Khazanah senjata tradisional Melayu tidak hanya sebatas alat pertikaman seperti keris dan sejenisnya, akan tetapi mencakupi pula beragam senjata api dengan berbagai jenisnya seperti, bedil, istinggar, lela, rentaka dan lain sebagainya.
Keberadaan senjata api dalam khazanah persenjataan persenjataan tradisional Melayu ini tidak hanya dapat dibuktikan secara artefaktual, tapi juga dicatat dalam kitab-kitab khusus tentang Ilmu Bedil, yang menjelaskan berbagai aspek dan teknik penggunaan senjata api oleh orang Melayu.
Istilah bedil dalam bahasa Melayu (dan sudah barang tentu terpakai pula dalam bahasa Indonesia pada masa kini) adalah sebuah kosa kata serapan. Menurut H. Kern dalam sebuah artikelnya, Oorsprong Van Het Maleisch Woord Bedil [Asal Usul Kosa Kata Bedil Dalam Bahasa Melayu], perkataan bedil itu berasal dari kosa kata wedil atau wediyal dalam bahasa Tamil.
Dalam sosok aslinya, perkataan ini menunjuk kepada mesiu atau ledakan bubuk mesiu. Namun setelah terserap menjadi bedil dalam kebudayaan Melayu, dan sejumlah kebudayaan lain di Nusantara, kosa kata Tamil itu digunakan untuk menyebut “semua” jenis senjata api yang menggunakan mesiu.
Demikianlah, dalam bahasa Jawa dikenal istilah balin; dalam bahasa Sunda ada istilah bedil; dalam bahasa Batak dikenal pula dengan bodil; dalam bahasa Makasar, badili; dalam bahasa Bugis, balili; dalam bahasa Dayak, badil; dalam bahasa Tagalog, baril; dan orang Melayu menyebutnya bedil.
Koleksi NUS dan variannya
           Khazanah kepustakaan ilmu tradisonal Melayu yang menghiasi ruang kutubkhanah minggu ini berasal dari salinan mikrofilem sebuah faksimile manuskrip Melayu koleksi tertutup (close stack) milik Central Library (Perpustakaan Pusat) National University of Singapore, NUS, (Universitas Kebangsaan Singapura).
Manuskrip ini sesungguhnya tak mempunyai judul. Oleh pustakawan NUS, manuskrip yang ditulis menggunakan huruf jawi atau huruf Arab Melayu ini diberi judul Ilmu Obat Bedil, dengan nomor CALL# GN477 Ilm, dan tersimpan pada rak dengan nomor katalogus STACK# R0028718.
Katalog perpustakaan pusat NUS tak banyak memberikan informasi bibliografis tentang manuskrip ini. Selain tidak ada kolofon manuskrip yang dapat menjelaskan beberapa aspek pentingnya, katalog koleksi NUS juga tidak menjelaskan siapa penulis atau penyalinnya, dan kapan manuskrip ini ditulis atau disalin. Juga sulit untuk memeriksa cap air (watermark) pada kertas yang digunakan, karena yang tersedia hanyalah salinan sebuah manuskrip dalam format mikrofilm.

Namun yang pasti, dalam korpus khazanah manuskrip Melayu, manuskrip berkenaan dengan Ilmu Ubat Bedil ini bukanlah sebuah naskah tunggal yang bertaraf codex unicus. Perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka di Kuala Lumpur, Malaysia, mempunyai dua varian manuskrip sejenis. Salah satu diantaranya diberi judul Ilmu Bedil (MS 31). Manuskrip ini ditulis pada 44 lembar kertas folio berukuran 33 x 22 cm. Secara substansial, kandungan isi manuskrip ini sangat mirip dengan salinan manuskrip Ilmu Ubat Bedil koleksi NUS.
Sama seperti reproduksi manuskrip sejenis koleksi Perspustakaan NUS, pada manuskrip koleksi Perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka juga tidak tertera nama penulis atau penyalinnya. Namun demikian, manuskrip milik Perpustakaan pusat NUS lebih istimewa karena berhiaskan iluminasi motif floral.
Selain di Singapura dan Malaysia, manuskrip ilmu bedil Melayu seperti ini juga ditemukan dalam koleksi sejumlah lembaga di Negeri Belanda. Di Perpustakaan Universitas Leiden, umpamanya, tersimpan tiga manuskrip sejenis yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia.
Ketiga manuskrip tersebut adalah: Pertama sebuah manuskrip dengan nomor katalogus Cod. Or. 5278 yang berjudul Ilmu Bedil: ditulis menggunakan huruf Bali, Arab, Arab Melayu, dan berasal dari Lombok. Manuskrip yang kedua ditulis dalam format ketikan dengan nomor katalogus Cod.Or. 8447 (39.2) dengan judul  Ilmu Bedil yang dihimpunkan dalam sebuah kumpulan salinan manuskrip berasal dari Sumatera Selatan. Dan ketiga adalah sebuah manuskrip dengan nomor katalogus Cod.Or. 12.257 berjudul  Ilmu Bedil yang selesai ditulis di Bengkulu pada 1860.
Ilmu Bedil Melayu
           Apakah sesungguhnya kandungan isi sebuah kitab ilmu bedil Melayu? Paragraf pembuka kitab Ilmu Bedil Melayu koleksi Perpustakaan NUS, Singapura, yang menjadi rujukan utama kutubkhanah kali ini, diawali dengan penjelasan sebuah pasal tentang kaidah menggunakan salah satu jenis senjata api orang Melayu yang disebut istinggar, yakni senjata api Melayu yang diadopsi dari Portugis. Orang Portugis menyebutnya Espingarda: sebangsa senapang atau bedil bersumbu (matclock guns).
Perihal senjata api yang disebut istinggar ini, yakni tentang bagaimana menakar obat bedil (mesiu) yang digunakan, antara lain dijelaskan sebagai berikut:
“Pasal ini pada menyatakan jikalau hendak menjaga istinggar itu memara jauhnya itu anam depa, maka bubuh ubatnya berat seamas sepung. Samakan dengan tembak tiga puluh timbangannya. Dibubuh ubat itu sedikit tiadalah baik. Sebagai lagi jikalau menjaga istinggar itu dekat, maka dibubuh ubatnya sedikit salahlah tembaknya, dan jikalau tembaknya itu jauh, maka dibubuh ubatnya itu banyak itupun salah juga tembaknya itu. Jikalau jauh dekat pun disamakan juga ubatnya itu”.
Setelah itu, bagian-bagian selanjutnya dari kitab ini berisikan penjelasan atau pasal-pasal yang berkenaan dengan teknik memegang dan mengarahkan senjata, menyiapkan peluru, mengatur pejera atau pembidik, pedoman berbagai teknik dalam menembak yang bernyawa, hinggalah kepada kaidah-kaidah teknis, seperti, bila laras sebuah bedil yang digunakan terlalu panas.

(dok. Aswandi syahri)
Sebagai ilustrasi, pasal-pasal tersebut antara lain adalah: Pasal ini pada menyatakan syarat tatkala membedil. Pasal syarat menggamak bedil. Pasal pada menyatakan syarat kepada pandang. Pasal ini menyatakan syarat tatkala hendak akan melepaskan peluru, syarat membedil, syarat menaruhkan pejeranya, dan pasal pada menyatakan tilik tatkala hendak menembak segala yang bernyawa.
Pada bagian yang lain, kitab ini juga menjelaskan empat kaidah menembak dan dua belas rukun tembak yang wajib diketahui oleh seorang pendekar tembak Melayu.
Kaidah menembak yang pertama disebut tembak bidak. Dalam kaidah ini, kuncinya berada pada pandangan mata yang menatap lurus sepanjang laras bedil dan didukung oleh empat syarat penting bagi berhasilnya sebuah tembakan, yakni: mrnggunakan bedil yang baik, [meng]gamak atau memegang bedil secara baik, menggunakan peluru yang baik, dan menggunakan ubat bedil atau bubuk mesiu yang baik.
Teknik yang kedua disebut tembak kilat, yaitu dengan mengarahkan bedil pada sasaran yang tepat di depan mata. Kaidah yang ketiga disebut tembak ustaz. Dalam kaidah ini, yang menjadi kuncinya adalah menempatkan poisisi bedil pada rusuk dan ditopang oleh tangan kiri. Adapun kaidah yang keempat, disebut kaidah tembak alat. yakni sebuah cara menembak yang mengutamakan segala anggota tubuh dan gabungan tiga kaidah menembak lainnya sebelumnya.
Selain menjelaskan teknik menembak, dalam kitab ini juga dijelaskan bagaimana jampi atau penawar bila luka terkena obat bedil. Begitu juga bila laras sebuah bedil sangat panas, maka dijelaskan pula ramuan penawarnya: “ambil tawas, tumbuk lumat-lumat, maka celupkan pada air cuka, kemudian sapukan pada bedil itu”.
Petunang Pengendali Peluru
           Pengetahuan tentang tentang cara menggunakan berbagai jenis senjata api tradisional seperti bedil, istinggar, rentaka, lela, penabur, senapang lantak, meriam dan sejenisnya oleh masyarakat di Alam Melayu, jelas banyak dipengaruh oleh pengetahuan yang berasal dari Turki, Arab, dan barangkali juga Eropa .
Namu demikian satu hal yang menarik, seperti dijelaskan dalam kitab ilmu bedil orang Melayu ini, penggunaan senjata-senjata api tersebut mendapat tambahan istiwema yang mungkin tak dikenal dalam teknologi dan tekni penggunaaan senjata api sejenis oleh orang Eropa dalam kurun yang sama.
Dengan menggunakan peluru berpetunang, berpitunang, atau peluru yang telah telah dijampi dengan mantra dan ayat tertentu, seorang pendekar tembak Melayu dapat mengarahkan peluru itu tepat mengenai sasaran tembaknya.
Bagi orang Melayu, senjata-senjata api seperti  bedil, istinggar, meriam, lela, dan sejenisnya hanyalah alat atau media penyampai peluru ke sasaran tembak. Sebaliknya ketepatan peluru dalam dalam menjagkau sasaran tembak sangat ditentukan oleh jampi petunang atau pitunang yang sarat dengan do’a, mantra, dan makrifat yang dibacakan si penembak; petunang atau pitunang inilah yang berfungsi sebagai peengendali arah peluru menunju sasaran tembaknya.
Oleh karena itu, selain ditentukan oleh berbagai aturan yang sifatnya teknis, maka beraga peluru yang digunakan untuk sasaran tembak yang berbeda dan beragam, dipergunakan jampi petunang atau pitunang yang berbeda pula.
Sebagai contoh, bila hendak menembak membinasakan orang [seorang manusi sebegai sasaran tembak], maka jampi penunangnya adalah sebagai berikut: Jibril nama peluru aku/ Mikail nama tembak aku/ Israfil nama bedil aku/ Israil nama tangan aku/ Barang kedak aku diikut olehmu/Aku memakai pakaian laki-laki/ Dengan berkat do’a Datuk Raja Lela.
Dalam terminologi dunia persenjataan modern, konsep atau gagasan dasar peluru berpetunang [peluru yang geraknya dikendalikan oleh oleh matra dan jampi] ini samalah seperti konsep peluru kendali. Jika memang demikian, apakah berlebihan bila mengatakan bahwa orang Melayu telah mengamalkan konsep dasar peluru kendali jauh sebelum orang Eropa menemukannya ratusan tahun kemudian.***