Sebagai pengarang prolific, Raja Ali Haji tidak hanya piawai dalam menghasilkan berbagai genre karya cemerlang, tapi juga mampu menuliskan kaidah untuk menghasilkan karya yang baik. Melalui Surat Timbangan Syair, Raja Ali Haji menghidangkan “kaidah memperbuat syair, pantun, gurindam, dan ikat-ikatan yang baik, benar, dan tidak cacat  “timbangannya”.

           

Lampiran Bustan al-Katibin

Keberadan manuskrip Surat Timbangan Syair karya Raja Ali Haji ini terungkap ketika Jan van der Putten daan Alazhar mengkaji surat-surat Raja Ali Haji kepada Hermaan von de Wall yang kemudian diterbitkan dengan judul  In Everlasting Friendship: Letters fom Raja Ali Haji (SEMAIAN 13, 1995), dan kemudian kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Dalam Berkekalan Persahabatan Surat-Surat Raja Ali Haji Kepada Von de Wall (Kepustakaan Populer Gramedia, 2007).

            Informasi tentang manuskrip Surat Timbangan Syair ini, dijelaskan oleh Raja Ali Haji dalam dua pucuk surat awal korespondensinya dengan Von de Wall yang ketika itu telah bermukim di Tanjungpinang, yakni surat bertarikh 21 Juni 1858 dan 6 Juni 1858.

2. Halaman ketiga Surat Timbangan Syair karya Raja Ali Haji yang dilampirkan pada bagian akhir kitab Bustan al-Katibin koleksi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia. (foto: dok. Aswandi syahri)

Dalam surat bertarikh 21 Juni 1858, Raja Ali Haji menjelaskan pada mulanya manuskrip Surat Timbangan Syair ini akan diletakannya “pada hujung [manuskrip] kitab Bustan katibin”, [kitab tata bahasa bahasa Melayu], yang sedang disalinnya untuk Von de Wall. Namun ia urung melakukannya karena takut Von de Wall “tiada suka”. Oleh karena itu, Raja Ali Haji melampirkan manuskrip Surat Timbangan Syair tersebut pada surat bertarikh 21 Juni 1858 yang dikirimnya kepada Von de wall di Tanjungpinang (sayang, dalam penelusuran Jan van der Putten dan Alazhar, tidak ditemukan manuskrip Surat Timbangan Syair yang dilampirkan itu dalam bundel surat-surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia di Jakarta.

Tampaknya, Von de Wall tertarik dengan manuskrip Surat Timbangan Syair yang dilampirkan Raja Ali Haji bersama surat kirimannya, dan  minta agar Raja Ali Haji melampirkan salinan manuskrip itu dalam kitab Bustan al-Katibin yang sedang disalin untuknya. Menjawab permintaan itu, dalam surat bertarikh 6 Juli 1858, Raja Ali Haji menulis sebagai berikut: “Dan lagi Surat Timbangan Syair sudah kita taruhkan kepada hujung kitab Bustan Katibin.”

1. Halaman pertama Surat Timbangan Syair karya Raja Ali Haji yang dilampirkan pada bagian akhir kitab Bustan al-Katibin koleksi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia. (foto: dok. Aswandi syahri)

Hingga kini, manuskrip Surat Timbangan Syair  tersebut masih kekal sebagai lampiran dalam salah satu dari dua naskah kitab Bustan al-Katibin koleksi Von de Wall yang kini berada dalam simpanan PNRI, Jakarta, dengan nomor katalogus W 218.

            Manuskrip Surat Timbangan Syair karya Raja Ali Haji ini adalah sebuah codex unicus: yakni sebuah manuskrip tunggal atau satu-satunya dalam khazanah dunia manuskrip  Melayu.  Penelusuran kodikologi terhadap dua manuskrip Bustan al-Katibin yang terdapat di Pulau Penyengat dan koleksi Perspustakaan Universitas Leiden, Belanda, juga telah menegaskan posisi  manuskrip ini sebagai sebuah codex unicus, karena hanya terdapat pada salah satu  manuskrip Bustan al-Katibin dalam simpanan Perpusnas di Jakarta.

Kerisauan Intelektual

Apa sesungguhnya latar belakang Raja Ali Haji menulis manuskrip Surat Timbangan Syair? Apakah manuskrip itu ditujukan khusus dan hanya semata-mata sebagai hadiah untuk Von de Wall?

Tidak! Melalui manuskrip ini, Raja Ali telah mendedahkan pandangan ‘ilmiahnya’ tentang kaidah menulis puisi Melayu (Syair, pantun, gurindam, dan ikat-ikatan) yang benar kepada seorang Belanda keturunan Jerman yang sedang mengkaji bahasa Melayu, dan baru saja menjadi sahabatnya. Sebuah awal yang  manis, di awal persahabatan ‘ilmiah’ mereka, yang berkekalan selama lima belas tahun kemudian.

