Sejak abad ke-19 hingga  kini, kisah Raja Haji Fisabilillah, Pahlawan Nasional dari Kepulauan Riau, yang memimpin perang maritim  terbesar melawan VOC-Belanda di belahan Barat Indonesia antara 1782-1784, telah mencuri perhatian penulis-penulis kronik tradisional dan sejarawan modern.

            Sebagai ilustrasi, mulai dari Resident Riouw Eliza Netscher yang dikenal sebagai penulis kronik dari pihak Belanda, sehingga lah Raja Ali Haji sang penulis kronik dari istana Riau-Lingga pada abad ke-19, telah menempatkan kisah perlawanan Raja Haji terhadap VOC-Belanda antara tahun 1782-1784 dengan porsi yang besar dan penting dalam kronik-kronik yang mereka tulis menurut perspektif dan kadar subyektifitas masing-masing.

            Bahkan, pada masa-masa yang lebih kemudian di abad ke-20, kisah perlawanan dan sosok hero dunia maritim Melayu yang disebut oleh seorang perwira Angkatan Laut Belanda sebagai seorang Hanibal yang lain, “een andere Hannibal” ( atau “Hanibal dari Riau” menurut istilah Hasan Junus) tersebut telah melahir pula sebuah disertasi sejarah berjudul Gentle Janus, merchant prince The VOC and the Tightrope of diplomacy in the Malay World 1740-1800 (Leiden: KITLV, 1993) yang disusun oleh sejarawan Reinout Vos.

            Meskipun demikian, dalam kenyataanya, kisah Raja Haji dan perlawananannya terhadap VOC-Belanda pada abad ke-18 tidaklah menjadi monopoli kalangan penulis kronik dan sejarawan semata. Meski tak banyak, ada juga penulis syair atau sastrawan yang menaruh minat menghasilkan karya dengan dengan memanfaat kisah dan sosok Yang Dipertuan Muda Riau IV ini.

            Masih dalam abad ke-19, sebuah syair tentang Raja Haji dan perlawanan terakhirnya terhadap VOC-Belanda di Melaka pada tahun 1784, diperkenalkan oleh George Edward Maxwell, Acting Governor Negeri-Negeri Selat (Straits Settlement) di Singapura, yang punya minat besar terhadap sejarah, bahasa, dan sastra Melayu.


Bait pertama dari sembilan puluh lima bait dalam Sha’ir Raja Haji yang dirumikan (romanised) oleh William Edward Maxwell berdasarkan sebuah manuskrip menggunakan tulisan jawi.

            Alih aksara seluruh isi syair tersebut kedalam huruf rumi dengan judul Sha’ir Raja Haji oleh George Edward Maxwell dimuat dalam artikelnya yang berjudul “Raja Haji”: sebuah narasi sejarah tentang Raja Haji dan serangan-serangan terakhirnya terhadap pusat pemerintahan Belanda di Melaka antara bulan Januari hingga Juni tahun 1784. Dalam ulasan dan alih akasara syair ini, yang dipublikasikan nya dalam Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society No. 21, bulan Juni 1890, Sha’ir Raja Haji ini disandingkannya dengan salinan jurnal (catatan harian) Benteng Belanda di Melaka (dan ketika itu masih tersimpan dalam Arsip Resident Council di Melaka) yang isinya antara lain mencatatkan ihwal serangan-serangan dan perlawanan Raja Haji di Teluk Ketapang, Melaka.

Menurut Maxwell, syair yang manuskrip aslinya ditulis menggunakan huruf jawi itu ia temukan dalam rak manuskrip dan bahan-bahan filologi koleksi J.R. Logan yang berada dalam simpanan Raffles Library di Singapura pada tahun 1890. Maxwell menjelaskan, bahwasanya judul manuskrip tersebut bertolak belakang dengan isinya yang berkisah tentang Raja: karena judul yang tertulis adalah “Sha’ir Acheh’. Namun demikian ia tak menjelaskan lebih lanjut perkara judul yang berbeda dengan isi ini.

 Dalam pandangan Maxwell, kadar sastra dalam syair ini tidak lah terlalu besar, “the literary merit of the poem is not great”. Namun demikian, ia menambahkan,  bahwa kadar kesejarahannya sangat besar bagi pensejarahan Melaka pada zaman syair itu ditulis: ketika itu Melaka masih dikuasai oleh Belanda dan kemudian Inggris. Karena di dalamnya, seorang penulis tempatan, berhasil melukiskan keberhasil orang-orang Melaka (Belanda dan antek-anteknya) dalam menahan serangan Raja Haji dan pasukannya dalam bahasa syair yang indah, “in best language.”

Namun bagaimanapun, meminjam ungkapan Hasan Junus, isi syair ini sesungguhnya adalah “suatu pandangan dari orang yang bersikap anti-pati terhadap tokoh Raja Haji.” Atau, dengan kata lain sebagai sebuah narasi sejarah perlawanan Raja Haji yang dilihat dari kaca mata pihak lawan. Sosok Raja Haji dalam syair ini ditampilkan dengan gambaran yang bertolak belakang dengan narasi-narasi Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis, umpamanya.

Sebagai ilustrasi, kisah pendaratan Raja Haji dan pasukannya di Teluk Ketapang yang dinukilkan dalam bait-bait awal syair ini, menggambarkan Raja Haji bagaikan seorang pencuri yang masuk mengendap-ngendap ke dalam sebuah negeri:

Kilat datang dengan chuachanya

Di dalm bilek permeisuri

Kalau tidak dengan nyata-nya

Membawa fa’il seperti penchuri

Begitu juga halnya dengan taktik pertahanan benteng Raja Haji, dinukilkan oleh penulis syair melalui bait-bait syair yang sangat sarkastis:

Sudah bergalah lagi bertali

Ular naga panjang culanya

Ayoh Allah apakan jadi

Malam berjaga siang berkubu

Ular naga panjang culanya

Terendak berjari-jari

Malam berjaga siang berkubu

Inilah kehendak si Raja Haji

Terendak bejadi-jari

Sekejang bungan sepagi

Inilah perbuatan si Raja Haji

Seperti anjing dengan babi

Sekejang hunga sepagi

Tetak batang di dalam padi

Fiil bagai anjing dan babi

Tiada berani masuk negeri

Meskipun demikian, Hasan Junus membalikkan cara pandang kesejarahan Maxwell  tentang syair ini. Dalam pengantarnya untuk salinan versi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) syair ini yang dimuat dalam buku Raja Haji Fisabilillah Hanibal dari Riau (2000), Hasan JUnus  megatakan sebagai berikut: “Dipandang dari sudut ilmu sejarah pun syair ini sangat lah istimewa. Informasi yang melimpah tentang seorang tokoh yang datang dari sisi lawan [tentu] amat lah penting….”

Kandungan informasi dalam syair ini menunjukkan bahwa ia ditulis oleh orang yang melihat langsung peristiwa yang ditulisnya, atau paling tidak banyak tahu tentang tokoh dan peristiwa sejarah yang dikisahkannya. Banyak infomasi dalam syair ini dapat disanding-bandingkan dengan informasi yang tercatat dalam dalam arsip-arsip Benteng Belanda di Melaka. Umpamanya, tentang bantuan dari penduduk Kampung Duyung, Melaka, kepada Raja Haji yang dunukilkan dalam syair ini, tercatat pula dalam arsip-arsip Belanda di Melaka.

Contoh alur pola pengulangan baris-baris bait sebelumnya ke dalam baris-baris bait selanjutnya yang ditandai menggunakan pensil dalam teks Sha’ir Raja Haji. Dimuat Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society, No. 21, bulan Juni 1890 koleksi National Library  Singapura

Tak ada nama pengarang yang dikaitkan oleh Maxwell dengan syair ini. Namun, dari gaya bahasanya dapat diperkirakan bahwa penulisnya adalah seorang peranakan Cina atau Keling yang tinggal di Melaka. Menurut Hasan junus (200), dari sudut kesusastraan komposisi syair ini unik. Karena untaian bait-bait dalam syair ini sesungguhnya adalah sebuah contoh “pantun berkait naratif”. Oleh karena itu tak berlebihan bila mengatakan bahwa syair ini adalah sebuah contoh yang penting bagaimana sebuah sebuah kisah (sejarah) dapat digubah dengan indah menggunakan pola pantun berkait.

Petikan bait-bait syair berikut ini barangkali dapat menggambarkan bagaimana indahnya pola pengulangan baris-baris kalimat dalam bait-bait Sha’ir Raja Haji:

 Keranji di dalam lukah

 Ubur-ubur dari Cina

 Raja Haji yang punya suka

 Hendak berkubu di Bukit Cina

 Ubur-Ubur dari Cina

 Tetak tenggiri di bawah batang

 Hendak berkubu di Bukit Cina/

 Maka sendiri gerangan datang

Narasi utama syair yang mengandungi 95 bait ini adalah serangan besaran-besaran Raja dan pasukannya ke Teluk Ketapang, Melaka, setelah memenangkan peperangan laut melawan VOC-Belanda di Tanjungpinang pada 6 Januari 1784, yang klimaksnya adalah gugurnya Raja Haji di medan perang Teluk Ketapang itu pada bulan Juni 1784.

Seluruh narasi utama itu ditutup dengan untaian bait-bait syair tentang kedatangan janda mendiang Raja Haji yang bernama Ratu Emas ke Melaka untuk mengambil jenazah suaminya yang telah dirampas Belanda dan dimakankan di Bukit St. Paul. Upaya putri Sultan Jambi itu gagal, dan ia kembali ke Riau.

Bait penyudah dari untaian Sha’ir Raja Haji ini adalah sebegai berikut:

Pergi ka-parit handak meriau

Situlah banyak buah kembili

Istri berbalik ke tanah Riau

Serta duduk mendiam-kan diri.***

Artikel SebelumJasa Pemimpin
Artikel BerikutMemajukan Budaya, Membahagiakan Bangsa
Aswandi Syahri, lahir di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, pada 29 Januari 1970. Alumni ilmu sejarah pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas. Pernah menjadi jurnalis, dan kini masih menjabat sebagai sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Provinsi Kepulauan Riau. Menulis sejarah sejak di bangku SMA, dan telah menghasilkan sejumlah buku tentang sejarah dan kebudayaan Melayu di Kepulauan Riau

Tinggalkan Balasan