
Corak Pensejarahan Melayu Karya Raja Ali Haji
Dalam tradisi pensejarahan (historiografi) Alam Melayu, Raja Ali Haji yang dikenal luas sebagai pujangga penggubah Gurindam 12, disebut juga sebagai sejarawan yang penting, setelah Tun Sri Lanang,tersebab dua karya monumentalnya, yaitu:kitab Tuhfat al-Nafis (sebuah kitab sejarah yang ditulis bersama ayahnya) dan kitab sejaran berjudul Silsilah Melayu dan Bugis.
Kitab Tuhfat al-Nafis dan Silsilah Melayu dan Bugis ini saling berkaitan dan melengkapi. Virginia Matheson dalam sebuah tulisannnya menyebut kait-kelindan dua karya ini bagaikan pertaliankakak-beradik antara ‘seorang laki-laki’ bernama Tuhfat al-Nafis dan saudara ‘perempuan’ yang bernama Silsilah Melayu dan Bugis: jadi, dua kitab ini bukan “saudara kembar”.
Oleh karena itu, diantara persamaan-persamaanya, terdapat sejumlah perbedaan yang sangat mencolok diantara keduanya. Perbedaan itu tidak hanya dari segi batasan temporal yang menjadi bingkai kisah-kisah dalam kedua karya sejarah itu umpamanya, tapi juga dari sisi cara dan corak penyajiannya. Kedua karya ini telah pernah diperkenalkan dalam halaman-halaman kutubkhanah sebelumnya, dan pada halaman kutubkhanah minggu ini akan diulas sepintas kilas tentang cara Raja Ali Haji menyajikan narasi sejarah dalam Silsilah Melayu dan Bugis yang judul lengkapnya adalah,Kitab Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-Rajanya.
***
Silsilah Melayu dan Bugis mulai ditulis oleh Raja Ali Haji pada 15 Rabbi’ulakhir 1282 Hijriah yang bersamaan dengan hari Selasa, tanggal 5 September 1865 Miladiah di Pulau Penyengat. Hasil kajian filologis oleh Ted Beardow (1986) terhadap manuskripSilsilah Melayu dan Bugis dan variannya, mendedahkan bahwa Raja Ali Haji telah menulis Silsilah Melayu dan Bugis lebih dahulu (sekitar bulan September 1865 hingga bulan Januari 1866) dan kemudian pada tahun itu juga mulai melanjutkan kerja ayahandanya, Raja Ahmad Engku Haji Tua, dalam menyelesaikan dan melengakapi kitab Tuhfat al-Nafis.
Corak penyajian narasi sejarah dalam Silsilah Melayu dan Bugis boleh dikatakan istimewa. Raja Ali Haji tidak hanya menggunakan kepiawaiannya dalam mengemas narasi-narasi sejarah dalam format prosa, namun juga memperlihatkan kemahirannya dalam menggubah syair(puisi) untuk menguatkan narasi sejarah yang ditulisnya dalam bentuk prosa: sebuah gaya penyajian narasi sejarah yang tidak ditemukan dalam Tuhfat al-Nafis.
Seluruh bait-bait syair dalam kitab Silsilah Melayu dan Bugis yang merupakan bagian koheren dalam narasi sejarahnya, adalah elemen istiwewa dalam kitabSilsilah Melayu. Elemen istimewa inisempat ‘dihilangkan’ dalam edisi alih aksara kitab Silsilah Melayu dan Bugis oleh sastrwan Arena Wati dari Malaysian, yang menyelenggarakannya berdasarkan teks edisi cetak huruf jawi kitab Silsilah Melayu dan Bugisterbitan Mathba’ah al-Imam, Singapura, tahun 1911. Hasil alih akasara Arena Wati tersebut diterbitkan oleh Pustaka Antara, Kuala Lumpur, pada tahun 1973.
Padahal, seperti terlihat dalam teksedisi cetak huruf jawi kitab Silsilah Melayu dan Bugis tahun 1911 dan satu manuskrip tulisan tangan koleksi Perpustakaan Universitas Leidenyang digunakan sebagai rujukan laman kutubkhanah ini,tampak jelas betapa pentingnya syair-syair itu.
Arena Wati sengaja menghilangkan syair-syair yang terdapat manuskrip dan edisi cetak huruf jawi Silsilah Melayu dan Bugis dengan alasan, “…Di sini [di dalam kitab ini] ada 139 rangkap syair, tapi tidak kita kutip sebab sudah lengkap diceritakan isinya dalam natar”. Hal ini adalah suatu kesalahan yang fatal. Apa yang dilakukan Arena Wati bagaikan meghilangkan sebagian ‘roh’ narasi sejarah dalam Silsilah Melayu dan Bugis. Mengapa? Karena bukan tanpa sebab Raja Ali Haji menyuguhkan narasi sejarah berbentuk syair dalam karyanya itu!
Secara histriografis, syair-syair yang terdapat dalam kitab Silsilah Melayu dan Bugistersebut sangat penting.Selain memperlihatkan kemahiran Raja Ali Haji dalam melukiskan beberapa peristiwa sejarah yang telah dipaparkannya secara prosaik kedalam syair-syair dengan begitu indahnya dan ada kalanya “keras”.Bait-bait syair-syair tersebut adalah penanda yang membedakan antara Silsilah Melayu dan Bugis dengan Tuhfat al-Nafis. Dalam kitab ini suatu corak pensejarah Melayu ditunjukkan, dimana prosa dan puisi bertemu dan dipadu-padankan menjadi satu kesatuan narasi dalam merekostruksi peristiwa-peristiwa sejarah.
Mengapa Raja Ali Haji mengiasi kitab Silsilah Melayu dan Bugisdengan narasi yang dikemas dalam untaian syair Melayu? Pada awal beberapa syair dalam kitab Sejarah Melayu dan Bugis, Raja Ali Haji menjelaskan alasannya sebagai berikut: “Disyairkan supaya menambahi peringatan supaya tetap”; “Supaya menambahi targhib (Suka) pada orang yang membacanya”; dan “Syahdan kelakuan yang telah lalu itu disyairkan supaya lapang daripada lelah dan jemu membacanya.”
Dari beberapa buah syair yang terdapat dalamnkitabSilsilah Melayu dn Bugis, terlihat pula bahwa Raja Ali Haji ternyata fasih dan familier dengan bahasa Bugis. Seperti terlihat dalam penggalan sebuah syair panjang tentang peperangan antara orang-orang Upu Bugis dan Raja Kecik Siak berikut ini :
“Banyaklah mati Panglima Siak
Bugis mengamuk kawan diteriak
Adapik kumi itiyak Ku kajangi
Melayu peruknak kuyak.”
“Bugis membalas lasak andukmu
Anak boleh nenek moyangmu
Adap ikumi ku tetak ulumu
Kedua pihak lalu bertemu.”
***
Terdapat tiga belas untaian syair panjang dan pendek dalamkitabSilsilah Melayu dan Bugis edisi cetak huruf Jawi oleh Mathba’ah al-Imam, Singapura, yang telah selesai dicetak pada tahun 1911. Sementara itu, dalam salinan manuskripSilsilah Melayu dan Bugis (mungkin versi pendek Silsilah Melayu dan Bugis?) yang terhimpun dalam sebuah buku kumpulan manuskrip berjudul Sadjarah Riouw Lingga dan Derah Taaloqnja koleksi Perpustakaan Universitas Leiden,hanya terdapat 4 untaia syair pendek.
Ketika melakukan alih aksara ulang kitab Silsilah Melayu dan Bugis(berdasarkan edisi cetak huruf jawi terbitan Mathba’ah al-imam tahun 1911) saya telah mengembalikan semula seluruh syair-syair panjang dan pendek (serta beberapa buah pantun berkait) yang terdapat dalam teks Silsilah Melayu dan Bugisini ke tempatnya semula: hasil alih akasara ini diterbitkan oleh pemerintah Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2009.
Semua untaian syair-syair dalam kitab Silsilah Melayu dan Bugisini dicantumkan oleh Raja Haji pada akhir sebuah narasi peristiwa sejarah yang dikisahkankan.Sebagai ilustrasi, sebuah syair tentang kisah pernikahan Daeng Celak dicantumkan setelah sebuah narasi prosaik mengenai pernikahan Yamtuan Muda itu di Negeri Riau.
Penambahan narasi puitik dalam format syair sempena mendukung narasi prosaik dalam kitab Silsilah Melayu dan Bugiini erat kaitannya dengan keyakinan Raja Ali Haji tentang kekuatan syair sebagai media yang dapat menyingkap esensi narasi sejarah yang disuguhkannya menggunakan prosa: salah satu alasannya adalah karena bai-bait syair dapat dinyanyikan.
Gambaran kongkrit tentang keyakinan Raja Haji terhadap kekuatan informatif dan naratif sebuah syair antara lain dijelaskannya dalam sepucuk surat kepada Hermaan von de Wall tanggal 6 Juli 1858, yang didalamnya terlapir Syair Ikat-Ikatan Dua Belas Puji sebagai bentuk ungkapan terimakasihnya atas hadiah yang diterimanya dari von de Wall.
Tentang syair ikatan-ikatan itu, Raja Ali Haji mengatakan sebagai berikut: “…Cobalah panggil seorang Melayu orang Melayu yang pandai bersyair, suruh baca dengan lagunya yaitu seperti nyanyi, maka [akan] lebih terang lagi maknanya…”. Hal serupa tentu juga berlaku untuk syair-syair yang dicantumkannya dalam kitab Silsilah Melayu dan Bugis. Cobalah dendangkan syair-syair itu! Maka akan menjadi lebih terang lagi makna semua narasi sejarah dalam kitab Silsilah Melayu dan Bugistersebut!
Tiga belas untaian syair dalam Silsilah Melayu dan Bugis (dalam edisi cetak huruf jawi tahun 1911) diawali dengan sebuah syair panjang tentang pertelagahan antara Raja Kecik Siak dan Upu Bugis lima saudara yang membantu Sultan Sulaiman Riau, dan diakhir dengan sebuah syair panjang tentang kembalinya Yang Diperti Muda Daeng Celak dari Mempawah ke Negeri Riau di Pulau Bintan dan mengalahkan Raja Alam (dari Siak) yang ketika itu menguasai Negeri Riau.***