SEMASA pendudukannya di nusantara ini pemerintah kolonial Belanda berkali-kali berupaya sekuat dapat untuk mengatasi kedudukan istimewa bahasa Melayu. Penjajah Belanda berhasrat bangat hendak menggantikan  keunggulan bahasa Melayu dengan bahasa mereka, bahasa Belanda.

Betapa tidak? Jika upaya Belanda itu berjaya, bangsa penjajah itu akan menduduki Indonesia jauh lebih lama dibandingkan dengan yang telah mereka nikmati selama ini. Ada di antara pemimpinnya, bahkan, telah berancang-ancang untuk menguasai Indonesia sekurang-kurangnya 300 tahun lagi. Pasalnya, melalui pengaruh bahasa Belanda, bangsa Indonesia akan menjadi ”lebih mesra” berhubungan dengan bangsa penjajah itu.

Apakah yang terjadi kemudian? Pada 1849 Pemerintah Hindia-Belanda mendirikan sekolah bagi orang Jawa. Kala itu muncullah persoalan bahasa: bahasa apakah yang harus digunakan sebagai bahasa pengantar? Terjadilah perselisihan pendapat di antara para pemimpin Belanda. Akan tetapi, Gubernur Jenderal Rochussen yang berkuasa kala itu dengan tegas berpandangan bahwa pengajaran harus diantarkan dengan bahasa Melayu karena sudah menjadi alat  komunikasi utama di seluruh Kepulauan Hindia (Indonesia, sekarang).

Satu perkara lagi yang tak boleh dilupakan dalam kaitannya dengan perkembangan dan keunggulan bahasa Melayu di nusantara ini. Walau di bawah penjajahan Belanda, bahasa Melayu tetap digunakan sebagai bahasa resmi antara pihak Belanda dan raja-raja serta pemimpin rakyat semasa. Berkenaan dengan itu, C.A. Mees (1957, 16) menyimpulkannya, “Demikianlah bahasa Melayu itu mempertahankan sifat yang internasional (huruf miring oleh saya, HAM) dan bertambah kuat dan luaslah kedudukannya yang istimewa itu.”

Pada masa pendudukan Jepang (1942—1945) kedudukan bahasa Melayu-Indonesia menjadi lebih kuat lagi. Hal itu disebabkan oleh pemerintah kolonial Jepang tak mengizinkan bangsa Indonesia menggunakan bahasa Belanda. Lebih hebatnya lagi, penduduk nusantara hanya mau  menggunakan bahasa Melayu ketika berkomunikasi dengan orang Jepang.

Memasuki abad ke-20 bahasa Melayu memainkan peran sebagai bahasa pergerakan nasional. Pada masa ini peran bahasa Melayu menjadi lebih penting lagi. Kesadaran para pemimpin bangsa kala itu bahwa perlu adanya persatuan dan kesatuan yang kokoh di seluruh nusantara untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, diperlukan satu bahasa persatuan untuk mempersatukan seluruh bangsa Indonesia sehingga memudahkan perjuangan merebut kemerdekaan.

Di Indonesia ada tokoh yang mengusulkan mustahaknya bahasa persatuan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan dan setelah merdeka kelak. Beliau adalah R.M. Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) melalui makalah yang dibacakannya pada 28 Agustus 1916 dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda. Usul beliau, bahasa Melayu yang harus dijadikan bahasa persatuan dengan melihat perkembangan pesat bahasa Melayu pada masa itu.

Setelah itu, pada Kongres I Pemuda Indonesia muncul dua pendapat untuk nama bahasa nasional Indonesia. Muh. Yamin mengusulkan nama bahasa Melayu, sebagaimana nama asalnya, sedangkan M. Tabrani mengusulkan nama baru untuk bahasa itu yaitu bahasa Indonesia. Alhasil, Kongres I Pemuda Indonesia pada 2 Mei 1926 menyetujui nama bahasa Indonesia seperti yang diusulkan M. Tabrani (lihat Kridalaksana 2010, 13—18).

Pada Kongres II Pemuda Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta, 28 Oktober 1928 bahasa Melayu yang secara politik diberi nama baru bahasa Indonesia, sesuai dengan usul M. Tabrani diterima secara aklamasi oleh peserta Kongres, dikukuhkan menjadi bahasa persatuan atau bahasa nasional Indonesia.

Alhasil, dalam waktu hanya 17 tahun sejak 1928 dengan menggunakan bahasa Melayu-Indonesia sebagai alat perjuangan, bangsa Indonesia berhasil merebut kembali kemerdekaannya. Padahal, sebelum itu bangsa Indonesia telah berjuang ratusan tahun, tetapi tak mampu menghalau penjajah. Secara kebetulankah Soekarno-Hatta memproklamasikan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945?

Ketegasan Gubernur Jenderal Rochussen pada 1849 setelah dia sangat menyadari keadaan ini. Bahasa Melayu telah menyebar luas di kalangan masyarakat di Pulau Jawa yang digunakan sebagai bahasa kedua. Kedudukan bahasa Melayu itu tak mungkin dapat disaingi oleh bahasa Belanda di nusantara.

Kala itu Syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji telah dikenal di kalangan terdidik seluruh nusantara dan mengalami cetak ulang berkali-kali di Singapura (cetakan pertama 1845). Versi ilmiahnya lengkap dengan terjemahan bahasa Belandanya dan diberi pendahuluan oleh P.P. Roorda van Eysinga dimuat di majalah Tijdschrift voor Neerlands Indie (1847).

Begitu berpengaruhnya syair karya Raja Ali Haji itu sehingga menjadi bahan cerita teater rakyat yang juga diberi nama Dul Muluk di Sumatera Selatan, tempat yang dulunya menjadi pusat penyebaran bahasa Melayu Kuno, dan Bangka-Belitung.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa bahasa Melayu standar Riau-Lingga (bahasa Melayu Tinggi) telah menyebar ke seluruh nusantara dan sangat disukai oleh seluruh penduduk Kepulauan Nusantara. Dengan memperhatikan kenyataan itu, tak ada jalan lain bagi pemerintah kolonial Belanda, kecuali menjadikan bahasa Melayu Riau-Lingga sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan yang mereka dirikan untuk orang pribumi, termasuk di Pulau Jawa.

Pada 1855 Pemerintah Hindia-Belanda mengangkat Von de Wall menjadi pegawai bahasa. Beliau adalah pegawai Belanda kelahiran Jerman, yang sebelumnya berkhidmat sebagai tentara. Beliau ditugasi untuk menyusun buku tata bahasa Melayu, kamus Melayu-Belanda, dan kamus Belanda-Melayu.

Penyusunan kamus bahasa Melayu-Belanda merupakan pekerjaan yang sangat penting kala itu karena Pemerintah Hindia-Belanda memerlukan pedoman ejaan,  buku tata bahasa baku, dan kosakata baku untuk pendidikan di Kepulauan Hindia-Belanda. Berhubung dengan tugas itu, Von de Wall diutus ke Kesultanan Riau-Lingga pada 1857.

Untuk menyelesaikan tugasnya itu, beliau bekerja sama dengan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim serta mengangkat Abdullah (anak Haji Ibrahim) menjadi juru tulisnya. Beliau menetap di Tanjungpinang sampai 1860. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 14 Februari 1862, beliau kembali lagi ke Tanjungpinang.  Sejak itu beliau terus berulang-alik Batavia—Riau-Lingga sampai 1873 untuk menyelesaikan tugasnya dan mendalami bahasa Melayu (Van der Putten dan Azhar 2006, 4—11).

Dalam masa tugasnya itu Von de Wall sempat menyunting buku karya Haji Ibrahim: Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Johor. Jilid pertama buku itu  diterbitkan di Batavia pada 1868 dan pada 1872 terbit pula jilid keduanya.

Pada masa Von de Wall bertugas itu beberapa karya Raja Ali Haji sudah dikenal luas. Syair Abdul Muluk yang dicetak di Singapura mengalami beberapa kali cetak ulang. Syair itu diterbitkan dalam versi ilmiah lengkap dengan terjemahan bahasa Belandanya dan diberi pendahuluan oleh P.P. Roorda van Eysinga di Tijdschrift voor Neerlands Indie (1847).

Dua karya Raja Ali Haji yang lain juga dimuat di dalam majalah berbahasa Belanda yaitu sebuah syair tanpa judul dimuat di majalah Warnasarie dan Gurindam Dua Belas yang diterbitkan oleh Netscher dalam Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap. Syair Raja Ali Haji yang dimuat dalam Warnasarie merupakan satu-satunya syair berbahasa Melayu di dalam majalah yang bertujuan untuk menerbitkan sajak Belanda di tanah jajahan (Van der Putten dan Azhar 2006, 17—18).

Karena bermitra dengan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim, tentulah karya-karya penulis ternama Kesultanan Riau-Lingga itu berpengaruh pada pekerjaan Von de Wall. Selain karya Haji Ibrahim yang telah disebutkan di atas, yang bahkan Von de Wall menjadi penyuntingnya, tentulah karya linguistik Raja Ali Haji Bustan al-Katibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) juga menjadi rujukan Von de Wall.

Pasalnya, semasa beliau bertugas di Tanjungpinang dan Pulau Penyengat, buku Raja Ali Haji itu telah dicetak. Selain itu, penjelasan lisan kedua orang pendeta bahasa Melayu itu jelas menjadi acuan utama Von de Wall karena memang kedua sahabatnya itulah yang menjadi informan utama pegawai bahasa Pemerintah Hindia-Belanda itu.

Pada Mei 1864 datang seorang pakar bahasa lagi ke Kesultanan Riau-Lingga. H.C. Klinkert, nama pakar itu, dikirim oleh Majelis Injil Belanda untuk mempelajari bahasa Melayu yang murni. Tujuannya adalah untuk memperbaiki terjemahan Injil dalam bahasa Melayu. Beliau tinggal di Tanjungpinang lebih kurang dua setengah tahun (lih. Van der Putten dan Azhar 2006, 9).

Dalam buku Kees Groeneboer, Jalan ke Barat (1995:166) tercatat pada Pasal 28 dari Peraturan untuk Pendidikan Dasar Pribumi yang mulai ditetapkan pada 1872, yang berbunyi sebagai berikut.

“Untuk pendidikan dalam bahasa rakyat, dipakai bahasa yang paling murni ucapannya dan yang paling berkembang di tempat-tempat itu … bahasa Melayu akan diajarkan menurut aturan dan ejaan bahasa Melayu murni yang dipergunakan di Kepulauan Riau [huruf miring oleh saya, HAM.], dan bahasa-bahasa selebihnya akan ditentukan kemudian” (KG 25-5-1872, Stb. No. 99, dalam Brouwer 1899: Lampiran I).

Telah disebutkan bahwa R.M. Suwardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara  merupakan orang pertama yang mengusulkan bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan dalam pergerakan nasional dan di alam Indonesia merdeka pada 1916, bahkan di Negeri Belanda. Selepas itu, dalam makalah “Bahasa Indonesia di dalam Perguruan”, yang disajikan dalam Kongres I Bahasa Indonesia  di Solo pada 1938, beliau lebih tegas lagi menyebutkan, “Yang dinamakan ‘bahasa Indonesia’ adalah bahasa Melayu . . . dasarnya berasal dari ‘Melayu Riau’ . . . .” (Puar 1985, 324; Malik 1992, 3).

Harimurti Kridalaksana (1991, 176—177), seorang pakar bahasa Indonesia yang sangat karismatik dan peneliti sejarah bahasa Indonesia, membantah pendapat yang menyebutkan bahwa bahasa Indonesia berasal dari pijin dan kreol Melayu, yang dikemukakan oleh beberapa sarjana bahasa.

Dalam bantahan itu beliau mengatakan, antara lain, bahwa ketika diangkat menjadi bahasa Indonesia, 1928, bahasa Melayu secara substansiil sudah merupakan bahasa penuh (full-fledged language) dan menjadi bahasa ibu masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera sebelah timur, Riau, dan Kalimantan, dan sudah mempunyai kesusastraan yang berkembang—kesusastraan yang lazim disebut Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan 20—yang berhubungan historis dengan kesusastraan Melayu Klasik yang sudah berkembang sejak abad ke-14. Selanjutnya, menurut Kridalaksana, “Sebelum menjadi bahasa Indonesia, bahasa Melayu telah mengalami proses standardisasi terutama melalui sistem pendidikan kolonial Belanda.”

Dari perian tentang sejarah singkat bahasa Melayu di atas, jelaslah  bahwa bahasa Melayu telah sejak lama menjadi bahasa pertama atau bahasa ibu masyarakat Kepulauan Melayu. Di samping itu, bahasa Melayu pun telah sejak berabad-abad menjadi bahasa kedua penduduk seluruh nusantara, jauh sebelum diangkat menjadi bahasa nasional Indonesia.

Pada masa kegemilangannya, bahasa Melayu, bahkan seperti diakui oleh banyak pakar berkebangsaan asing, telah sejak lama menjadi bahasa internasional. Francois Valentijn, bahkan, mengatakan bahwa sejak abad ke-18 bahasa Melayu telah menyamai bahasa-bahasa penting di Eropa dan persebarannya sangat luas sampai ke Persia. Mana mungkin bahasa seperti itu disebut bahasa pijin atau kreol atau Melayu Pasar.

Lagi pula, selain telah mengalami proses standardisasi dalam sistem pendidikan kolonial Belanda, bahasa Melayu pun telah mendapat pembinaan dan pengembangan dari kalangan intelektual Kesultanan Riau-Lingga.

Karya-karya Raja Ali Haji, Haji Ibrahim, Raja Ali Kelana, dan Abu Muhammad Adnan serta para penulis lain dalam pelbagai bidang ilmu-pengetahuan di Kesultanan Melayu itu, terutama dalam bidang bahasa dan sastra, memungkinkan kedudukan bahasa Melayu tinggi (Melayu baku) menjadi istimewa dan berpengaruh luas ke seluruh Kepulauan Nusantara. Hal itu dimungkinkan karena ada rujukan yang jelas tentang sistem bahasa Melayu tinggi seperti yang diakui oleh banyak peneliti asing.

Ch. A. van Ophuijsen, pakar bahasa berkebangsaan Belanda, yang juga melakukan penelitian di Kepulauan Riau, menulis banyak hal tentang bahasa Melayu. Di dalam bukunya  Maleische Spraakkunst (1910 dan 1915), yang diterjemahkan oleh T.W. Kamil ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tata Bahasa Melayu (1983), penyusun Ejaan Bahasa Melayu dengan huruf Latin (1901) itu, antara lain, menjelaskan hal-hal berikut.

  1. Bahasa Melayu adalah bahasa orang yang menamakan dirinya orang Melayu dan yang merupakan penduduk asli sebagian Semenanjung Melayu, Kepulauan Riau-Lingga, serta pantai timur Sumatera.
  2. Orang Melayu termasuk bangsa pelaut dan pedagang sehingga bahasanya berpengaruh di sejumlah besar permukiman Melayu di pantai pelbagai pulau di Kepulauan Hindia Timur (Kepulauan Indonesia, HAM), antara lain Kalimantan.
  3. Semua orang asing, baik orang Eropa maupun orang Timur, hampir hanya menggunakan bahasa Melayu dalam pergaulan antara mereka dan dalam pergaulan dengan penduduk seluruh Kepulauan Hindia Timur.
  4. Pelbagai suku bangsa di antara penduduk kepulauan itu menggunakannya sebagai bahasa pergaulan antara mereka.
  5. Kalangan raja pribumi memakai bahasa Melayu dalam urusan surat-menyuratnya dengan pemerintah (maksudnya Pemerintah Hindia-Belanda, HAM) dan antara sesamanya.
  6. Semua surat-menyurat antara pegawai negeri Eropa dan pribumi pun dilangsungkan dalam bahasa itu.
  7. Penyebaran bahasa Melayu telah terjadi selama berabad-abad sehingga dapat disebut bahasa internasional, yang terutama dipakai di dalam bidang diplomasi oleh raja yang memelihara hubungan dengan raja lain.
  8. Bahasa Melayu itu menonjol karena sederhana susunannya dan sedap bunyinya, tak ada bunyinya yang sulit diucapkan oleh orang asing.
  9. Bahasa Melayu dapat menjalankan peranannya sebagai bahasa internasional karena syarat kemantapannya telah dipenuhi dengan baik, yang menjadi salah satu cirinya yang terpenting.

Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa bahasa Melayu, seperti halnya bahasa Belanda, memiliki banyak logat. Di antara aneka logat, yang diutamakan oleh orang Melayu ialah logat yang dituturkan di Johor, di sebagian Semenanjung Melayu, dan di Kepulauan Riau-Lingga (khususnya di Pulau Penyengat, tempat Raja Muda Riau dulu bersemanyam dan di Daik di Pulau Lingga yang sampai baru-baru ini menjadi tempat kedudukan Sultan Lingga).

Bahasa Melayu Riau-Lingga itu dijadikan rujukan karena dua sebab. Pertama, sebagian besar kepustakaan tertulis ada dalam bahasa itu. Kedua, di istana-istana Melayu sebanyak mungkin masih digunakan bahasa itu, baik dalam pergaulan maupun dalam surat-menyurat oleh golongan berpendidikan. Di daerah tersebut, pengaruh yang dialaminya dari bahasa-bahasa lain paling kecil; di sanalah watak khasnya paling terpelihara. Untuk mereka yang ingin menelaah bahasa nusantara yang lain, pengetahuan tentang bahasa Melayu Riau-Lingga atau Riau-Johor ini merupakan bantuan besar.

Muhammad Hatta, Bapak Proklamator berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Wakil Presiden I Republik Indonesia, dalam tulisannya di Pelangi (1979, 154—155) menyebutkan, “Pada permulaan abad ke-20 ini bahasa Indonesia belum dikenal. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutnya Riouw Maleisch. Ada yang menyebutkan berasal logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat [huruf miring oleh saya, HAM] dalam lingkungan Pulau Riau.”

Pernyataan Bung Hatta tentang sangat pentingnya bahasa Melayu Kepulauan Riau sebagai pemersatu bangsa dan asal bahasa Indonesia itu dipertegas lagi oleh pemimpin selanjutnya Republik Indonesia. Pada Sabtu, 29 April 2000 Presiden Republik Indonesia, K.H.  Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuka Temu Akbar I Thariqat Mu’tabarah Se-Sumatera, di Masjid Agung Annur, Pekanbaru. Dalam pidatonya beliau menegaskan pengakuan Pemerintah Republik Indonesia akan jasa pahlawan Raja Ali Haji dalam mempersatukan bangsa dan menciptakan bahasa nasional. “Tanpa jasa beliau itu, kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini,” tegas beliau untuk memberikan apresiasi terhadap perjuangan Raja Ali Haji membina bahasa Melayu Tinggi.

Atas dasar kesemuanya itulah, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia dan Bapak Bahasa Indonesia kepada Raja Ali Haji, tokoh utama perjuangan pemajuan bahasa Melayu sehingga menjadi bahasa perjuangan dan bahasa Negara Indonesia. Anugerah itu diberikan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 089/TK/Tahun 2004, 6 November 2004. Plakat Pahlawan Nasional untuk Raja Ali Haji diserahkan oleh Presiden Republik Indonesia kala itu, Jenderal (Purn) Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, kepada perwakilan zuriat Raja Ali Haji yaitu Raja Ahmad (Raja Halim) bin Raja Mukhsin di Istana Negara, Jakarta, 11 November 2004.

Dengan anugerah Pahlawan Nasional kepada Raja Ali Haji itu, berarti secara resmi Pemerintah Republik Indonesia atas nama bangsa Indonesia mengakui dan menghargai dua hal. Pertama, Raja Ali Haji merupakan tokoh yang paling berjasa dalam melahirkan bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia. Kedua, bahasa Melayu Kepulauan Riau diakui secara resmi sebagai asal-muasal bahasa nasional Indonesia.

Selanjutnya adalah tanggung jawab generasi sekarang. Memang patut diperjuangkan untuk memartabatkan kembali bahasa Melayu menjadi bahasa internasional. Saya sebut memartabatkan kembali karena prestasi dan keunggulan itu telah diraih oleh bahasa Melayu ratusan tahun lalu, sejak abad ke-7 pada masa jayanya. Untuk itu, rasa setia dan bangga bahasa harus senantiasa merecup di hati-sanubari generasi masa kini.

Kita tak akan pernah dapat bergantung pada bahasa dan budaya bangsa lain untuk meraih kejayaan dalam persaingan global. Selamat (dan marilah)  berjuang bersama-sama untuk mengembalikan kebanggaan bangsa yang besar ini! Kalau nenek-moyang kita mampu, mengapa pulakah generasi sekarang tidak?***

Artikel SebelumSyair Van Ophuijsen (1896)
Artikel BerikutTarekat Naqsyabandiyah di Pulau Penyengat Abad 19
Budayawan, Peraih Anugerah Buku Negara Malaysia 2020 ,Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang pada masa jabatan 2007-2021, Anggota LAM Kepulauan Riau masa khidmat 2017-2022, Peraih Anugerah Jembia Emas tahun 2018, Ketua Umum PW MABMI Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan