
PENUBUHAN kerajaan Johor ‘yang baru’ [yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Riau-Lingga-Johor-dan Pahang] di Negeri Riau, Pulau Bintan, pada tahun 1722, tidak hanya dibuhul dengan sebuah ‘kontrak politik’ Persetian Melayu dan Bugis atau Persetian Marhum Sungai Baharu, tapi juga ditandai dengan lahirnya satu kanun adat: yaitu sebuah undang-undang adat kesultanan Melayu yang kedua setelah zaman Melaka, dan setaraf dengan customary law.
Dalam khazanah manuskrip Melayu Riau-Lingga, terdapat beberapa salinan kanun ini dan dikenal dengan berbagai nama, yang semuanya mengacu kepada satu manuskrip aslinya: yakni kanun yang dibuat pada awal pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Almsyah sebagai Sultan Kerajaan Johor “yang baru” di Negeri Riau tahun 1722.
Satu salinan manuskrip kanun ini, dengan nomor Or. 466 dan berjudul Undang-Undang Riau (Oendang-Oendang Riouw), tersimpanan dalam koleksi warisan Koninkelijk Instituut voor Taal-, Land-en Vokenkunde (KITLV) yang kini berada dalam simpanan Perpustakan Universitas Leiden. Di Kuala Lumpur, Pusat Manuskrip Melayu (PMM) Perpustakaan Negara Malaysia menyimpan pula satu salinan kanun ini dengan judul Peraturan Adat Raja-Raja Riau-Lingga dan diberi nomor inventaris MSS 2678.
Selain dua salinan munuskrip yang kini tersimpan di Leiden dan Kuala Lumpur, versi lain kanun ini ditemukan pula dalam format edisi cetak huruf timah yang diselenggarakan oleh Major Datok Haji Muhammad Said Haji Sulaiman, sekretaris pribadi Sultan Ibrahim dari Kerajaan Johor, pada tahun 1938.
Kutubkhanah kali ini akan memperkenalkan dua salinan manuskrip dan satu edisi cetak kanun ini beserta ringkasan isinya. Pertama-tama, akan diperkenalkan edisi cetak yang diselenggarakan oleh Major Datok Haji Muhammad Said Haji Sulaiman: yakni salah satu dari dua versi cetaknya yang lengkap.
Simpanan Tengku Nong Kelana
Manuskrip asal kanun ini ditulis di Negeri Riau, di Pulau Bintan pada tahun 1722. Keberadaannya terungkap kembali untuk pertama kalinya ketika utusan Temenggung Abu Bakar dari Teluk Belanga, Singapura, mengunjungi Pulau Penyengat pada bulan April 1868 sempena membawa surat untuk Raja Ali Haji, dan sekaligus bertanya kepada cendekiawan prolific itu perihal Aturan Melayu serta ‘berkonsultasi’ tentang mungkin tidaknya Temenggung Abu Bakar menjadi Sultan Johor.
Dalam catatan perjalanan rombongan utusan tersebut dirangkum dalam manuskrip Kisah Perlayaran ke Riau yang disunting M.A. Fauzi Basri, 1983) dicatat bahwa selama di Pulau Penyengat, “…selain duduk membaca sejarah dan siarah raja2 Melayu dan bercakap akan hal dan peraturan dahulu kala…”, mereka juga dipinjamkan lima kitab milik Raja Ali Haji dan dua kitab milik Tengku Nong Kelana, yang kemudian mereka bawa ke Singapura.
Dua kitab yang dipinjamkan oleh Tengku Nong Kelana ibni Yamtuan Muda Raja Abdullah atau Marhum Mursyid merupakan kitab undang-undang. Salah satu di antaranya adalah: “…kitab kanun dan adat diatur pada zaman Sultan Sulaiman, adat diantara Yang Dipertuan Muda dengan Datuk Bendahara dan Yang Dipertuan Besar…”.
Tujuh puluh tahun kemududian, oleh sekretaris pribabadi Johor ke-II (Sultan Ibrahim, 1895-1959), Major Datok Haji Muhammad Said Haji Sulaiman, kitab kanun dan adat ini diterbitkan dengan judul Kanun Sultan Sulaiman Riau, dan dimuat dalam Kitab Peredar Angka 5 yang berisikan Perihal Adat Melayu Mengandungi Kanun Sultan Sulaiman Riau dan Ringkasan Kanun Sultan Mamudsyah Melaka. Cetakan pertamanya muncul tahun 1938: dicetak di Matba’ah al-Ahmadiah, Singapura.
Dua Salinan Manuskrip
Setakat ini, diketahui hanya ada dua Kanun Sultan Sulaiman Riau dalam bentuk manuskrip (naskah tulisan tangan): satu salinan berjudul Undang-Undang Riau berada dalam simpanan KITLV Leiden dan satu salinan lainnya berjudul Peraturan Adat Raja-Raja Riau-Lingga adalah koleksi PMM Perpustakaan Negara Malaysia.
Dalam katalog manuskrip Melayu koleksi warisan KITLV Leiden, manuskrip ini juga diberi judul dalam bahasa Belanda: Hofetiquette. Salinan manuskrip ini ditulis pada enam halaman kertas berjahit ukuran 21,5 cm x 17 cm yang sampulnya telah hilang. Tulisannya sangat rapi dan jelas terbaca. Manuskrip ini pada mulanya adalah koleksi De Zending der Nederlandse Hervormde Kerk [Misi Gereja Protentan Belanda] di Oegstgeest, sebuah kota berhampiran kota Leiden, yang kemudian disumbangkan kepada perpustakaan KITLV pada 19 Oktober 1974. Koleksi warisan KITLV ini hanya terdiri dari sepuluh pasal saja. Selesai disalin di [Pulau] Boeroe dan Singapore pada 10 Syawal 1295 H, bersamaan dengan 6 Oktober 1878 M. Isi manuskrip ini diakhiri dengan tiga bait syair sebagai berikut:
Inilah adat yang terperi
Aturan daripada perintah negeri
Ikutilah juga berperi2
Kerana mengikut adat yang bahri
Adat hendak lah dijalankan
Aturan jangan diubahkan
Rakyat tentera mendo’akan
Supaya sempurna yang dikerjakan
Kerena aturan sudah ter’ala
Tempatnya kepada suatu kepala
Menjalankan hukum haq ta’ala
Jika diubah terijrat kepala.
Adapun manuskrip yang diberi judul judul Peraturan Adat Raja-Raja Riau-Lingga koleksi PMM di Kuala Lumpur adalah salinan yang lebih tua dari koleksi warisan KITLV. Isinya terdiri dari dua puluh empat pasal dan ditulis pada empat belas muka surat. Manuskrip yang ditulis menggunakan tindan hitam dan merah ini kondisinya agak rusak kerena lembab dan mutu kertas yang kurang baik. Namun demikian, sebagian besar kandungan isinya masih dapat dibaca.
Kolofon yang terdapat pada muka surat terakhir manuskrip Peraturan Adat Raja-Raja Riau-Lingga ini menyatakan ianya selesai disalin oleh Muhammad Yasin bin Abdulrahman di Kampung Mentuk dalam Negeri Lingga pada 21 Rabiul-akhir 1286 H, bersamaan dengan 5 Agustus 1869 M. Pada bagian akhir kolofon ini terdapat dua buah stempel bulat menggunakan tinta hitam bertuliskan: Muhammad Yasin bin Abdulrahman.
Ringkasan Kanun Sultan Sulaiman
Penjelasan pada bagian pendahuluan dua versi manuskrip dan satu edisi cetak kanun ini menyatakan bahwa ianya sebagai revisi atas kanun pertama yang berisikan undang-undang adat kesultanan Melayu warisan zaman Sultan Muhammadsyah Melaka (1424-1444), yaitu Sultan Melaka pertama yang memeluk agama Islam.
Menurut Major Datok Haji Muhammad Said Haji Sulaiman (1938), kanun pertama ini terus dipakai hingga masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah, sultan Melaka terakhir pada 1511, dan sultan-sultan Johor ‘yang lama’ hingga tahun 1699.
Syahdan, ketika Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah memerintah sebagai Sultan Johor ‘yang baru’ di Negeri Riau pada 1722, kanun tersebut direvisi sebagai hasil dari mufakat dan beratur antara antara Yang Dipertuan Muda Riau (Daeng Marewah), Datuk Bendahara (Tun Abbas), dan Yang Dipertuan Besar (Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah).
“…Maka dihimpunkanlah adat serta kanun ini beberapa pasal, supaya isi negeri mengetahui perbedaan Raja2 dengan menteri, dan perbedaan menteri dengan orang banyak, dan hamba raja dengan orang luar, dan perbedaan orang negeri dengan orang dagang adanya”.
Kanun Sultan Sulaiman ini menjadi dasar beberapa undang-undang kerajaan Riau-Lingga yang dibuat lebih kemudian, dan menjadi salah satu acuan dalam penyusunan undang-undang dalam sistem pemerintahan Kerajaan Johor modern di Semenanjung pada zaman Sultan Abu Bakar (1885-1895).
Dari dua salinan manuskrip dan satu edisi cetaknya, maka dapat disimpulkan bahwa manuksrip koleksi PMM dan edisi cetak tahun 1938 yang diusahakan oleh Major Datok Haji Muhammad Said Haji Sulaiman dibuat berdasarkan manuskrip yang dipinjamkan oleh Tengku Nong Kelana: isinya paling lengkap, terdiri dari dua puluh empat pasal.
Ketika menjelaskan perhal ringkasan isi kanun ini, Major Datok Haji Muhammad Said Haji Sulaiman membagi isinya dalam tiga Bab. Bab pertama menjelaskan perihal Adat Kanun Raja yang terdiri dari sepuluh pasal sebagai berikut:
Pasal (1) Pada menyatakan majlis raja2 dan bahasa raja dan pakaian sekalian raja2 dan perhiasan balai raja; Pasal (2) Pada menyatakan segala bahasa Raja; Pasal (3) Pada menyatakan adat duduk mengadap Raja Besar, Raja Muda, dan Bendahara, dan Temenggung; Pasal (4) Pada menyatakan daripada pasal sedawan yakni sehidangan di balairung; Pasal (5) Pada menyatakan raja2 yang tua umurnya pada masa itu tiada beradat [tiada dilekatkan adat atasnya].
Pasal (6) Pada menyatakan adat istana raja dan balairung, dan pagar, dan kota raja; Pasal (7) Pada menyatakan adat raja pada ketika berjalan; Pasal (8) Pada menyatakan raja di jalan; Pasal (9) Pada menyatakan adab orang yang masuk ke dalam balairung atau pada pagar raja; dan Pasal (10) Pada menyatakan adat segala hamba raja yang diam di dalam adat kanun kerajaan.
Bab kedua, isinya adalah berkenaan dengan Adat Kanun Kerajaan. Berisikan sepuluh pasal lanjutannya: Pasal (11) Pada menyatakan barang siapa berjahat dengan hamba raja di dalam kota atau di dalam kenaikan [perahu diraja]; Pasal (12) Pada menyatakan orang yang datang kerumahnya orang pada malam; Pasal 13) Pada menyatakan yang membunuh tiada setahu raja atau orang besar2 itu; Pasal (14) Pada menyatakan orang yang mencuri dalam kampung halaman itu pada malam.
Pasal (15) Pada meneyatakan orang yang berjalan dalam kampung pada masa bukan waktunya dan tiada tahu tempat ditujunya; Pasal (16) Pada menyatakan menghukum, membunuh, menangkap, mamalukan, dan merampas atas orang yang berniat salah; Pasal (17) Pada menyatakan orang yang bermukah dengan istri orang; Pasal (18) Pada menyatakan orang yang kedapatan orang yang bujang sama bujang; (19) Pada menyatakan hamba raja yang dari ke dalam [istana].
Adapun Bab ketiga, kandungan isinya berkenaan dengan Adat Kanun Negeri, yang terdiri dari empat pasal terakhir sebagai berikut: Pasal (20) Pada menyatakan perkumpulan muswarat; Pasal (21) Pada menyatakan keadaan raja; Pasal (22) Pada menyatakan jawatan dan kerja masing-masing: yang menjelaskan fungsi dan kedudukan Yang Dipertuan Besar, Yang Dipertuan Muda, Bendahara, Temenggung, Syahbandar; dan Pasal (23) Pada menyatakan yang bernama cap [stempel masing-masing orang besar itu] dan perbedaannya.***