SESIAPA pun yang berbuat jasa bermakna dia telah melakukan perbuatan yang baik dan terpuji. Jasanya disebut baik karena bermanfaat bagi sesiapa pun yang melakukannya dan apa atau sesiapa pun yang menjadi sasarannya: entah perorangan, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, bahkan makhluk apa pun, selain manusia.
Sesiapa pun yang menolong seseorang yang sedang mengalami kesulitan hidup yang dideritanya selama ini, misalnya, berarti dia telah berjasa kepada sesama manusia. Orang yang mengawasi habitat hewan dari perbuatan tak bertanggung jawab para pemburu yang tak bertanggung jawab berarti telah berjasa kepada hewan yang memang harus dilindungi. Begitu pula menanam kembali pohon-pohon bakau di pantai karena hutan bakaunya telah dijarah oleh orang-orang yang serakah, yang semata-mata mengambil keuntungan material dari praktik amoral itu, terhitung berjasa kepada lingkungan alam sekitar yang berkelindan dengan bakti memperbaiki kualitas kehidupan. Memang banyak perbuatan mulia yang boleh dikategorikan berbuat jasa. Selebihnya, manusia tinggal memilih: hendak berbuat ataupun tidak.
Idealnya, di antara cita-cita tertinggi manusia adalah berbuat jasa, berjasa kepada sesiapa pun dan atau apa pun. Jasa yang baik baru dapat dilakukan jika seseorang memiliki perangai yang baik dan terpuji pula. Itulah yang harus diperjuangkan oleh setiap pribadi dalam kehidupan ini untuk memartabatkan jati dirinya. Pasalnya, pada akhirnya kita akan kembali ke pangkuan Ilahi. Kala saat itu tiba, hanya jasa jualah yang dikenang orang, yakni budi yang baik.
Nyatalah sudah bahwa setiap manusia memang patut berusaha sekuat dapat untuk berbuat jasa, bukan sebaliknya malah berbuat onar, menghancur binasa. Lebih daripada itu, tuntutan berjasa sangat ditekankan kepada para pemimpin. Seseorang pemimpin baru dapat disebut berjasa apabila dia mampu, misalnya, membuat orang-orang yang dipimpinnya menjadi sejahtera dan bahagia dari sebelumnya hidup dalam serba kekurangan dan menderita. Jika tidak, seorang pemimpin dapat dianggap gagal, bahkan hanya dianggap sebagai raksasa penindas belaka.
Jasa tak semata-mata dapat diukur dari banyaknya medali atau pingat yang disematkan, apatah lagi kalau tanda-tanda zahiriah seperti itu diperoleh dengan cara-cara yang tak benar, “dibeli” umpamanya. Itulah kualitas akhlak dan muamalah yang mesti ditunjukkan oleh para pemimpin dalam perilaku kepemimpinannya. Perkara itulah yang dituangkan oleh Raja Ali Haji rahimahullah dalam karya agung beliau Gurindam Dua Belas (GDB), Pasal yang Kesebelas.
Pasal yang Kesebelas GDB dimulai dengan bait yang menggesa untuk memperhatikan nasib bangsa. Pasalnya, memang itulah hakikat sejati manusia hidup berbangsa dan bernegara. Tentulah tanggung jawab itu, terutama terpikul pada para pemimpin, walau rakyat juga tak boleh mengelak dari tugas mulia itu, apa pun jatah yang diperolehnya dalam kehidupan berbangsa.
Hendaklah berjasa
Kepada yang sebangsa
Bait 1 ini tegas-tegas menyarankan pemimpin untuk berbuat jasa kepada bangsanya. Oleh sebab itu, berjasa kepada bangsa bagi pemimpin merupakan tugas dan tanggung jawabnya, bukan sesuatu yang luar biasa. Rakyat secara suka rela menanam pohon bakau untuk menyelamatkan lingkungan pantai dan kehidupan ini, misalnya, merupakan perilaku yang luar biasa. Sebaliknya pula, pemimpin yang membuat kebijakan penghijauan kembali pantai memang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Akan tetapi, pemimpin yang melakukan kebijakan yang entah cepat atau lambat dapat menyebabkan robohnya pantai tergolong perilaku berkhianat kepada bangsa dan tanah airnya. Pendek kata, hanya pemimpin yang mampu berbuat jasa kepada bangsanyalah yang boleh dibilangkan nama, yang jati dirinya dengan sendirinya pasti menjelma.
Apakah rujukan yang digunakan oleh GDB untuk menyampaikan amanat itu? Ternyata, memang ada pedoman syariat Islam yang digunakan berkaitan dengan amanat itu.
           Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin sesuatu kaum adalah pengabdi (pelayan) bagi mereka (kaum yang dipimpinnya),” (H.R. Abu Na’im).
Demikianlah hadits Baginda Rasulullah SAW yang menegaskan bahwa setiap pemimpin merupakan pelayan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Dengan demikian, setiap pemimpin dapat digolongkan sebagai orang yang berjasa jika dia mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab melayani orang-orang yang dipimpinnya dengan sebaik-baiknya. Jika tanggung jawab itu dapat dilaksanakan dengan baik, barulah seseorang pemimpin dapat dibilangkan namanya, yang pada gilirannya jati dirinya pun akan terjulang selama-lamanya. Dan, berbahagialah sesuatu kaum atau bangsa yang mendapatkan pemimpin yang tulus memperjuangkan kualitas hidup mereka sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh Allah dan Baginda Rasulullah.
Selain syarat harus mampu berbuat jasa, GDB Pasal yang Kesebelas, bait 2, menuntut pemimpin agar tak melakukan perbuatan tercela.
Hendak jadi kepala
Buang perangai yang cela
Sesiapa pun yang hendak menjadi pemimpin (kepala) harus memiliki perilaku yang baik. Pemimpin tak boleh memiliki perangai tercela. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati memilih pemimpin. Karena apa? Jika memilih pemimpin yang perilakunya buruk, kita pun akan menerima padahnya, akibat yang buruk karena salah memilih. Padah dari kesalahan itu menyebabkan kualitas kehidupan kita kian memburuk, bukan bertambah baik. Seyogianya, pemimpin diadakan untuk menciptakan kualitas kehidupan yang kian baik dari masa ke masa, bukan sebaliknya menjadi semakin susah dan menyusahkan. Rakyat pula yang harus lintang-pukang mengurusi perangai dan tindakannya, bukan dia yang seyogianya mengurusi rakyatnya agar sejahtera dan bahagia.
Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun dari mimbar, mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk daripada bangkai,” (H.R. Thabrani).
Hadits di atas merupakan salah satu rujukan GDB Pasal yang Kesebelas, bait 2. Petunjuk dari Baginda Rasul itu memperingatkan kita tentang perilaku pemimpin yang jahat walaupun durjanya mungkin saja menampilkan kesejukan, tetapi palsu. Dampaknya tak hanya terkena kepada si pemimpin, tetapi juga orang-orang yang dipimpinnya jika kita salah dalam memilih pemimpin.
Sesiapa pun yang bercita-cita hendak jadi pemimpin harus mampu menempa dirinya untuk berperilaku baik. Bibit-bibit perangai tercela—untuk memperkaya diri, keluarga, kroni, dan sebagainya, apatah lagi menghancurkan bangsa dan negara misalnya—harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Jika tidak, kepemimpinannya pasti menuai masalah yang takkan pernah dapat diatasi. Kepemimpinan yang dilandasi niat dan perangai tercela takkan pernah mampu menyelesaikan masalah, malah mendatangkan masalah baru, bahkan musibah, sehingga kualitas kehidupan menjadi semakin memburuk. Berperilaku baik, dengan demikian, merupakan tanggung jawab pemimpin yang jika dapat diwujudkannya, dia boleh dibilangkan nama. Jati dirinya pun akan terjulang adanya.
Pemimpin pun harus memiliki kualitas terpercaya. Berhubung dengan itu, GDB Pasal yang Kesebelas, bait 3, menegaskannya dengan tegas bangat.
Hendaklah memegang amanat
Buanglah khianat
Hanya orang yang amanahlah yang boleh menjadi pemimpin sejati. Dia meletakkan dasar kepemimpinannya untuk berbakti kepada rakyat, bangsa, dan negaranya. Dalam keadaan dilematis, ketika harus memilih antara kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya di satu pihak, dan kepentingan bangsa serta negaranya di pihak lain; pemimpin yang amanah dengan teguh mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya. Untuk itu, dia menjadikan dirinya, bahkan nyawanya, sebagai tagan perjuangannya.
“Hai, orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahuinya,” (Q.S. Al-Anfaal:27).
Berdasarkan firman Allah yang dinukilkan di atas, dapatlah dikatakan bahwa haram bagi pemimpin jika berkhianat terhadap kepercayaan yang diberikan kepadanya. Sebagai pemimpin, dia diharapkan dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik, yang sejahtera dan bahagia, bagi rakyat dan bangsanya. Pemimpin yang berkhianat melupakan tanggung jawab itu sehingga dia lebih asyik memikirkan dan mengupayakan kesejahteraan pribadi, orang-orang terdekat, kelompok, bahkan bangsa lain yang sedia menjamin keberlangsungan syahwat kekuasaannya. Akibatnya, tanggung jawabnya terhadap rakyat dan bangsanya tercecer. Pelbagai cara dan helah dilakukannya untuk menutupi pengkhianatannya. Akan tetapi, karena lubang pengkhianatan itu semakin lama semakin besar juga menganga, amat sulit untuk ditutupinya. Rakyat jadi hidup dalam prahara, dalam ketakpastian pada semua aspek kehidupan. Alhasil, pemimpin yang berperangai seperti itu tak pernah dapat dibilangkan nama. Pasalnya, hanya pemimpin yang amanahlah yang namanya akan terbilang dan jati dirinya akan terjulang.
Hendak marah
Dahulukan hujah
Demikian anjuran GDB Pasal yang Kesebelas, bait 4. Pemimpin seyogianya meredam sifat buruknya yang suka marah. Tak pernah ada masalah kepemimpinan yang dapat diselesaikan dengan marah. Bukankah sifat marah itu perilaku syaitan? Itulah sebabnya, kualitas kepemimpinan yang diutamakan adalah mampu bersabar dalam menghadapi pelbagai cabaran, masalah, dan cobaan.
Daripada marah lebih baik hujahlah yang diutamakan. Pemimpin yang baik akan berusaha menyelesaikan masalah dengan mencari akar permasalahan melalui penemuan alasan dan penyebab timbulnya masalah. Kesemuanya diselesaikan dengan kepala dingin, akal sehat, pikiran bernas, dan ikhtiar cerdas. Pada diri seseorang pemimpin yang berkarakter hebat itu, tak ada masalah yang tak dapat diatasi asal dapat ditemukan punca (akar) persoalannya. Dengan kepiawaiannya sebagai pemimpin sejati, dia akan mampu menyelesaikan pelbagai masalah dengan cara yang elegan, bukan dengan menimbulkan masalah baru. Pemimpin seperti itulah yang boleh dibilangkan nama, yang jati dirinya takkan pernah tercela.
Berhubung dengan perkara di atas, Rasulullah SAW memberikan pedoman dalam salah satu hadits Baginda. Seyogianya amanat Baginda Rasulullah itu diperhatikan oleh para pemimpin.
Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, “Berilah saya wasiat.” Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah marah!” Dia bertanya berulang-ulang dan tetap dijawab, “Janganlah marah!” (H.R. Bukhari).
Pemimpin sejati mestilah berwibawa, bermarwah. Karena kepemimpinannya yang baik, semua orang menaruh hormat kepadanya, bukan orang takut kepadanya karena kekuasaan yang dimilikinya sehingga dapat digunakannya untuk alat intimidasi. Cahaya kepemimpinan yang dipancarkannya membuat orang tak kuasa untuk menentangnya sebab memang tak ada yang harus ditentang pada kinerja kepemimpinan yang cemerlang. Jika banyak kritik yang ditujukan kepada kepemimpinan, memang kepemimpinan itu menimbulkan banyak masalah. Jika tak ada angin, pepohonan tak akan bergoyang. Kalau tak diterjang tsunami, laut dan pantai tak akan bergoncang.
Rahasianya apa? GDB Pasal yang Kesebelas, bait 5, memberi tuntunan kelakuan. Seyogianya amanat ini tak diabaikan.
Hendak dimalui
Jangan melalui
Rupanya mudah saja. Seorang pemimpin akan dihormati orang dalam arti sesungguhnya (dimalui) kalau dia tak melanggar ketentuan yang patut dan wajib diikuti oleh seorang pemimpin (tak melalui). Dengan kata lain, hanya pemimpin yang taat terhadap peraturan dan konsisten menerapkan etika kepemimpinanlah yang akan meraih kehormatan kepemimpinan yang tertinggi. Itulah pemimpin yang didambakan setiap orang. Dialah pemimpin yang boleh dibilangkan nama, yang jati dirinya terpelihara dengan sempurna.
“Dan, orang-orang yang tak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya,” (Q.S. Al-Furqaan:72).
GDB Pasal yang Kesebelas ditutup dengan bait 6. Bait terakhir yang menyimpulkan tujuan mulia berbangsa dan bernegara, yang seyogianya diwujudkan oleh para pemimpin dengan konsistensi dan konsekuensi perjuangan kepemimpinan terbilang.
Hendak ramai
Murahkan perangai
Pemimpin yang baik akan memiliki banyak pengikut (ramai). Pada gilirannya, negeri yang dipimpinnya juga akan banyak dikunjungi dan dimastautini orang. Alangkah malangnya pemimpin jika tak ada atau tak banyak orang yang bersedia menjadi pengikutnya. Atau, mungkin banyak orang seolah-olah menjadi pengikutnya, padahal mereka hanya mengharapkan keuntungan pragmatis sesaat dari “ritual penghambaan diri” yang semu, yakni keuntungan materi, pangkat, dan jabatan, misalnya. Keadaan akan bertambah buruk jika banyak orang yang membenci dan menghujatnya setiap hari, sama ada di depan ataupun di belakang dirinya, secara halus ataupun kasar.
Kiranya, hanya pemimpin yang berperilaku baik (murah perangai)-lah yang diikuti oleh banyak orang. Kesemua sifat dan perilaku manusia dan pemimpin terpuji dimilikinya: sopan, ramah, lembut, hormat, sabar, dan sebagainya kepada setiap orang tanpa pandang bulu yang dipadu dengan kualitas iman dan takwanya sebagai petunjuk akan ketinggian akhlaknya. Dialah pemimpin yang senantiasa diharapkan kehadirannya oleh banyak orang pada setiap periode dan waktu kehidupan. Dialah pemimpin yang banyak harapan oleh banyak orang tertumpu. Dialah pemimpin yang Allah pun pasti memberinya restu.
Bait terakhir GDB Pasal yang Kesebelas itu pun memiliki rujukan yang pasti dalam syariat Islam. Dalam hal ini, di antara pedomannya adalah hadits Rasulullah SAW.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan sabda Rasulullah SAW, “Kemuliaan seorang mukmin terletak pada penghayatan agamanya. Harga dirinya terletak pada kecerdasan akal pikirannya. Dan, kehormatannya terletak pada kebaikan akhlaknya,” (H.R. Hakim).
Pemimpin yang senantiasa memperoleh hidayah dan inayah Allah menghalakan matlamat kepemimpinannya hanya pada tiga perkara utama: berjaya di dunia, berguna di akhirat, dan beroleh rida dari Allah SWT. Dialah pemimpin yang akan membawa orang-orang yang dipimpinnya ke jalan kehidupan yang ditauladankan oleh Baginda Rasulullah SAW. Dia pulalah pemimpin yang boleh dibilangkan nama. Jati diri dan kepemimpinannya teruji lagi terpuji sehingga tak ada sesuatu apa pun yang mampu menghambat keterjulangannya.
Sedang dan akan mencari pemimpin terbilang dan berkelas? Bahkan, mungkin ada yang bercita-cita untuk menjadi pemimpin yang cerdas dan cergas. Ada baiknya dibaca dan dipahami benar amanat Gurindam Dua Belas, Pasal yang Kesebelas. Semoga kita senantiasa dianugerahi Allah dengan pemimpin yang ikhlas. Alhasil, bangsa dan negara kita akan terpelihara dan maju tiada tertindas. Kebahagiaan hidup benar-benar dinikmati, tak semata-mata konsep di atas kertas. Ingatlah, jangan sampai anak-cucu kita kelak meneteskan air mata ketika menatap sebuah atlas.***