Surat Timbangan Syair adalah salah satu bukti orisinil yang menunjukkan bahwa Raja Ali Haji adalah intelektual ‘yang berisi’, jauh sebelum perjumpaannya dengan Von de Wall yang penuh dengan diskusi-diskusi ‘ilmiah’ tentang bahasa dan sastra Melayu selama lima belas tahun lamanya.

Bukan tanpa alasan Raja Ali Haji menulis surat Timbangan Syair. Dengan menyimak suarat-surat kepada Von de Wall, kita mendapatkan gambaran bahwa pada ketika itu, ada sebuah ‘kerisauan intelektual’ yang merunsingkan pikirannya tersebab banyaknya teks syair-syair dan pantun Melayu yang ‘rusak’, dan berkembang subur di Singapura serta  kawasan lainnya. ‘Kerisauan intelektual’ itu, jelas tergambar dalam sepucuk surat kepada Von de Wall bertarikh 21 Juni 1858.

Syahdan, sahabat lihatlah surat Timbangan Syair itu, serta bandingkan dengan syair2 yang datang dari Singapura atau ada syair lain, serta periksa baik2, nanti dapatlah keterangan ghalat [salah] dan tidak ghalatnya segala syair2  itu.”

 ‘Ars Poetica Melayu’

Surat Timbangan Syair karya Raja Ali Haji dapat juga dipandang sebagai sebuah ‘Ars Poetika Melayu’ yang intinya adalah kaidah menulis puisi Melayu baik yang benar: berisikan panduan menulis pantun, syair, gurindam, dan ikat-ikatan sebagai genre dalam puisi klasik Melayu.

Maksud dan tujuan itu jelas dinyatakan oleh Raja Ali Haji pada bagian pembuka manuskrip Surat Timbangan Syair: “Ini satu kaidah memperbuat syair Melayu. Ketahui oleh mu hai orang yang berkehendak kepada memperbuat syair Melayu atau pantunnya, maka hendaklah mengetahui dahulu kaidah timbangnya dan sajaknya dan cacatnya, karena tiap2 pekerjaan yang tiada dengan ilmu dipelajarkan kepada ahlinya, maka yaitu tiada sunyi daripada tersalah dan cacat. Maka dari karena ini lah, aku buatkan satu kaidah yang akan boleh menjadi penjagaan siapa2 yang berkehendak pada mengarang syair Melayu”.

Menurut Raja Ali Haji, maksud penulisan manuskrip Timbangan Syair ini adalah  agar siapa saja yang membuat syair, pantun, dan ikatan-ikatan tidak janggal dan sumbang sajaknya: terlebih dimata orang yang paham kaidahnya.

“Syahdan inilah akhir barang yang kubukakan sedikit daripada kaidah syair dan pantun, dan ikat-ikatan, dan gurindam kepada orang yang yang berkehendak memperbuat yang tersebut itu dengan bahasa Melayu supaya jangan jadi janggal dan cacat kepada orang yang mengetahui ilmu itu adanya”, ungkap Raja Ali Haji.

Selain diawali dengan sebuah penjelasan dan diakhiri dengan sebuah kata penutup, Raja Ali Haji membagi isi manuskrip Surat Timbangan Syair ke dalam dua bagian. Bagian pertama berisikan tiga pasal yang menjelaskan timbangan atau syarat syair Melayu yang benar atau tidak cacat. Sedangkan bagian kedua, menjelaskan kaidah menulis syair ikatan-ikatan, pantun dan gurindam.

Pasal pertama pada bagian Timbangan Syair  menjelaskan syarat timbangan syair yang benar, yang bila diikuti kaidahnya akan menghasilkan bait syair yang contohnya sebagai berikut:

Dengarkan tuan suatu rencana
Dikarang fakir dagang yang hina
Barangkali ada yang kurang kena
Tuan betulkan jadi sempurna
 

Adapun Pasal kedua menjelaskan perihal sajak. Pada bagian ini, Raja Ali Haji menekankan, bila kaidah yang digunakan benar, maka tidak akan mengahasilkan syair dengan sajak yang  “kurang sedikit bagusnya”, seperti syair berikut ini:

Dengarkan tuan suatu rencana
Dikarang fakir dagang yang hina
Barangkali ada yang kurang kena
Tuan betulkan jadi sempurna
 

Dalam pasal ketiga, Raja Ali Haji menjelaskan tiga bentuk dan sebab sebuah syair Melayu itu menjadi syair yang cacat atau sumbang. Tiga penyebab itu adalah karena cacat sajaknya; karena banyaknya pengulangan kata-kata; dan yang ketiga, karena ketidakjelasan makna dan maksud dalam sajaknya.

Adapun contoh syair yang cacat atau sumbang karena “cacat pada maksud[nya]” meskipun  “tiada cacat pada sajak[nya]” menurut Raja Ali Haji, adalah sebagai berikut:

 
Dengarkan tuan suatu peri
Di dalam laut hiu dan pari
Mengenangkan untung nasibnya diri
Mukanya manis berseri-seri”.***

Artikel SebelumJangan Menyesal kepada Hati
Artikel BerikutPilihan Bebas Kepemimpinan
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan