Bilik arsip dan perpustakaan kerajaan Riau-Lingga di Pulau Penyengat pada masa lalu sangat kaya dengan khazanah historiografi. Selain Tuhfat al-Nafis serta Silsilah Melayu dan Bugis yang sangat terkenal, didalamnya juga terdapat Tawarikh al-Sughra dan Tawarikh al-Wustha, yang kini hanya dikenal oleh segelintir pakar sejarah dan manuskrip Melayu Riau-Lingga.
Kononnya, suatu ketika dulu Tawarikh al-Sughra ini pernah “dinyatakan” hilang dari almari arsip dan perpustakaan kerajaan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Untunglah sebuah salinannya masih tersimpan di Negeri Belanda, sehingga kita masih dapat membacanya. Apa saja isi Tawarikh al-Sughra?
Disalin di Pulau Boyan
Manuskrip Tawarikh al-Sughra ini adalah sebuah manuskrip salinan yang dihimpunkan dalam sebuah kumpulan salinan manuskrip sejarah Kerajaan Riau-Lingga, berjudul Sadjarah Riouw Lingga dan Daerah Taaloqnja, koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, di Negeri Belanda.
Pada salah satu halaman dalam kumpulan salinan manuskrip Melayu asal Kepulauan Riau ini terdapat sebuah catatan yang menyebutkan bahwa ianya selesai disalin di Pulau Boyan dekat Pulau Batam pada hari Sabtu, 17 Sya’ban 1308 H, bersaman dengan 28 Maret 1891 M, oleh Qari Ibrahim bin al-Marhum Engku al-Hajj Muhammad Tayyib Koto Gedang, Minangkabau. Belum diperoleh data biografis lebih lanjut tentang Qari Ibrahim, namun diperkirakan ia adalah salah seorang ambtenaar pribumi yang bekerja di lingkungan kantor Contrileur Batam yang berkedudukan di Pulau Boyan, yang letaknya tak jauh dari Pulau Buluh.

Kumpulan salinan manuskrip ini disalin pada sebuah buku tulis bergaris (semacam buku untuk mecatat administrasi keuangan) dengan kover karton tebal dan bersampul kertas marmer warna coklat tua. Pada bagian depan kaver, tertulis Sadjarah Riouw Lingga dan Daerah Taaloqnja sebagai judul kitab himpunan salinan manuskrip tersebut. Tulisan tangannya menggunakan huruh Arab-Melayu yang kemas dan mudah dibaca.
Isi ringkas himpunan salinan manuskrip tersebut telah dideskripsikan oleh Dr. R. Rolvink melalui sebuah artikel yang dimuat dalam jurnal Archipel 20 (Rolvingk, 1980: 225-231), dan menjadi rujukan Dr. Teuku Iskandar ketika menyusun katalog mutakhir naskah Melayu, Minangkabau, dan Sumatra Selatan yang tersimpan di Negeri Belanda (Iskandar, 1999: 326-327).
Menurut Dr. Rolvink dan Dr. Teuku Iskandar, naskah yang diakuisisi (tepatnya dibeli) oleh Perpustakaan Universitas Leiden dari Mr. Lange pada tahun 1932 ini, berisikankan salinan sepuluh buah manuskrip ( terdiri dari “manuskrip I” s.d. “manuskrip X” ).
Dalam himpunan salinan manuskrip ini, salinan manuskrip Tawarikh al-Sughra dideskripsikan sebegai manuskrip “nomor VI”. Baik Dr. Rolvink maupun Dr. Teuku Iskandar menjelaskan bahwa salinan manuskrip “nomor VI” dalam himpunan salinan manuksrip berjudul Sadjarah Riouw Lingga dan Daerah Taaloqnja ini sebagai satu manuskrip dengan satu satu pokok persoalan. Rolving menyebutnya sebagai A History of Indragiri. Sedangkan Teuku Iskadar, menggunakan kalimat pertama yang terdapat pada manuskrip “nomor VI” itu sebagai judulnya, yakni: Ceritera yang didaftar daripada Ungku Busu Inderagiri.
Tampaknya, ada kekeliruan dalam upaya-upaya pembacaan terhadap kandungan isi manuskrip ini? Baik oleh Dr. Rolving maupun Dr. Teuku Iskandar. Mengapa? Karena dari hasil pembacaan ulang terhadap salinan manuskrip “nomor VI” ini, dapat dipastikan bahwa ia sesungguhnya mengandungi salinan dua manuskrip yang berbeda; yang salah satunya adalah bagian dari sebuah manuskrip berjudul Tawarikh al-Sughra yang pernah ada dalam arsip dan perpustakaan Kerajaan Riau-Lingga, pernah dinyatakan hilang itu.
Karya Raja Jakfar
‘Jati diri’ sumber salinan manuskrip Tawarik al-Sughra ini (manuskrip aslinya) tertara dalam kolofon (catatan petunjuk pada akhir sebuah manuskrip) yang terdapat pada halaman 185 dan 186 kumpulan salinan manuskrip berjudul Sadjarah Riouw Lingga dan Daerah Taaloqnja.
Berdasarkan kolofon itu, tampak bahwa manuskrip asli yang menjadi acuan atau master copy salinan manuskrip Tawarikh al-Sughra ditulis oleh Raja Jakfar ibni Raja Haji atau Yamtuan Muda Riau VI yang bersemayam di Pulau Penyengat. Ia menuliskannya berdasarkan “apa yang ia ketahui” dan “bahan-bahan tertulis yang ada dalam simpanannya”. Hal sangat jelas terbaca pada baris-baris kalimat bagian awal dan bagian akhir kolofon yang saling berkelindan.
Pada bagian awal kolofon itu dinyatakan bahwa, “Syahdan maka segala hal yang tersebut itu, setengah daripadanya yang menceritakan yaitu hamba Yang Dipertuan Muda Riau Raja Jakfar…”, yang kemudian dikunci dengan penjelasan, “…Maka, manakala melihat hamba akan segala surat-surat mereka itu telah bercerai-berai dan kebanyakan karam khat-khat mereka itu, maka berbangkitlah hatiku bahwa memperbuat akan yang demikian itu…”

Mengapa Raja Jakfar menuliskan manuskrip sejarah ini? Jawabannya jelas tertera pada bagian-bagian yang menjadi teras utama dalam narasi Tawarikh al-Wustha. Yamtuan Muda Raja Jakfar adalah aktor utama dalam salah satu fase dalam dalam rangkaian peristiwa-peristiwa sejarah Indragiri yang menjadi teras utama dalam narasi Tawarikh al-Wustha.
Sebagai aktor yang terlibat dalam peristiwa, ketika menuliskannya sebegai sebuah “kisah” sejara”, Raja Jakfar tidak hanya bersandar pada kesaksiannya semata; ia juga melengkapinya dengan cerita-cerita yang didengarnya dari saksi-saksi dan catatan sejarah yang ada di dalam istana Riau-Lingga pada zamannya.
Narasi dan informasi tertulis tersebut, antara lain diperolehnya dari ayah Raja Ali Haji yang menulis “manuskrip awl” Tuhfat al-Nafis, yakni Engku al-Haji Ahmad ibni al-Marhum Yang Dipertuan Muda Raja Haji; dari Engku Tengah atau Engku Puan Selangor ibni Yang Dipertuan Muda Raja Haji; dari Engku Puan Bongsu ibni Sultan Salehuddin Indragiri; dan dari ‘…surat-surat siarah [sejarah] perjalanan Raja Melayu…” yang kondisinya telah rusak dan ‘…bercerai-berai…”.
Sejarah Kecil Indragiri
Dalam kumpulan salinan manuskrip berjudul Sadjarah Riouw Lingga dan Daerah Taaloqnja ini, salinan manuskrip Tawarikh al-Sughra tertera pada halaman 161 hingga halaman 186.
Setelah diawali dengan beberapa baris do’a dan puji-pujian kepada Allah dan Rasul-Nya, pada bagian awal nasakah ini, dijelaskan bahwa salinan manuskrip ini adalah “…suatu risalah yang dihubungkan akan dia pada akhir kitab yang bernama Tawarikh al-Sughra….”: atau sebuah salinan suatu bagian [akhir] dari sebuah manuskrip yang berjudul Tawarikh al-Sughra atau ‘Sejarah Kecil’.
Di dalamnya, dijelaskan sejarah Indragiri dan kait-kelindannya sebagai bagian dari daerah takluk perintah Kerajaan Riau Lingga dan Daerah Takluknya dengan rentang temporal antara abad ke-18 hingga abad ke-19.
Diperkirakan, salinan bagian dari manuskrip Tawarikh al-Sughra ini erat kaitannya dengan naskah lain yang berjudul Mukhtasar Tawarikh al-Wustha, yang khusus menjelaskan kait-kelindan sejarah Raja-Raja Melayu dan Bugis dalam perjalanan sejarah kerajaan Riau-Lingga Johor dan Pahang serta daerah takluknya.
Teras utama narasi manuskrip ini diwali dengan pejelasan asal-usul negeri Indragiri yang pada mula dibuka oleh tiga orang besar Minangkabau (ditulis Minangkerbau) bernama: Tun Gagah, Tun Balai, dan Tun Gadis Kecil, yang hijrah dari pusar kerajaan Minangkabau karena perselisihan politik dan adat.
Ketiganya adalah keturunan Patih Sebatang (Datuak Perpatiah nan Sabatang) yang dalam naskah ini disebut sebagai “…Orang Minangkerbau yang mengambil Sang Sepurba dari Palembang dirajakan di Minangkerbau….”
Alur narsinya terus begerak kepada kisah-kisah hubungan politik dan perselisihan ketiga orang besar itu dengan anak Raja Minangkabau di Pagaruyung kemudian datang menyerang “negeri baru mereka”; hubungan mereka dengan Melaka dan Majapahit; sehinggalah kepada kisah meminta raja dari Melaka (seperti diceritakan dalam kisah Rakit Kulim yang terkenal di Kuanta-Indragiri); serta kisah-kisah sejarah yang menyebabkan Indragiri menjadi daerah takluk Kerajaan Riau-Lingga.
Dalam kisah penaklukan Indragiri inilah dijelaskan bahwa Raja Haji Fisabillillah dan anaknya, Yamtuan Muda Riau Raja Jakfar (penulis manuskrip Tawarikh Sughra ini) sebegai aktor utamanya.
Sebelum ditutup dengan sebuah kolofon yang isinya telah dijelaskan sebelumnya, teras utama narasi manuskrip ini diakhiri dengan catatan kronologis peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan Indragiri dan hubungannya dengan kerajaan Riau-Lingga; diawali sejak zaman Sultan Salehuddin hingga zaman Yamtuan Muda Riau Raja Jakfar yang menuliskannya.
Catatan kronologis peristiwa itu diawali dengan, “Bermula adapun Inderagiri diambil oleh Engku Kelana Raja Haji daripada tangan anak Raja Minangkerbau yaitu dalam tahun sanah 1169.”
Sembilan catatan krologis peritiwa itu diakhiri dengan penjelasan sebagai berikut: “Kemudian daripada itu Sultan sendiri juga memperbuat kontrak dengan Governement Holanda yang termaktub pada 11 Zulhijah sanah 1258 dan pada 13 hari bulan Januari 1843.”***