Legitimasi dan pesebatian pemerintahan Melayu dan Bugis di Kerajaan Riau-Lingga-Johor-dan Pahang yang bermula sejak dekade kedua abad ke-18 bukan semata-mata urusan politik. Legitimasi politiknya juga ditopang oleh sejumlah penulis sejarah atau historiografi. Salah satu diataranya adalah Aturan Setia Bugis Dengan Melayu.
***
Manuskrip Aturan Setia Bugis Dengan Melayu yang diperbincangkan dalam kutubkhanah untuk jantungmelayu.com kali ini adalah sebuah manuskrip salinan. Disalin di Pulau Penyengat pada 2 Syakban 1265 Hijriah bersamaan dengan dengan 23 Juni 1849 Miladiah (pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Ri’ayatsyah di Daik-Lingga) berdasarkan sebuah manuskrip aslinya yang ditulis pada 10 Syafar 1234 H bersamaan dengan 8 Desember 1818 M.
Katalogus koleksi manuskrip Melayu dan Minangkabau milik Perpustakaan Universitas Leiden yang disusun oleh E.P. Wieringa (1998:29) menjelaskan bahwa manuskrip Aturan Setia Bugis Dengan Melayu ini pada mulanya adalah milik perpustakaan Koninkelijke Academie, Akademi Kerajaan di kota Delf, yaitu sebuah lembaga pendidikan tinggi bagi calon aparat sipil Belanda yang akan ditugaskan Hindia Belanda pada abad ke-19.
Pada 1 Juli 1864, sekolah calon ambtenaar Hindia Belanda itu ditutup. Lantas, sebagai upaya penyelamatan ‘harta karun’ milik perpustakaan Academie tersebut’, seluruh koleksi manuskrip simpanannya (yang ditulis dalam bahasa Melayu, Jawa, Arab, dan Batak) diserahkan pengelolaannya kepada Perpustakaan Universitas Leiden. Seratus sebilan puluh tujuh manuskrip tersbut kini didaftarkan dengan nomor urut katalogus mulai dari Cod.Or.1689 hingga Cod.Or.1886.
Aturan Setia Bugis Dengan Melayu ditulis pada 35 muka surat menggunakan kertas Eropa berukuran 34 x 20 Cm, dengan watermark (cap air) Pro Patria dan inisial huruf GIB. Seperti tertera pada margin atas sebelah kanan halaman judulnya, manukrip Aturan Setia Bugis Dengan Melayu pada mulanya adalah milik pribadi F. W. Walbeehm yang tinggal di kota Delf.
Siapa F.W. Walbeehm? Tak ada penjelasan lebih jauh tentang jati dirinya. Namun boleh jadi ianya berkait rapat dengan J.H. Walbeehm pernah menjadi sekretaris dan Asisten Resident Riouw di Tanjungpinang pada abad 19.
Dalam korpus manuskrip Riau-Lingga, Aturan Setia Bugis Dengan Melayu bukanlah manuskrip tunggal. Ia mempunyai beberapa ‘varian’ dengan judul yang bervariasi pula. Dalam koleksi perpustakaan Universitas Leiden, terdapat 2 lagi salinan ‘variannya’. Pertama adalah Cod. Or.1724 yang juga berjudul Aturan Setia Bugis Dengan Melayu. Kedua adalah bagian dari koleksi H.C. Klinkert yang berjudul Hikayat Riau dengan nomor katalogus KI.37.
Isi Aturan Setia Bugis Dengan Melayu ini juga serupa dengan manuskrip manuskrip Sejarah Raja-Raja Riau koleksi Von de Wall yang kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta (nomor katalogus W 62), dan serupa pula dengan dua manuskrip lain yang kini tersimpan di perpustakaan Shool of Oriental and African Studies (SOAS) dan Royal Asiatic Society (R.A.S) di London.

Historiografi Bugis Sentris
Jika merujuk kepada hasil-hasil kajian Virginia Matheson tentang manuskrip-manuskrip bahan sumber sejarah yang dipergunakan oleh Raja Ali Haji dan ayahandnya, Raja Ahmad Engku Haji Tua, ketika menyelesaikan karya historiografi yang berjudul Tuhfat al-Nafis, maka kandungan isi manuskrip Aturan Setia Bugis Dengan Melayu dan ‘variannya’ menunjuk kepada sebuah manuskrip lebih tua yang disebut oleh Raja Ali Haji dan ayahnya dalam Tuhfat al-Nafis sebagai ‘Sejarah dan Siarah Pihak Riau’ atau ‘Karangan Engku Busu’.
Aturan Setia Bugis Dengan Melayu adalah salah satu prototype pensejarahahan atau historiografi istana Riau-Lingga-Johor dan Pahang yang sangat Bugis sentris dalam eksplanasi atau penjelasan sejarahnya. Narasinya menempatkan kuasa dan kedudukan pihak Upu Bugis lima saudara sebagai sentrum dalam semua peristiwa yang dikisahkan dan hal ikhwal persetiaan yang dibuhul dalam aliansi pemerintahan Bugis dan Melayu dalam Kerajaan Johor yang baru di Negeri Riau sejak dekade kedua abad 18 hingga abad 19.
Tampak sekali bahwasanya penulisan Aturan Setia Bugis Dengan Melayu bertujuan untuk menjelaskan (membuat eksplanasi sejarah) tentang apa yang sebenarnya terjadi (menurut sudut pandang pihak Bugis) sepanjang perjalanan sejarah kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang, yang narasinya merujuk jauh ke belakang: sejak zaman Sultan Abdul Jalil, Sultan Johor Lama, yang mangkat di Kuala Pahang serta peranan-peranan penting yang telah dimainkan oleh Yamtuan Muda Bugis di Riau sejak dekade pertama abad ke-18.
Gambaran subjektifitas dalam sebuah penulisan ‘sejarah istana’ yang Bugis sentris itu terlihat jelas pada utaian kalimat-kalimat pembuka manuskrip Aturan Setia Bugis Dengan Melayu, yang berperan sebagai pengingat dan penegas pentingnya hubungan sejarah antara Bugis dan Melayu sebagaimana tersirat dari judulnya, Aturan Setia Bugis Dengan Melayu.
Kalimat-kalimat pembuka manuskrip Aturan Setia Bugis Dengan Melayu, antara lain mengatakan: “Fasal ini pada menyatakan daripada jalan akan memberi ingatan dan fikiran. Mudah-mudahan mengambil paham di dalam hati supaya mudah mimikirkan tabiat orang salah dan orang yang benar…Dengan takdir Allah Ta’ala, kita ini seumpama orang yang berjalan. Apabila sesat di hujung kalan, maka hendaklah kembali mencari ke pangkal jalan. Jika tiada dapat ke pangkal jalan, hingga pertengahan jalan hendaklah juga dicari jalannya yang betul supaya jangan jauh amat sesatnya...”
Secara historiografis, Aturan Setia Bugis Dengan Melayu ditulis sebagai salah upaya untuk membangun legalitas historis raja-raja Bugis dalam struktur baru sebuah pemerintah kerajaan Melayu Johor (cikal bakan Riau-Lingga-Johor-Pahang), yang tergambarkan dalam seluruh narasinya.
Sebagai bagian dari usaha membangun legalitas-historis itu, maka dalam narasi Aturan Setia Bugis Dengan Melayu ini juga dicantumkan fakta-fakta sejarah tentang pelantikan beberapa Yamtuan Muda dari kalangan Bugis, dan beberapa perjanjian persetian atau sumpah setia antara Raja Melayu dan Raja Bugis yang pernah dizahirkan.
Sebagai ilustrasi, dalam Aturan Setia Bugis Dengan Melayu dicantumkan fakta sejarah sebagai berikut: “…Kepada Hijrah seribu seratus empat puluh satu tahun dan tahun Zai, maka digantikan oleh Yang Dipertuan saudara Baginda yang bernama Daeng Pali (Daeng Celak) itu jadi Raja Muda, maka bergelar Sultan Alaudin juga. Maka dibaharui juga sumpah setia itu oleh Duli Yang Dipertuan Muda itu dengan Datuk Bendahara dengan Engku Busu, dan segala orang besar-besar…bersumpah setia mufakat tiadalah berubah-ubah…”.
Selain itu, dan ini yang mustahak, ditegaskan pula bahwasanya Sultan Sulaiman, Sultan Melayu (pertama) bagia Kerajaan Johor yang baru di Negeri Riau, naik tahta ditabalkan oleh orang Bugis pada tahun 1722. Dan berkenaan dengan hal ini, manukrip Aturan Setia Bugis Dengan Melayu menjelaskannya sebegai berikut: ”…Hijrah Nabi S.A.W. seribu seratus tiga, tahun Ba, dan kepada hari Khamis, maka…tatkala masa itulah Raja Sulaiman itu ditabalkan oleh Kelana Jaya Putera (Daeng Marewah) serta Daeng Menampok. Maka bergelar Sultan Sulaiman diatas tahta kerajaan di Negeri Johor dan Pahang (di Riau)…”.***