MANUSIA menjalani takdirnya untuk hidup bermasyarakat, di mana pun kita bermukim dan bermastautin. Setiap masyarakat mengidealkan semua warganya dapat bergaul secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang ideal merupakan masyarakat yang setiap warganya dapat saling menjaga dan tolong-menolong. Jika perilaku itu dapat diamalkan, akan terciptalah perhubungan yang harmonis yang memang dicita-citakan oleh setiap masyarakat yang bertamadun di mana pun di dunia ini. Siapa pun yang keluar dari cita-cita ideal itu akan menorehkan luka bagi masyarakatnya.

Luka bersama karena perilaku menyimpang dari yang diadatkan yang dilakukan oleh warganya tak hanya memilukan, tetapi juga sangat memalukan setiap masyarakat. Oleh sebab itu, warga masyarakat dituntut untuk memelihara sekaligus mengawal perilaku setiap orang di dalam masyarakatnya agar nilai-nilai ideal yang membahagiakan itu terpelihara. Atas dasar itu, sikap berhati-hati dan senantiasa waspada dalam pergaulan mutlak diperlukan sehingga tak boleh diabaikan.

Karya-karya Raja Ali Haji rahimahullah menegaskan amanat agar setiap menusia senantiasa bersikap teliti, berhati-hati, dan atau waspada dalam bergaul di tengah masyarakat. Pasalnya, dengan pelbagai karenahnya, rupanya, di antara warga sesuatu masyarakat tak semuanya taat terhadap ketentuan adat. Karya Syair Abdul Muluk menceritakan perkara itu untuk dijadikan tamsil ibarat.

Setelah saudagar dilihat pasti
Saudagar mengeluh tiada berhenti
Sangatlah menyesal kepada hati
Dahulunya tiada dilihati

Bait syair di atas bercerita tentang saudagar Negeri Barbari yang tertipu oleh pedagang dari Negeri Hindustan. Pasalnya, saudagar itu kurang teliti atau tak waspada. Dia percaya begitu saja kepada pedagang Hindustan sehingga semua perkataan pedagang itu dikiranya benar. Ternyata, pedagang Hindustan memang berniat salah atau beriktikad tak baik terhadapnya. Akibatnya, saudagar Negeri Barbari yang tertipu itu menyesal karena kurang usul periksa terhadap orang lain. Amanatnya sangat jelas bahwa dalam pergaulan di tengah masyarakat, kita tetap harus senantiasa menerapkan sikap teliti, berhati-hati, dan atau waspada.

Karya Raja Ali Haji Gurindam Dua Belas juga menyiratkan amanat supaya manusia teliti atau waspada dalam pergaulan hidup sehari-hari. Pasal yang Ketujuh, bait 3, karya tersebut mengandungi amanat tersebut.

Apabila kita kurang siasat
Itulah tanda pekerjaan hendak sesat

Kedua-kedua karya Raja Ali Haji yang dikutip di atas mengingatkan manusia agar senantiasa waspada, berhati-hati, dan teliti dalam pergaulan di tengah masyarakat. Percaya kepada orang lain memang sifat dan perilaku yang baik. Namun, kita tak boleh terlalu percaya juga kepada setiap orang, apatah lagi orang yang belum kita kenal betul perangai, tabiat, dan sifatnya. Oleh sebab itu, sifat dan perilaku teliti dalam bergaul dan berhubungan di tengah masyarakat tergolong baik. Dengan demikian, teliti dan waspada merupakan kualitas yang menjadi penanda atau ciri kehalusan budi.

Amanat Raja Ali Haji melalui karya beliau itu ternyata sejalan dengan peringatan Allah SWT. Berikut ini disajikan terjemahan firman Allah tersebut.

“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” (Q.S. Al-Ahzaab:72).

Berdasarkan petunjuk Allah di atas, nyatalah dua sifat dasar manusia yang memang harus diwaspadai, yakni “amat zalim” dan “amat bodoh”. Orang-orang yang tak hendak menyadari dan memang tak mau berubah dari sifat negatif itu, walaupun telah ditunjukkan jalan kebaikan, mereka itulah yang harus diwaspadai dalam pergaulan hidup ini. Hati mereka telah tertutup pada kebaikan, bahkan ada di antara mereka yang berbangga diri dengan kezaliman yang bodoh itu.

Siapakah yang akan menyangka bahwa pedagang Hindustan yang telah diperlakukan dengan sangat baik oleh saudagar Negeri Barbari, yang ketika datang dibentangkan hamparan permaidani, ternyata sanggup melakukan perbuatan tercela (menipu) terhadap orang yang berbuat baik kepadanya? Rupanya, segala kemungkinan boleh saja terjadi dalam pergaulan hidup ini karena sejatinya manusia itu bersifat lemah dan cenderung bangga pula pada kelemahan itu. Malangnya, di antara manusia ada yang tak mau mengakui dan mengubah kelemahan itu, yang dikiranya kehebatan dirinya, padahal kebodohan yang amat nyata. Dan, sering pula semua kejahatan itu dilakukan demi memuaskan syahwat duniawi yang menjadi misi hidupnya, entah tahta ataupun harta.

Sabda Rasulullah SAW pun banyak yang menyiratkan amanat agar manusia senantiasa berhati-hati dan waspada dalam pergaulan hidup. Berikut ini salah satu anjuran Baginda Rasul.

Dari Abu Musa r.a. dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menangguhkan siksa terhadap orang yang berbuat aniaya. Kalau Allah sudah menghukumnya, maka Allah tak akan melepaskannya.” Kemudian, Rasulullah SAW membaca ayat, “Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat aniaya. Sesungguhnya, azab-Nya amat pedih dan keras,” (Q.S. Hud:102; H.R. Muslim).

Dengan hadits Baginda itu, Rasulullah SAW hendak mengingatkan umatnya bahwa memang ada, bahkan banyak, manusia yang berbuat aniaya dalam pergaulan hidup di dunia ini. Mereka yang berbuat aniaya itu pasti akan mendapatkan azab atau hukuman dari Allah. Kalau tak kini, sudah pasti nanti mereka akan dihukum oleh Allah dengan azab yang hanya Allah sajalah yang tahu kadar pedihnya. Oleh sebab itu, kita harus senantiasa waspada dan berhati-hati dalam bergaul dengan sesiapa saja agar terhindar dari perbuatan aniaya oleh orang lain.

Nyatalah bahwa amanat Raja Ali Haji yang dikemukakan di atas tak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Firman Allah dan sabda Rasulullah SAW menjadi bukti bahwa anjuran itu sesuai dengan syariat Islam. Dengan demikian, sudah sepatutnyalah kita senantiasa berhati-hati, teliti, dan waspada dalam pergaulan hidup di tengah masyarakat. Walaupun begitu, menaruh curiga tanpa alasan bukanlah pula bentuk kewaspadaan yang dianjurkan. Pendek kata, berhati-hati, teliti, dan waspada dalam bergaul menjadi bagian dari kehalusan budi.

Sejalan dengan saran kewaspadaan, Raja Ali Haji melalui karya beliau Syair Abdul Muluk juga menitipkan amanat agar manusia berkelakuan jujur ketika bergaul dalam masyarakat. Orang jujur akan disukai, tetapi orang yang penipu, curang, atau          berkhianat—apa pun  rupa pengkhiatanan itu—akan   dibenci oleh masyarakat. Amanat itu, antara lain, terdapat pada bait 68 syair naratif yang heroik dan sangat memikat itu.

Jikalau demikian kamu nin gerang
Bukannya datang hendak berdagang
Datang merusak adatnya orang
Harus diikat tangan ke belakang

Bait syair di atas juga berkisah perihal pedagang Hindustan. Dia dihukum oleh Sultan Barbari karena tak jujur, curang, atau menipu orang. Menurut adat dan hukum setempat (Negeri Barbari), perbuatan curang dan atau menipu itu sangat dilarang dan diancam dengan hukuman yang berat. Tak ada larangan untuk meraih kejayaan hidup dalam bidang apa pun, di mana pun, asal kesemuanya diperoleh secara jujur, bukan dengan bermain curang dan menghalalkan segala cara. Karena kecurangannya, akhirnya pedagang itu dihukum. Hukuman yang diterimanya itu membuktikan bahwa perbuatan menipu, curang, atau berkhianat tergolong tercela. Oleh sebab itu, jujurlah yang dianjurkan dalam pergaulan hidup di tengah masyarakat.

Pasal Kedelapan, bait 1—2, Gurindam Dua Belas pun berisi amanat tentang mustahaknya kejujuran dalam pergaulan kita di tengah masyarakat. Sebelum kepada orang lain, tindak-tanduk seseorang dapat dilihat pada diri sendiri.

Barang siapa khianat dirinya
Apa lagi kepada lainnya
Kepada dirinya ia aniaya
Orang ini jangan engkau percaya

Betapa kejujuran itu amat penting dalam hidup ini, termasuk dalam pergaulan kita di tengah masyarakat. Itulah sebabnya, manusia dianjurkan agar tak percaya kepada orang yang berkhianat dan menganiayai dirinya sendiri. Kalau kepada dirinya sendiri saja dia sanggup berbuat negatif, kepada orang lain pun sangat mudah perilaku tak berbudi itu dilakukannya.

Kitab Tuhfat al-Nafis juga mengingatkan manusia agar memelihara sifat dan perilaku jujur dalam pergaulan dengan masyarakat. Dalam hal ini, pergaulan dalam masyarakat menjadi rusak jika orang berbuat fitnah, sebagai salah satu wujud kecurangan.

“Syahadan tetaplah Riau itu di dalam aman. Maka suku-suku pihak […] berbuat pula honar yang memberi kegeruhan atas negeri Riau, kepada pihak Yang Dipertuan Muda serta anak-anak Bugis. Iaitu Temenggung serta Bendahara serta suku-suku […] membuat pula satu surat ke Trengganu kepada Raja Trengganu, demikian bunyinya yang aku dapat di dalam siarah Siak: ….” (Matheson, Ed., 1982, 164).

Kutipan Tuhfat-al Nafis di atas bercerita tentang perbuatan fitnah yang dilakukan oleh Temenggung dan Bendahara terhadap Yang Dipertuan Muda Riau dan keturunannya. Terlepas dari benar-tidaknya tuduhan itu, fitnah jelas bertentangan dengan kejujuran. Akibatnya, negeri dan rakyat sekaliannya menjadi huru-hara. Begitulah dahsyatnya bahaya fitnah dan ketakjujuran atau kecurangan dalam pergaulan hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, perilaku dan sifat tak jujur dan perbuatan fitnah itu tergolong tercela atau menjadi ciri kerendahan budi.

Melalui karya-karya beliau, Raja Ali Haji mengesankan sifat dan perbuatan menipu, berkhianat, aniaya, dan fitnah tergolong buruk jika dilakukan dalam pergaulan hidup di dunia ini. Dengan menggunakan pertentangan itu, bermakna sifat dan perilaku jujurlah yang dianjurkan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Jadi, jujur adalah kualitas kehalusan budi yang mesti dimiliki dan diamalkan oleh setiap manusia jika dia hendak disukai orang dalam pergaulannya dengan sesiapa saja di dunia ini.

Ternyata, Allah memang mengecam dan mengancam orang yang tak jujur atau berbuat curang. Banyak ayat Al-Quran yang menerangkan perihal kejinya kecurangan, di antaranya adalah firman Allah berikut ini.

“Dan, janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu meraja lela di muka bumi dengan membuat kerusakan,” (Q.S. Asy-Syu’ara’:183).

Berdasarkan firman Allah di atas, kecurangan (merugikan hak-hak orang lain) merupakan bagian dari perbuatan membuat kerusakan di muka bumi. Pelakunya digolongkan Allah sebagai orang yang meraja lela. Kesemua perilaku negatif itu dilarang oleh Allah dan sudah barang tentu pula bagi sesiapa pun yang melanggar larangan Sang Khalik itu telah disiapkan-Nya azab sesuai dengan kadarnya oleh Tuhan Yang Mahaadil itu. Jadi, sifat dan perilaku jujurlah yang dianjurkan oleh Allah kepada manusia dalam pergaulan hidup kita sebagai anggota masyarakat.

Satu di antara petunjuk Rasulullah SAW tentang kejujuran dapat kita simak dari sabda Baginda berikut ini.

Rasulullah SAW bersabda, “Perhatikanlah kejujuran. Sesungguhnya, di dalam kejujuran itu tak ada kerusakan, yang ada justeru keselamatan [al-najat],” (H.R. Ibnu Abid Dunya).

Sangat berbeda rupaya kecurangan dengan kejujuran. Jika kecurangan mendatangkan kerusakan dan atau malapetaka, kejujuran justeru menyelamatkan manusia. Kita tinggal membuat pilihan dalam hidup ini: mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya dengan konsekuensi keselamatan atau mengingkarinya dengan akibat azab yang amat pedih.

Dari perian di atas memang selayaknya lah kita tingkatkan kewaspadaan, kehati-hatian, dan kejujuran yang niscaya akan mendatangkan keselamatan  sebagaimana dilukiskan oleh Raja Ali Haji di dalam karya-karya beliau. Jaminan itu pun mendapat pembenaran dari syariat Islam seperti yang terdapat di dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW. Hanya dengan itu kita dapat mengekalkan nilai-nilai mulia dalam pergaulan di tengah masyarakat. Pada gilirannya, cahaya kemuliaan akan senantiasa menyinari kehidupan kita sebagai bangsa. Bukan sebarang bangsa pula, melainkan bangsa besar yang mengagungkan keluhuran budi pekerti. Itulah karakter sejati bangsa kita sehingga harus tetap dipertahankan sampai berakhirnya kehidupan dunia yang fana ini.

Kesemuanya memang harus diperjuangkan. Pasalnya, pelbagai anasir setiap saat terus berupaya menyerang kekuatan rohani bangsa kita karena mereka tahu bahwa itulah faktor utama keutuhan dan kekokohan kita sebagai bangsa sampai setakat ini. Jika ikhlas berjuang di jalan Ilahi, kita tak perlu berasa khawatir karena inayah-Nya dijanjikan dan dipastikan tetap menyertai.***

Artikel SebelumArsip-Arsip Mahkamah Negeri Lingga (1905-1909)
Artikel BerikutSurat Timbangan Syair Karya Raja Ali Haji
Budayawan, Peraih Anugerah Buku Negara Malaysia 2020 ,Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang pada masa jabatan 2007-2021, Anggota LAM Kepulauan Riau masa khidmat 2017-2022, Peraih Anugerah Jembia Emas tahun 2018, Ketua Umum PW MABMI Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan