Engku Cu, Tengku Muhammad, dan Wan Syarif, meggunakan kapal bernama Cohong.

Pukul 4 petang rombongan diraja itu menjejakkan kakinya di Teluk Belanga, Singapura, di kawasan pelabuhan bernama Waf Borneo. Di Singapura, rombongan ini disambut pula oleh pembesar Sultan Johor yang bernama Tengku Khalid dan Tengku Said yang diiringi oleh ambtenar-ambtenar serta pegawai-pegawai kesultanan. Untuk menjemput rombongan diraja Riau-Lingga itu, Sultan Abubakar menyediakan lima belas kereta bugi (sejenis kereta kuda) yang berarak beriring-iringan riuh-rendah sepanjang jalan dari Teluk Belanga ke kediaman khusus yang telah disediakan Sutan Abubakar.

Selama di Singapura, rombongan diraja Riau-Lingga itu bermastautin di beberapa kediaman. Yang Dipertuan Muda Riau dan pengiringnya di rumah Engku Cu;  Yang Mulia Sultan Lingga beserta pengiringnya ditempatkan di kediaman Wan Syarif. Sedangkan anggota rombongan diraja lainnya ada yang tingal di Kampung Gelam dan ada yang menanti di kapal kenaikan diraja.

Siapa saja yang ikut dalam robongan diraja Riau-Lingga itu? Selain Sultan Lingga Abdulrahman Muzam dan ayahandanya, Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf, serta bondanya yang bernama Tengku Embung Fatimah binti Sultan Mahmud Muzafarsyah, iku juga dalam rombongan itu Encik Muhammad Thahir selaku nakhoda kapal, Raja Haji Muhammad (Hakim di Lingga), Raja Zainal Bentara Kanan, Raja Uthman Amir Singkep, Encik Jumaat, dan beberapa pengiring lak-lakii serta perempunan.

Sudah barang tentu turut pula dalam rombongan diraja ini sang penulis syair, Khalid Hitam. Dalam bait-bait syair yang ditulisnya, ia mengganti nama batang tubuhnya dengan kata ganti orang kedua yang sangat halus dalam bahasa Melayu: hamba. Perihal sosok dirinya dalam syair yang ditulisnya itu, Khalid Hitam menuliskannya dalam bait syair sebagai berikut: Beberapa pegawainya mengiring belaka/ Raja Haji Muhammad hakim di Lingga/ Bersama Raja Zainal Paduka/ Hamba pun hadir beserta juga.

Selain menghadiri peresmian istana Tyersall yang mewah dan megah, rombongan diraja Sultan Lungga dan Yang Dipertuan Muda Riau itu juga mengunjungi beberapa tempat menarik di Singapura, seperti: Kebun bunga (Botanical Garden), rumah gambar (studio foto), Raffles Museum (kini, National Museum of Singapore), Bungalow di Batu Tujuh, nonton wayang cerita, mengunjungi Gudang Robinson, ke pasar Singapura, dan menghadiri beberapa jamuan makan.

Setelah beberapa hari melawat Singapura, rombongan diraja Riau-Lingga itu akhirnya kembali ke Pulau Penyengat melalui jalur yang sama: Singapura-Pulau Buluh-dan Pulau Penyengat.

Sebuah True Story

‘Bagian kedua’  syair ini, yang merupakan teras isinya, adalah perihal peristiwa dan suasana peresmian istana Tyersall milik Sultan Johor di Singapura, Sultan Abubakar, yang sangat mewah, yang ditulis dalam bentuk ‘laporan pandangan mata’. Menurut Khalid Hitam, ide menulis syair ini, diawali oleh usulan Encik Muhammad Thahir, sang nakhoda kapal rombongan itu, yang sangat berkehendakkan syair agar hal perjalanan supaya zahir.

Selain berdasarkan apa yang dilihat dan terekam dalam ingatannya, Khalid Hitam menggubah syair ini berdasarkan cerita yang ia dengar dari anggota rombongan diraja itu, dan hal-hal yang ia catat dalam jurnal atau catatan hariannya. Tentang hal ini, Khalid Hitam menukilkannya dalam dua bait sair sebagai berikut:

Masing-masing beristirahat akan dirinya/ menghilangkan lelah perjalannya/ Setengahnya duduk kepada ahlinya/ hal pelayaran diceterakannya.

Hingga itulah akhirnya cetera/ barang yang dapat dibuat segera/ daripada jurnal naskah dikira/ di situlah tempat berpaut mara.

SPSLS adalah contoh sebuah karya klasik dalam tradisi tulis Riau-Lingga yang bersumber dari true story: kisah yang benar adanya. Isinya dapat dibuktikan dengan bahan-bahan lain, seperti bahan-bahan arsip visual dan dokumen, dan laporan surat kabar sezaman tentang peristiwa itu.

Pemaparan Khalid Hitam tentang peri keindahan istana Sultan Johor yang megah dan mewah itu umpamanya, dapat pula disanding-bandingkan dengan laporan surat-surat kabar sezaman yang terbit di Singapura: seperti sebuah laporan yang dimuat dalam Strait Times Weekly Issue edisi 6 Desember 1892.

Artikel SebelumMenyeberang ke Tempat Menyepi dan Menulis Raja Ali Haji
Artikel BerikutKearifan Melayu Bahari
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan